Dalam rangkaian pementasan Di Tepi Sejarah yang diselenggarakan oleh Titimangsa Foundation, Wanggi Hoed membawakan monolog Panggil Aku Gombloh. Karya tersebut ditulis oleh Guruh Dimas Nugraha & Agus Noor. Joind Bayuwinanda bertindak sebagai sutradara teater & Yosep Anggi Noen sebagai sutradara film pertunjukan.Â
Pertunjukan ini ditampilkan di Gedung Kesenian Jakarta dan ditayangkan dalam bentuk film pertunjukan di saluran Youtube Budaya Saya pada 24 Agustus 2022. Wanggi memerankan tokoh Gombloh (Soedjarwoto Soemarsono)---musisi Indonesia asal Surabaya yang terkenal pada era 1970-1980an.
Keunikan Vokal Wanggi: Kekuatan atau Kelemahan?
Wanggi sebelumnya sudah dikenal luas sebagai aktor pantomim yang memang sudah bermain pantomim sejak 2004. Sejak tahun 2011 Wanggi sudah tidak pernah lagi menjadi "aktor dialog". Sudah sebelas tahun Wanggi "membisu". Dalam kesempatan berdiskusi dengan Wanggi pada 25 November 2022 di Yogyakarta, saya mengangkat pembicaraan tentang proses kreatifnya pada peran Gombloh dalam pertunjukan Panggil Aku Gombloh.Â
Secara spesifik, saya mempertanyakan bagaimana proses pembentukan vokal yang Wanggi lakukan, mengingat sudah sebelas tahun ia tidak menggunakan vokalnya sebagai perangkat keaktoran. Wanggi memang tidak seperti Limbad yang diam sama sekali di hadapan publik.Â
Wanggi masih berbicara dalam beberapa wawancara dan forum diskusi. Namun, tentu berbeda penggunaan perangkat vokal dalam keseharian dengan penggunaannya di atas panggung sebagai aktor. Dalam hal ini dan seterusnya, saya bicara dalam konteks Wanggi sebagai aktor, entah itu aktor pantomim maupun "aktor dialog".
Wanggi sendiri mengakui, bahwa ia memiliki kesulitan ketika mesti melakukan kembali akting dialog, setelah sebelas tahun "membisu". Ia mesti berlatih betul-betul dari nol. Ia bahkan membayangkan dirinya seperti orang yang baru pertama kali belajar teater.Â
Meskipun itu adalah hal yang wajar dalam proses keaktoran. Mengingat semua aktor melakukan hal yang sama. Kembali ke nol. Namun yang sulit dalam konteks Wanggi adalah justru karena suaranya sangat unik. Suaranya sudah "jadi" sebagai suara yang spesifik Wanggi banget.Â
Wanggi dalam keseharian memiliki karakter vokal yang unik-spesifik. Ketika di jalan/tempat umum kita mendengar suara Wanggi, rasanya kita tak perlu melihat penampakan fisiknya. Hanya dengan mendengar suaranya saja kita sudah hampir dapat memastikan bahwa itu adalah Wanggi, saking unik & spesifiknya karakter vokal Wanggi: agak serak dan melengking.Â
Dalam konteks pribadi sebagai seorang tokoh, karakter vokal Wanggi memiliki keunikan. Namun, dalam konteks keaktoran, hal tersebut justru kurang menguntungkan bagi Wanggi.
Jika para aktor dialog memulai latihan vokal dari nol---karena karakter vokalnya lebih umum, Wanggi justru sudah ada di poin 9. Namun poin 9 tersebut adalah poin 9 sebagai Wanggi, bukan sebagai Gombloh. Untuk menjadi Gombloh, ia harus menghancurkan dahulu karakter vokalnya sebagai Wanggi.
Harus meng-nol kan vokalnya. Menghilangkan Wanggi dalam vokalnya, dan memulai membentuk karakter vokal Gombloh dari nol. Jalannya lebih Panjang. Terlebih lagi, Gombloh adalah tokoh sejarah yang riil---yang mengharuskan Wanggi melakukan semacam copy-paste. Bukan seperti tokoh-tokoh khayalan yang tidak riil. Karena jika Wanggi membawakan tokoh khayalan yang tidak riil, sebagai aktor Wanggi punya keleluasaan lebih dalam menciptakan tokohnya. Dalam peran Gombloh, Wanggi tidak memiliki keleluasaan itu.
Â
Diam sebagai Gagasan atau Hanya Sebatas Pilihan Bentuk?
Sejak 2004 Wanggi sudah menjadi aktor pantomim. Terbentang waktu 18 tahun Wanggi melakukan eksplorasi pantomim.Â
Tahun 2011 adalah tahun terakhir Wanggi menjadi aktor dialog dalam pementasan berjudul Syekh Siti Jenar karya Vredi Kastam Marta, Sutradara Wail Irsyad. Sebelas tahun Wanggi "diam" tanpa kata, hingga akhirnya pada 2022 Wanggi memutuskan untuk menerima tawaran bermain monolog, menjadi aktor dialog, dalam monolog Panggil Aku Gombloh.
 Pertanyaan yang cukup bikin saya kepo adalah: "diam"-nya Wanggi dalam konsep pantomim---yang ia lakukan dalam 11 tahun terakhir---adalah sebuah gagasan atau hanya sebatas pilihan bentuk teater? Pasca-Gombloh, apakah Wanggi akan "berhenti diam" dan mulai berkata-kata?
Selain dikenal sebagai aktor pantomim, Wanggi juga dikenal karena kegiatan aktivismenya. Ia menggunakan pantomim untuk menyuarakan sesuatu. Pantomim menjadi cara Wanggi menyerukan isu-isu sosial, budaya, dan hak asasi manusia (HAM). Mulai dari isu pencemaran lingkungan, perlindungan satwa liar, hingga pelanggaran HAM berat.Â
Wanggi tidak "berbicara" tetapi dapat menyuarakan sesuatu. Diam dalam pantomim adalah justru cara Wanggi untuk bicara. Diam dalam bentuk pantomim yang Wanggi pilih justru dapat dimaknai sebagai bentuk protes yang melampaui kata, melampaui teriakan. Diam jadi semacam opsi, pasca kata-kata diabaikan.
Tadinya saya mau bilang, bahwa diam dapat jadi alternatif ketika kata-kata dibungkam. Tapi tidak jadi deh, karena tiba-tiba saya ingat, bahwa Wanggi pernah ditangkap polisi karena melakukan "aksi diam" alias pantomim. Meski begitu, artinya diam dalam pantomim cukup efektif dalam melakukan interupsi terhadap suatu isu.Â
Saya menjadi semakin yakin bahwa "diam" dalam konsep pantomim yang Wanggi pilih bukan hanya sekadar pilihan bentuk teater, tetapi juga memiliki muatan gagasan.
Namun kemudian, ketika Wanggi membawakan monolog Panggil Aku Gombloh, keyakinan saya memudar. Wanggi sekarang sudah bisa "bicara". Saya tidak bisa lagi "memakna-maknai" bahwa pilihan Wanggi untuk "diam" sebagai konsekuensi bentuk pantomim adalah "pilihan ideologis". Lalu, pasca-Gombloh apakah Wanggi akan "berhenti diam" dan melanjutkan kata-kata?
Jakarta, 3 Desember 2022
Muhamad Habib Koesnady
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H