Saya Tutup dengan Menundukan Kepala
Semua yang sudah saya tuliskan sejak awal mungkin tidak betul-betul menggambarkan keadaan sebenarnya dari apa yang terjadi di sekolah maupun di teater.Â
Sebagai contoh misalnya, Sri Mulyani Budiantini, guru saya, mantan Kepala Jurusan Teater SMKN 13 Jakarta, mengatakan bahwa sekarang sudah ada prodi pendidikan teater di Semarang.Â
Meskipun ketika saya membaca buku Paradigma Pendidikan Seni yang ditulis oleh dosen & mahasiswa pascasarjana Universitas Negeri Semarang (editor: Deddy Irawan), saya mesti kecewa karena tidak ada tulisan tentang pendidikan teater. Selain itu, saya juga pernah dengar ada jurusan Sendratasik (Seni Drama Tari & Musik), mungkin ini senada dengan konsep Performing Arts Education di mana subjeknya adalah Performing Arts.Â
Gurunya berkelompok, terdiri dari guru musik, guru tari, guru seni rupa pertunjukan dan guru teater sebagai pemimpin (bertindak sebagai pelatih akting & sutradara).Â
Biasanya target pementasannya adalah drama musikal. Entah bagaimana konsep Sendratasik saya belum mengetahuinya. Mungkin saja, anggapan saya soal ketiadaan prodi pendidikan teater, hanya karena ketidaktahuan saya.
Selain itu, karena banyak variabel yang membuat sesuatu tidak dapat menjadi pasti/mutlak, maka anggapan saya tentang Sarjana Seni (S.Sn.) dan Sarjana Pendidikan Seni (S.Pd.) tentu saja dapat dibantah. Saya terlalu mempertajam perbedaan antara Sarjana Seni dengan Sarjana Pendidikan Seni.Â
Padahal tidak ada jaminan mutlak bahwa sarjana pendidikan sudah pasti lebih baik dalam mengajar dibanding sarjana seni, pun sebaliknya, tidak ada jaminan mutlak bahwa sarjana seni akan berkarya lebih bagus dibanding sarjana pendidikan seni. Bahkan boleh jadi orang yang tidak menyandang gelar sarjanapun mampu memberikan pendidikan yang baik dan/atau jadi seniman yang baik.Â
Dalam hal seni, banyak contoh tersebut terjadi di mana-mana. Ada variabel yang bersifat personal dan tak dapat dipukul rata. Secara substansial gelar memang tak penting, meskipun bisa jadi salah satu variabel.
Misal yang lain, adalah saya merasa terlalu percaya diri dengan teater. Padahal, kenyataannya, teater begitu rapuh tanpa bidang ilmu yang lain. Saya bahkan berani memberikan kesaksian bahwa orang yang unggul di teater, pasti memiliki keahlian/pemahaman mendalam di bidang lain. Tak jarang, orang teater menyukai bahkan mendalami bidang lain yang bukan spesifik teater seperti lukis, musik, tari atau bahkan hal lain di luar seni seperti sosiologi, psikologi, filsafat, sejarah bahkan matematika.
Misal yang lain lagi, selama saya mengajar di Sekolah Madania (2017-2019), saya mulai temukan satu persatu sekolah yang memiliki pelajaran teater (atau sejenisnya) seperti Sekolah Cikal (Performing Arts), Binus School (Performing Arts), Kharisma Bangsa (Drama), BPK Penabur (Seni Drama), Springfield School (Performing Arts), dan beberapa yang saya lupa. Perbedaan penggunaan istilah performing arts, drama atau teater adalah sesuatu yang menarik. Bahkan ada sekolah yang menamai kelasnya dengan lebih spesifik, yakni kelas akting/kelas seni peran. Saya lupa nama sekolahnya. Saya membayangkan ada keunikan dari penerapan definisi-definisi tersebut di lapangan. Ini yang menarik untuk ditelusuri lebih lanjut.