Setelah sampai pada paragraf ini, mungkin Kepala Sekolah atau pemangku kepentingan dalam dunia pendidikan sudah merasa: Sok penting banget sih nih teater! Apa banget deh? Kecurigaan saya ini sangat mendasar karena saya terlalu percaya diri dengan teater, tetapi belum mampu menjelaskan: buat apa sih belajar teater di sekolah?
Sampai detik ini memang belum pernah saya temukan kajian yang komprehensif tentang teater dalam perspektif pendidikan. Entah karena memang belum ada atau karena memang referensi saya saja yang kurang. Tetapi, Deden Rengga saja tahun 2015 menyebutkan bahwa memang [saya: di Indonesia] belum ada ahli setingkat doktor/profesor yang menekuni bidang tersebut. Entah hari ini, lima tahun setelah 2015.
"Buat apa belajar teater?" adalah pertanyaan saya juga ketika pertama kali saya mengajar di sekolah. Kalau bagi mereka yang menyukai bahkan menginginkannya, mungkin tak perlu ditanya lagi. Tapi bagi mereka yang tidak menyukai, buat apa mereka belajar teater?Â
Pusing betul saya sama pertanyaan saya sendiri. Hingga kemudian, saya menemui Ki Hadjar Dewantara & Benjamin S. Bloom untuk meminta pencerahan.Â
Dari merekalah saya meyakini bahwa teater dapat memberi kontribusi pada pendidikan. Benjamin Bloom menyebutkan tujuan pendidikan dibagi ke dalam tiga ranah, yaitu ranah kognitif, ranah afektif & ranah psikomotor. Senada dengan itu, Ki Hadjar Dewantara menyebutkan penalaran, penghayatan dan pengalaman.
Saya merasa teater menyentuh ketiga ranah tersebut. Ranah kognitif sebagai ranah yang menekankan pada aspek intelektual. Ranah ini terjadi pada teater ketika melakukan analisis terhadap naskah drama atau membuat konsep pertunjukan hingga menilai pertunjukan (materi apresiasi teater). Pada intinya memahami teater secara kognitif.Â
Ranah kedua adalah ranah afektif yang menekankan aspek perasaan/emosi. Ranah ini tentu sangat dominan ketika seorang anak berlatih menjadi aktor. Di mana seorang aktor harus mampu berempati pada peran yang akan dibawakan. Bahkan membawakannya dengan merasakan apa yang harusnya dirasakan si tokoh yang dimainkan. Ranah ketiga adalah ranah psikomotor yang menekankan pada aspek psikomotorik.Â
Dalam teater, dikenal materi olah tubuh di mana seorang aktor harus melatih tubuhnya agar memiliki elastisitas yang baik dan fleksibel memerankan peran apapun. Rasanya, ranah psikomotorlah yang diolah oleh materi olah tubuh tersebut.
Sebetulnya ketiga ranah tersebut sudah dapat disentuh dengan pendekatan keaktoran. Seorang aktor harus memahami peran yang akan dibawakan (bahkan sampai melakukan riset), entah itu berasal dari naskah drama maupun konsep peran yang dibuatnya sendiri (kognitif).Â