Mohon tunggu...
Muhamad Habib Koesnady
Muhamad Habib Koesnady Mohon Tunggu... Guru - Pengajar Teater

Mempelajari Seni

Selanjutnya

Tutup

Film Pilihan

Ternyata Joker itu Anak STM

1 November 2019   11:30 Diperbarui: 1 November 2019   11:33 344
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar: http://www.gracemelia.com/2019/10/review-joker-yang-bikin-drained.html 

Setelah menonton Film Joker, jantung saya berdebar-debar; dengkul saya lemas, bergetar saat mau berdiri. Saya langsung ingat banyak hal. Tentang lingkungan tempat saya tinggal, tentang masa kecil saya, tentang teman-teman saya, lingkungan yang cukup keras, kejadian yang terjadi di Indonesia akhir-akhir ini: demonstrasi, korban jiwa, hingga penusukan Wiranto.

Film Joker resmi tayang di Indonesia pada 2 Oktober 2019. Film yang disutradarai oleh Todd Philips menceritakan tentang kisah Arthur Fleck (diperankan oleh Joaquin Phoenix) yang bercita-cita ingin menjadi seorang pelawak (Joker). Dikisahkan, Arthur adalah seorang badut penghibur yang bekerja pada sebuah manajemen hiburan. Ia memiliki keinginan yang kuat untuk menjadi seorang pelawak tunggal (Stand Up Comedian) dan mengidolakan Murray Frangklin (diperankan oleh Robert de Niro), sebagai seorang pelawak terkenal pada program lawak di televisi. Pada satu waktu, Arthur mendapat kesempatan untuk tampil dalam acara lawak tunggal namun ia tidak berhasil membuat penonton tertawa. Ia malah tertawa terbahak-bahak di atas panggung karena penyakit syaraf yang dideritanya.

Di lain sisi, Arthur adalah seorang pribadi yang tumbuh dari dunia yang keras. Ia diadopsi oleh Penny Fleck (diperankan Frances Conroy) sejak bayi. Tidak diketahui siapa orang tua kandungnya. Sialnya, Penny Fleck adalah seorang penderita gangguan jiwa yang kerap menganiayanya sejak kecil. Bahkan hal tersebut menyebabkan Arthur memiliki kondisi fisik yang tidak normal, serta gangguan syaraf yang membuatnya tertawa tiba-tiba dalam kondisi yang tidak diduga.

Selain itu, ia digambarkan hidup dalam kemiskinan bersama Penny Fleck yang sudah tua serta seringkali mendapatkan sambutan yang tidak baik dalam lingkungan sosialnya. Misalnya, ketika ia mencoba menghibur seorang anak dalam bus, ibu sang anak tersebut malah memarahinya dan menganggap Arthur sebagai pengganggu. Atau, ketika ia datang ke rumah Thomas Wayne (diperankan oleh Brett Cullen) dan mencoba memberi hiburan berupa sulap kepada Bruce Wayne (diperankan oleh Dante Pareira)/anak dari Thomas Wayne. Ia malah dimarahi, diusir dan ibunya dihina oleh Alfred Pennyworth (diperankan oleh Douglas Hodge) sebagai ajudan keluarga Wayne---meskipun selanjutnya Arthur mencekiknya sampai hampir tewas, namun kemudian Arthur melepaskan cekikannya ketika melihat Bruce ketakutan. Dalam dua contoh ini, nampak bahwa Arthur begitu menyukai anak-anak dan ingin memberikan kebahagian pada anak-anak.

Gambar: https://www.cnnindonesia.com/hiburan/20190404135804-220-383398/bruce-wayne-kecil-muncul-di-trailer-joker 
Gambar: https://www.cnnindonesia.com/hiburan/20190404135804-220-383398/bruce-wayne-kecil-muncul-di-trailer-joker 

Pada suatu hari, Arthur sedang menjadi badut dan menari dengan membawa papan bertuliskan "Everything Must Go!!". Tiba-tiba, ia didatangi segerombolan pemuda yang merebut papan tersebut dan membawanya lari. Arthur mengejarnya dengan kewalahan hingga menemukan mereka ada di dalam gang. Mereka berhenti. Arthur berlari kembali mendekati mereka, lalu secara tiba-tiba Arthur dipukul dengan papan tersebut oleh seorang pemuda yang bersembunyi di sela-sela gang hingga papan tersebut hancur berkeping-keping. Arthur terjatuh dan dipukuli oleh mereka beramai-ramai.

Setibanya di kantor, ia dimarahi oleh atasannya karena menghilangkan/merusak papan tersebut sehingga gajinya akan dipotong untuk menggantikan papan itu. Lalu, seorang teman pelawaknya (diperankan oleh Glenn Flesher) memberi (atau menjual?) sebuah pistol untuk melindungi diri. Sejak saat itu, Arthur selalu membawa pistolnya ke mana-mana. Hingga pada suatu hari, ia sedang menghibur anak-anak yang sedang sakit di rumah sakit. Ia menari, bernyanyi, mengikuti musik dan anak-anak bahagia. Saking semangatnya berjingkrak-jingkrak, pistol Arthur jatuh dari kantongnya. Suster perawat dan anak-anak kaget. Hal tersebut membuat Arthur dipecat dari manajemen hiburan tempat ia bekerja. Padahal ia sangat menyukai profesi itu.

Dalam perjalanan pulang, di kereta, ia melihat seorang perempuan diganggu oleh tiga lelaki. Arthur tiba-tiba tertawa terbahak-bahak karena penyakit syarafnya. Ia tidak bisa mengontrol tawanya. Ketiga orang itu tersinggung dan mengeroyok Arthur. Hingga pada posisi terdesak, Arthur/Joker menembak mati salah satu dari mereka dengan menggunakan pistol yang ada di kantongnya. Lalu mengejar yang lainnya dan menembak mati mereka semuanya. Pada bagian ini, Arthur mulai menjelma sebagai Joker. Sosok yang sudah mulai meledakan sesuatu yang selama puluhan tahun mendesak di dalam dadanya.

Gambar: https://www.bustle.com/p/murray-franklin-isnt-in-dc-comics-but-robert-de-niros-joker-role-is-homage-18787652 
Gambar: https://www.bustle.com/p/murray-franklin-isnt-in-dc-comics-but-robert-de-niros-joker-role-is-homage-18787652 

Di rumah, ia menonton tayangan televisi dari orang yang diidolakannya, Murray Frangklin. Tiba-tiba, di sela-sela tayangan tersebut, ia melihat cuplikan dirinya yang gagal di atas panggung komedi tunggal tempo hari. Ia merasa begitu kaget. Orang yang diidolakannya hanya menjadikan kegagalan dirinya sebagai bahan ejekan demi mendapat tertawaan dari publik. Hingga kemudian ia mendapatkan telepon dari seseorang untuk datang ke acara talk show yang dibawakan oleh Murray Frangklin. Dia menjawab dengan tempo yang lambat, seolah ia sedang memikirkan apa yang akan ia lakukan di dalam acara tersebut.

Terbayang-bayang dalam kepalanya, bayangan teman spesialnya Sophie Dumond (diperankan oleh Zazie Beetz) yang mensimulasikan gerakan bunuh diri dengan menembakkan kepala sendiri menggunakan tangannya---kemudian adegan ini dapat dianggap sebagai delusi Joker karena selanjutnya ketika Joker memasuki apartemennya Sophie Domund, ia diusir dan dianggap salah kamar. Dalam bayang-bayang tersebut, nampak Joker begitu mempersiapkan dirinya untuk menghadiri undangan Murray. Ditampilkan Joker seolah ingin mempersiapkan bunuh diri dengan melatih beberapa pose menggunakan pistolnya.

Sementara itu, ternyata kondisi Kota Gotham---tempat kisah ini terjadi---semakin tidak kondusif. Peristiwa pembunuhan ketiga orang di kereta, yang ternyata adalah pegawai Wall Street, menjadi inspirasi para demonstran yang menolak pencalonan Thomas Wayne sebagai Walikota Gotham. Sedangkan, Thomas---yang juga merupakan tokoh penting Wall Street---mengucapkan dukacita mendalam bagi kematian mereka. Kematian mereka bertiga diamplifikasi media karena ada perhatian lebih dari Calon Walikota Thomas Wayne. Demonstran di Kota Gotham melakukan demonstrasi dengan menggunakan topeng Joker.

Saat itu, Kota Gotham pun dipenuhi "Joker" yang sedang melakukan demonstrasi. Demonstrasi besar bahkan membuat Kota Gotham menjadi kacau. Sementara kota sedang kacau, Joker asli mendatangi Murray Frangklin Talk Show untuk membuat tayangan komedi di televisi. Di perjalanan, ia diikuti oleh dua orang polisi yang telah lama mencurigainya. Ia lari dan masuk ke dalam kereta. Di dalam kereta, kedua polisi itu kebingungan karena banyak Joker-demonstran. Secara tidak sengaja, polisi membunuh seorang demonstran, dan kedua polisipun akhirnya dikeroyok hingga kritis oleh para demonstran. Joker bisa bebas dan menghadiri Murray Frangklin Talk Show.

Awalnya, acara Murray berjalan dengan lancar. Sampai pada acara tersebut Joker menyatakan pengakuannya bahwa ialah yang membunuh ketiga orang di dalam kereta. Dalam acara tersebut, Joker juga menyampaikan bahwa ia menolak kerakusan orang-orang kaya. Ia juga menyatakan bahwa Murray hanya memanfaatkan dirinya untuk diejek, untuk mendapatkan tertawaan dari penonton. Sampai Joker memberikan "lawakan terbaiknya" yakni membunuh Murray Frangklin dalam siaran televisinya sendiri. Murray gagal "membunuh" Joker dan yang terjadi adalah sebaliknya: Joker membunuh Murray. Setelah itu, Joker menari di depan kamera dan mengarahkan kamera ke arahnya, meminta semua menyaksikan dirinya, menyaksikan lawakan terbaiknya. Menyaksikan dirinya meledak.

Gambar: http://www.gracemelia.com/2019/10/review-joker-yang-bikin-drained.html 
Gambar: http://www.gracemelia.com/2019/10/review-joker-yang-bikin-drained.html 
Setelah menonton Film Joker, saya jadi teringat banyak peristiwa yang pernah saya saksikan. Masih jelas betul di ingatan saya, praktik kekerasan yang dilakukan banyak orang tua kepada banyak anaknya. Di dalam gang-gang sempit, para orang tua yang dililit kesulitan ekonomi, seolah tidak punya cara lain untuk "mendiamkan" anak-anaknya selain dengan cara-cara kekerasan. Anak-anak itu diancam untuk tetap diam dan menurut pada orang tua. Jika tidak, maka ancaman kekerasan (fisik maupun psikis) adalah hal yang biasa.

Saya masih ingat betul seorang kawan yang minta uang untuk menyewa PlayStation mesti dipukuli oleh orang tuanya yang tidak mempunyai anggaran untuk anaknya bermain (menyewa PS). Atau seorang teman kecil yang bercita-cita ingin menjadi pemain bola, namun mesti kandas karena tidak pernah didukung oleh para orang tua dan malah mendapatkan kekerasan psikis seperti: "main bola terus, mau jadi apa?". Ketika ia sedang bermain bola, ia kerapkali dimarahi dan disuruh pulang untuk "belajar". Karena menurut orang tuanya, main bola bukanlah belajar. Sedangkan, belajar adalah mempersiapkan diri untuk pelajaran-pelajaran (ilmu pasti) di sekolah. Hingga akhirnya ia begitu membenci sekolah. Saya teringat hal-hal tersebut, ketika terbongkar sebuah fakta bahwa Penny Fleck kerap menganiaya Arthur sejak kecil. Saya teringat hal-hal tersebut ketika dalam catatan lawak Arthur, ia menyatakan bahwa ia membenci sekolah. Baginya kebenciannya terhadap sekolah adalah sebuah komedi.

Sama seperti Joker, teman-teman saya bertumbuh. Masa remaja adalah masa yang paling rentan karena fungsi fisik, pikiran & perasaan mulai sempurna seperti manusia dewasa. Dalam keremajaan, saya melihat banyak paradoks terjadi. Misalnya, kawan yang bercita-cita jadi pemain sepak bola, sudah kehilangan cita-citanya sejak lama. Cita-cita tersebut sudah hancur sejak dalam pikiran. Mungkin, definisi cita-cita sudah hilang entah ke mana. Cita-cita mungkin jadi hanya semacam dongeng masa kanak-kanak. Jika boleh disederhanakan, cita-cita hanya berubah menjadi tujuan-tujuan jangka pendek.

Jika sebelumnya cita-cita adalah tujuan jangka panjang yang agak utopis nan penuh bumbu-bumbu dongeng, pada masa remaja cita-cita itu berubah menjadi tujuan jangka pendek yang paling realistis nan membahagiakan. Cita-cita yang relevan bukan lagi jadi pemain sepak bola, melainkan menjadi preman di satu sekolah. Kebahagian bukan lagi ketika dapat memenangkan pertandingan, tapi ketika berhasil mengalahkan lawan dengan cara-cara kekerasan. Komedi bukan lagi sesuatu yang dapat membahagian semua orang. Komedi telah berubah menjadi bully. Menganiaya adalah cara untuk mendapatkan komedi, untuk mencapai kebahagiaan. Pikiran ini terstimulasi ketika saya melihat beberapa remaja mem-bully Arthur. Mereka mengambil papan "Everything Must Go!!", memukul Arthur dengan papan tersebut, menganiaya Arthur hingga tak berdaya dan pergi dengan bahagia. Itulah kebahagiaan.

Gambar:https://dafunda.com/movie/todd-phillips-jelaskan-mengapa-joker-terlalu-banyak-menari/
Gambar:https://dafunda.com/movie/todd-phillips-jelaskan-mengapa-joker-terlalu-banyak-menari/

Entah mengapa, motivasi untuk mencapai kebahagiaan tersebut seolah dapat diakomodir oleh STM. Banyak yang "bercita-cita" masuk STM bukan karena ingin belajar teknik, tapi justru ingin merealisasikan diri pada "kebahagiaan" dalam kekerasan. Seolah, STM adalah ruang yang ideal untuk melakukan hal tersebut. Seolah, mereka "janjian" masuk STM untuk melakukan hal tersebut. Seolah, STM menjadi ekosistem dalam dunia kekerasan tersebut. Dalam film Joker, tidak dijelaskan Joker berasal dari "STM" mana. Tapi, saya melihat ada gejala yang sama antara Joker dengan Anak STM. Hidup dalam kesulitan ekonomi, keluarga dengan pendidikan yang rendah, lingkungan yang rentan kekerasan, mengalami diskriminasi kelas, dsb. Dalam hal mengekspresikan diri, Joker punya cara yang berbeda dengan Anak STM.

Jika Anak STM banyak menggunakan cara kekerasan dalam mengekspresikan dirinya, Joker sebaliknya, ia justru menggunakan lawakan untuk mengekspresikan diri dari tekanan psikologisnya---walaupun lawakannya tetap saja lawakan gelap yang berasal dari pengalamannya terhadap kekerasan. Meskipun Joker & Anak STM awalnya punya cara yang berbeda dalam mengekspresikan ketertekananannya, namun mereka memiliki akhiran yang sama dalam meledakan tekanan psikologisnya. Mereka meledak begitu saja ketika tekanan itu sudah semakin mendesak. Dengan gegabah, saya berkesimpulan bahwa anak yang tumbuh dalam budaya kekerasan fisik dan tekanan psikologis yang berat akan melahirkan Joker.

Mungkin, jika film Joker buatan Indonesia, judul filmnya bukan Joker, melainkan "Anak STM". Karena, setelah selesai menonton filmnya, saya merasa film tersebut merupakan cerminan kondisi Indonesia saat ini. Film tersebut seperti menyuarakan ungkapan yang tidak tersuarakan oleh media-media mainstream di Indonesia. Dalam hal ini, saya membandingkan siaran-siaran komedi Murray Frangklin itu tak ubahnya seperti siaran-siaran politisi di televisi mainstream. Tidak ada isu yang menarik diangkat oleh media mainstream, kecuali isu tersebut diangkat oleh para politisi. Saya mengingat ini ketika Thomas Wayne memberi perhatian pada tiga orang pertama yang dibunuh Joker. Lalu, media bertugas mengamplifikasi isu yang diangkat oleh Thomas Wayne tersebut hingga menjadi viral.

Pada bagian ini, tiba-tiba saya mengingat penusukan yang menimpa Wiranto dan langsung teramplifikasi dengan begitu luas. Tapi minim sekali berita tentang kematian para demonstran atau orang-orang Papua di Wamena. Tentang hal ini, Joker juga menyuarakannya ketika membunuh Murray Frangklin, lalu mengambil kamera dan mengarahkan kamera tersebut pada dirinya. Seolah ia meminta perhatian pada dunia, seolah ia melakukan interupsi pada dunia (Gotham). Bahkan, secara frontal, ia menyatakan jika ia yang mati, maka mayatnya akan dilangkahi begitu saja di trotoar, tanpa ada yang memedulikan. Maka, bagi Joker, merebut kamera adalah cara dia menyatakan diri dan mendapatkan perhatian publik. Karena hal itu pula, menguatkan posisi Joker sebagai simbol perlawanan para demonstran di Kota Gotham.

Joker sepertinya tidak punya alasan rasional apa-apa untuk melakukan demonstrasi. Meski begitu, ia adalah simbol protes yang paling natural. Paling organik. Ia tidak digerakan oleh kendali pikiran yang sempurna tapi justru bergerak berdasarkan insting. Ia adalah ledakan paling natural yang berasal dari tekanan psikologis yang ia terima puluhan tahun. Dengan ekstrem, ia menganggap dirinya sebagai kaum tertindas dan harus meledakan tekanan dirinya kepada kaum penindas. Dalam dunia komedi, Murray Frangklin adalah representasi kaum yang menindas. Di sanalah instingnya bekerja, di sanalah ia meledakkan dirinya.

Dalam hal ini, saya langsung teringat anak-anak STM yang melakukan demonstrasi di Gedung DPR. Banyak sekali narasi yang disebarkan bahwa anak STM tidak tau apa-apa soal tuntutan aksi. Mereka dianggap bodoh sehingga dipandang sebelah mata. Padahal, pada konteks yang sama, mereka adalah ledakan yang berasal dari tekanan psikologis yang mereka terima sejak kecil. Lagi-lagi saya mengingat kesaksian saya kepada teman-teman yang menerima praktik kekerasan sedari kecil. Banyak orang yang menyerang dan menyalahkan mereka secara membabi-buta tanpa mencoba memahami posisi mereka sebagai korban dari sengkarut sistem yang menindas mereka sejak kecil. Di depan Gedung DPR, mereka hanya meledakan diri pada orang-orang yang mereka anggap sebagai representasi dari kaum yang menindas mereka.

Sebetulnya, saya mau bilang bahwa orang yang mereka lawan secara langsung yaitu polisi berpangkat rendah (bintara/tamtama) adalah orang-orang yang mereka anggap representasi kaum yang menindas mereka. Tapi bersamaan dengan itu, jangan-jangan para polisi berpangkat rendah tersebut justru malah "Joker Berseragam" di bawah tekanan/ketertindasan yang lebih terstruktur, lalu mereka bersemangat meledakkan diri atau "menyerang balik" joker lain (Anak STM, Mahasiswa, Buruh, Kaum Miskin Kota, Petani, Nelayan, dll). Jadi, sebetulnya saya mau bilang ini hanyalah perkelahian antara satu kubu Joker dengan kubu Joker yang lain. Tapi, rasanya saya ragu. Apa betul begitu?

Saya begitu bersyukur---sekaligus kaget seneng---Film Joker tayang pada waktu yang hampir bersamaan dengan "tayangnya" Anak STM di medan aksi. Karena dari sanalah saya seperti mendapat pantulan cermin dan dapat berpendapat tentang Anak STM, melalui Film Joker.

Gambar: https://megapolitan.kompas.com/read/2019/09/29/09085421/kisah-di-balik-foto-viral-anak-sma-bawa-bendera-merah-putih-di-tengah?page=all 
Gambar: https://megapolitan.kompas.com/read/2019/09/29/09085421/kisah-di-balik-foto-viral-anak-sma-bawa-bendera-merah-putih-di-tengah?page=all 

Saya tidak pada posisi mendukung tindakan kekerasan, siapapun pelakunya. Tapi dalam hal ini, saya hanya berharap publik dapat melihat persoalan Anak STM secara menyeluruh. Jika ingin menyelesaikan persoalan dan menghentikan kekerasan, tentu harus dilakukan secara menyeluruh oleh semua pihak. Dari rumah sampai sekolah. Dari sekolah sampai negara. Meskipun, akhir-akhir ini, saya agak pesimis negara punya perhatian terhadap hal tersebut. Apalagi, setelah seorang pebisnis tulen Nadiem Makarim (yang mengingatkan saya pada Thomas Wayne) terpilih menjadi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan dan difokuskan oleh Presiden untuk me-link and match-kan Pendidikan dan Industri. Ya mau gimana lagi?

Pesing Poglar, Oktober 2019

AbbieKoes

*ditulis dengan tujuan meredakan rasa cemas pasca menonton Film Joker.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun