Mohon tunggu...
Muhamad Habib Koesnady
Muhamad Habib Koesnady Mohon Tunggu... Guru - Pengajar Teater

Mempelajari Seni

Selanjutnya

Tutup

Film Pilihan

Ternyata Joker itu Anak STM

1 November 2019   11:30 Diperbarui: 1 November 2019   11:33 344
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar: http://www.gracemelia.com/2019/10/review-joker-yang-bikin-drained.html 

Pada bagian ini, tiba-tiba saya mengingat penusukan yang menimpa Wiranto dan langsung teramplifikasi dengan begitu luas. Tapi minim sekali berita tentang kematian para demonstran atau orang-orang Papua di Wamena. Tentang hal ini, Joker juga menyuarakannya ketika membunuh Murray Frangklin, lalu mengambil kamera dan mengarahkan kamera tersebut pada dirinya. Seolah ia meminta perhatian pada dunia, seolah ia melakukan interupsi pada dunia (Gotham). Bahkan, secara frontal, ia menyatakan jika ia yang mati, maka mayatnya akan dilangkahi begitu saja di trotoar, tanpa ada yang memedulikan. Maka, bagi Joker, merebut kamera adalah cara dia menyatakan diri dan mendapatkan perhatian publik. Karena hal itu pula, menguatkan posisi Joker sebagai simbol perlawanan para demonstran di Kota Gotham.

Joker sepertinya tidak punya alasan rasional apa-apa untuk melakukan demonstrasi. Meski begitu, ia adalah simbol protes yang paling natural. Paling organik. Ia tidak digerakan oleh kendali pikiran yang sempurna tapi justru bergerak berdasarkan insting. Ia adalah ledakan paling natural yang berasal dari tekanan psikologis yang ia terima puluhan tahun. Dengan ekstrem, ia menganggap dirinya sebagai kaum tertindas dan harus meledakan tekanan dirinya kepada kaum penindas. Dalam dunia komedi, Murray Frangklin adalah representasi kaum yang menindas. Di sanalah instingnya bekerja, di sanalah ia meledakkan dirinya.

Dalam hal ini, saya langsung teringat anak-anak STM yang melakukan demonstrasi di Gedung DPR. Banyak sekali narasi yang disebarkan bahwa anak STM tidak tau apa-apa soal tuntutan aksi. Mereka dianggap bodoh sehingga dipandang sebelah mata. Padahal, pada konteks yang sama, mereka adalah ledakan yang berasal dari tekanan psikologis yang mereka terima sejak kecil. Lagi-lagi saya mengingat kesaksian saya kepada teman-teman yang menerima praktik kekerasan sedari kecil. Banyak orang yang menyerang dan menyalahkan mereka secara membabi-buta tanpa mencoba memahami posisi mereka sebagai korban dari sengkarut sistem yang menindas mereka sejak kecil. Di depan Gedung DPR, mereka hanya meledakan diri pada orang-orang yang mereka anggap sebagai representasi dari kaum yang menindas mereka.

Sebetulnya, saya mau bilang bahwa orang yang mereka lawan secara langsung yaitu polisi berpangkat rendah (bintara/tamtama) adalah orang-orang yang mereka anggap representasi kaum yang menindas mereka. Tapi bersamaan dengan itu, jangan-jangan para polisi berpangkat rendah tersebut justru malah "Joker Berseragam" di bawah tekanan/ketertindasan yang lebih terstruktur, lalu mereka bersemangat meledakkan diri atau "menyerang balik" joker lain (Anak STM, Mahasiswa, Buruh, Kaum Miskin Kota, Petani, Nelayan, dll). Jadi, sebetulnya saya mau bilang ini hanyalah perkelahian antara satu kubu Joker dengan kubu Joker yang lain. Tapi, rasanya saya ragu. Apa betul begitu?

Saya begitu bersyukur---sekaligus kaget seneng---Film Joker tayang pada waktu yang hampir bersamaan dengan "tayangnya" Anak STM di medan aksi. Karena dari sanalah saya seperti mendapat pantulan cermin dan dapat berpendapat tentang Anak STM, melalui Film Joker.

Gambar: https://megapolitan.kompas.com/read/2019/09/29/09085421/kisah-di-balik-foto-viral-anak-sma-bawa-bendera-merah-putih-di-tengah?page=all 
Gambar: https://megapolitan.kompas.com/read/2019/09/29/09085421/kisah-di-balik-foto-viral-anak-sma-bawa-bendera-merah-putih-di-tengah?page=all 

Saya tidak pada posisi mendukung tindakan kekerasan, siapapun pelakunya. Tapi dalam hal ini, saya hanya berharap publik dapat melihat persoalan Anak STM secara menyeluruh. Jika ingin menyelesaikan persoalan dan menghentikan kekerasan, tentu harus dilakukan secara menyeluruh oleh semua pihak. Dari rumah sampai sekolah. Dari sekolah sampai negara. Meskipun, akhir-akhir ini, saya agak pesimis negara punya perhatian terhadap hal tersebut. Apalagi, setelah seorang pebisnis tulen Nadiem Makarim (yang mengingatkan saya pada Thomas Wayne) terpilih menjadi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan dan difokuskan oleh Presiden untuk me-link and match-kan Pendidikan dan Industri. Ya mau gimana lagi?

Pesing Poglar, Oktober 2019

AbbieKoes

*ditulis dengan tujuan meredakan rasa cemas pasca menonton Film Joker.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun