Mohon tunggu...
Abdul Aziz
Abdul Aziz Mohon Tunggu... Jurnalis - Policy Communicator

ASN pada Kementerian Keuangan. Memiliki latar belakang Ekonomi dan bekerja untuk menyampaikan kebijakan publik yang searah dengan mimpi bersama Bangsa Indonesia.

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Tumbuh Merekah Keuangan Syariah

25 April 2019   10:10 Diperbarui: 25 April 2019   10:35 35
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Seorang wanita berhijab sedang berbenah mengatur tumpukan baju dan aksesoris muslim di butiknya. Beragam mode pakaian muslim modern tampak tersusun rapi baik di dalam maupun di etalasenya. Ia tak sendiri. 

Beberapa hijaber lainnya tampak melakukan hal serupa. Memang hari itu beragam toko fesyen muslim dan produk halal lainnya akan diresmikan bersamaan dengan peresmian Kawasan Halal Indonesia di Kompleks Gelora Bung Karno, Jakarta. 

Peresmian yang dilakukan langsung oleh Presiden Joko Widodo tersebut menjadi salah satu upaya pemerintah untuk memanfaatkan peluang-peluang ekonomi syariah dan mendorong pertumbuhan industri halal nasional. Pemerintah sendiri telah menetapkan wisata halal sebagai sektor penggerak pertumbuhan industri halal. 

"Hari ini adalah sesuatu yang telah kita mulai (peresmian) Halal Park sebagai embrio dari pembangunan halal district yang juga akan dibangun di sini," ungkap Presiden dalam rilis Sekretariat Presiden saat pembukaan Kawasan Halal Indonesia di Jakarta pada 16 April 2019 yang lalu. 

Kawasan yang juga disebut sebagai Halal Park tersebut merupakan cikal bakal yang akan terus dikembangkan ke depannya hingga menjadi sebuah kawasan terintegrasi destinasi wisata halal di Indonesia. Dalam sambutannya, Presiden mengungkapkan permintaan global terhadap produk-produk halal, termasuk wisata halal, semakin meningkat. Menurutnya, Indonesia sebagai negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia harus dapat memanfaatkan peluang tersebut. 

"Informasi yang saya terima, proyeksi permintaan produk halal global tahun 2019 mencapai USD3,7 triliun. Padahal tahun 2013 masih sebesar USD2 triliun. Artinya ada pertumbuhan yang sangat besar. Pertumbuhannya mencapai 9,5 persen," ujarnya. 

Kabar baik lainnya datang sebelum peresmian Halal Park. Pada tanggal 9 April 2019, Global Muslim Travel Index (GMTI) menetapkan Indonesia sebagai destinasi wisata halal terbaik di dunia mengalahkan negara-negara lainnya. Dalam indeks tersebut, peringkat Indonesia meningkat secara bertahap dalam beberapa tahun terakhir diawali dengan peringkat 6 pada 2015, peringkat 4 pada 2016, peringkat 3 pada 2017, peringkat 2 pada 2018, dan tahun ini berada pada posisi teratas. 

Rencananya, pengembangan Halal Park secara menyeluruh akan dilakukan hingga 2020 mendatang dan menjadi ekosistem baru bagi para pelaku industri halal di Indonesia. 

Potensi ekonomi syariah Sebagai negara dengan jumlah penduduk muslim terbesar di dunia yang mencapai 87,18 persen dari total populasi, Indonesia memiliki potensi yang besar dalam ekonomi syariah. Sejalan dengan hal tersebut, Pemerintah melalui Peraturan Presiden Nomor 91 Tahun 2016 membentuk Komite Nasional Keuangan Syariah (KNKS). Pemerintah juga berupaya mendorong ekonomi dan keuangan syariah melalui Masterplan Arsitektur Keuangan Syariah Indonesia (MAKSI) 2016-2018 dan Masterplan Ekonomi Syariah Indonesia (MEKSI) 2019-2024. 

Menurut Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN/Bappenas), Bambang P.S. Brodjonegoro, yang sekaligus selaku Sekretaris Dewan Pengarah KNKS, beberapa peran pemerintah dalam ekonomi syariah antara lain melalui penerbitan sukuk negara dan instrumen baru lainnya untuk mendukung berbagai proyek pemerintah, menawarkan insentif untuk instrumen pembiayaan syariah untuk mendanai proyek-proyek pembangunan ekonomi nasional, membentuk bank investasi syariah dalam rangka mengisi kesenjangan pembiayaan dari perbankan syariah dan proyek besar nasional lainnya, konsolidasi dan penguatan perbankan syariah untuk meningkatkan kemampuan finansialnya dalam menyalurkan pembiayaan, serta penguatan penyaluran pembiayaan pada lembaga keuangan mikro syariah dengan membentuk dana APEX baru. 

"Berbagai strategi tersebut selanjutnya ditopang oleh roadmap penguatan pembiayaan yang tercantum dalam MEKSI untuk mencapai target selama kurun waktu 2019-2024," jelas Bambang.

 Sementara itu, Sekretaris Badan Pelaksana Harian Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (BPH DSN MUI), Anwar Abbas, mengungkapkan bahwa sistem ekonomi syariah pada dasarnya tidak bertentangan dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Menurutnya, Islamic Economic System merupakan alternatif yang dapat mendorong pertumbuhan ekonomi yang tidak hanya inklusif, namun juga berkelanjutan. 

"Dunia butuh alternatif (sistem ekonomi). Islam tampil dengan Islamic Economic System, dengan Professional Banking System, dengan Insurance Banking Assistance-nya. Dengan begitu, kita sebagai muslim dan bangsa Indonesia bisa tampil dengan Ekonomi Pancasilanya," jelasnya.

Industri keuangan syariah Di sisi lain, Yani Farida Aryani, Kepala Bidang Kebijakan Pengembangan Industri Keuangan Syariah Badan Kebijakan Fiskal, menjelaskan bahwa keuangan syariah merupakan bagian tak terpisahkan dari ekonomi syariah. Pangsa pasar keuangan syariah di Indonesia sendiri terdiri dari perbankan syariah, asuransi syariah, pembiayaan syariah, reksadana syariah, Sukuk Negara dan saham syariah. Selain itu, masih ada pula sektor keuangan sosial islam (Islamic social finance) seperti Zakat dan Wakaf. 

"Zakat dan wakaf yang notabene masuk ke dalam kelompok dana sosial keagamaan itu masuk ke dalam industri keuangan syariah. Seperti Dana Haji juga kan sebetulnya masih ada di dalam ekosistem keuangan syariah," jelas Yani. 

Lebih lanjut, Yani mengungkapkan bahwa industri keuangan syariah saat ini masih didominasi oleh perbankan syariah dengan total ase per Januari 2019 mencapai Rp479,17 triliun atau sekitar 5,95 persen dari Rp 8.049 triliun total perbankan nasional. 

Sedangkan untuk industri keuangan nonbank syariah (IKNB) periode yang sama, asetnya tercatat Rp101,197 triliun dengan pangsa pasar sebesar 5,81 persen dari total aset IKNB nasional yang mencapai Rp1.741 triliun. 

Dari sisi pembiayaan syariah, Sukuk Negara atau Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) sendiri menyumbang 18 persen dari total obligasi negara yang telah diterbitkan sebesar Rp682 triliun per Maret 2019 lalu. 

Senada dengan Yani, Peneliti Utama Badan Kebijakan Fiskal, Lokot Zein Nasution, memaparkan bahwa perkembangan instrumen keuangan syariah paling pesat dialami oleh Sukuk Negara. Sementara itu, instrumen keuangan syariah yang lain tidak mengalami perubahan signifikan. Bahkan, komposisi dari perbankan syariah terus mengalami penurunan, meski penurunannya tidak menunjukkan gejala yang konsisten, sehingga sifatnya lebih reaktif terhadap kondisi ekonomi global. 

"Dari total aset keuangan syariah, dominasi paling besar dimiliki oleh perbankan syariah, kedua adalah sukuk negara, ketiga adalah pembiayaan syariah, keempat adalah asuransi syariah, kelima adalah IKNB syariah, keenam adalah reksadana syariah, dan terakhir adalah sukuk korporasi," ujarnya. 

Peran APBN Kementerian Keuangan sendiri memiliki peran mendorong keuangan syariah melalui instrumen APBN. Yang pertama adalah dari sisi penerimaan negara. 

Menurut Yani, kebijakan perpajakan yang kondusif dan mendukung pengembangan keuangan syariah diperlukan dalam bentuk tax neutrality dan insentif perpajakan. Tax neutrality menjadi penting karena dalam skema keuangan syariah, seperti Sukuk Negara, diperlukan underlying asset dalam bentuk barang, manfaat aset, ataupun dalam bentuk proyek. 

"Kalau dalam perpajakan, seolah ada penyerahan barang. Jadi, seolah-olah ada dua kali kena PPN. Kalau di Undang-Undang PPN sepanjang ada pertambahan nilai dan sepanjang ada penyerahan akan terkena PPN. Kalau kita bilang ini tidak ada penambahan nilai dan tidak ada penyerahan juga. Karena underlying asset tadi hanya sebagai dasar perhitungan untuk memberikan pinjaman," jelas Yani. 

Yang kedua adalah dari sisi belanja APBN. Belanja pemerintah di Kementerian/Lembaga tertentu dapat diarahkan untuk mendukung pengembangan industri atau ekonomi syariah. Misalnya saja Halal Tourism melalui Kementerian Pariwisata (Kemenpar), kurikulum pendidikan syariah melalui Kementerian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti), optimalisasi peran lembaga wakaf dan zakat melalui Kementerian Agama (Kemenag), Halal Food melalui kolaborasi Kemenag, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), Kementerian Perdagangan (Kemendag) dan Kementerian Pertanian (Kementan), Asuransi Pertanian Syariah melalui Kementan, Kredit Usaha Rakyat (KUR) Syariah, serta BPJS Kesehatan-Ketenagakerjaan Syariah. 

Terakhir dari sisi pembiayaan. Direktur Pembiayaan Syariah Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risik, Dwi Irianti Hadiningdyah, memaparkan kehadiran Sukuk Negara mampu memperkaya jenis instrumen pembiayaan APBN dan pembangunan proyek di tanah air, sekaligus menyediakan instrumen investasi dan likuiditas bagi investor institusi maupun individu. 

Di samping itu, penerbitan Sukuk Negara di pasar internasional juga menandai eksistensi serta mengokohkan posisi Indonesia di pasar keuangan syariah global. Bahkan, pada tahun 2018 Indonesia menjadi negara pertama yang menerbitkan Sovereign Green Sukuk yang diterima dengan baik oleh investor dan mendapatkan pengakuan dari berbagai lembaga internasional. 

Lebih jauh, Dwi menjelaskan pemerintah telah melakukan berbagai upaya dalam rangka mendorong ekonomi syariah secara inklusif, di antaranya melalui diversifikasi instrumen pembiayaan APBN dengan menerbitkan Sukuk Ritel dan Sukuk Tabungan. 

Melalui instrumen tersebut masyarakat umum dapat berinvestasi sekaligus berperan serta dalam pembangunan Indonesia. Kehadiran Sukuk Ritel dan Sukuk Tabungan dapat menjadi pilihan bagi masyarakat dan menambah portofolio investasi bagi investor, terutama investor syariah. 

Pada tahun 2019, kedua instrumen tersebut diterbitkan dengan minimum Rp1 juta dan maksimum Rp3 miliar. Hal tersebut dilakukan agar instrumen tersebut dapat dijangkau dan diakses oleh berbagai lapisan masyarakat.

"Penerbitan SBSN Ritel dilaksanakan setiap tahun dan sangat diminati oleh masyarakat yang terlihat dari pemesanan yang selalu oversubscribe sehingga diharapkan melalui instrumen ini dapat mendorong transformasi masyarakat dari savings-oriented society menuju investment-oriented society," pungkasnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun