Mohon tunggu...
Abdul Aziz
Abdul Aziz Mohon Tunggu... Jurnalis - Policy Communicator

ASN pada Kementerian Keuangan. Memiliki latar belakang Ekonomi dan bekerja untuk menyampaikan kebijakan publik yang searah dengan mimpi bersama Bangsa Indonesia.

Selanjutnya

Tutup

Financial Artikel Utama

Memperbaiki Jejak Rasio Pajak

1 Maret 2019   14:09 Diperbarui: 1 Maret 2019   16:27 1643
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kantor Pusat Direktorat Jenderal Pajak / Foto: Aziz

Meski langit tampak mendung, suasana di Kantor Pusat Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan tak lekas lengang. Aktivitas yang padat rutin tetap berjalan seperti biasa. Sama halnya dengan Robert Pakpahan, Direktur Jenderal Pajak yang dilantik pada 30 November 2017 tersebut berkenan meluangkan waktu untuk diwawancara oleh Media Keuangan di sela-sela kesibukannya. Sembari ditemani secangkir teh, ia pun bercerita terkait pentingnya rasio pajak dalam perekonomian nasional. 

Robert mengungkapkan rasio pajak merupakan indikator untuk mengukur kemampuan pemerintah dalam mengumpulkan pajak dari total nilai perekonomian yang ada, dalam hal ini adalah total Produk Domestik Bruto (PDB). Lebih jauh, ukuran tax ratio menunjukkan seberapa mampu pemerintah membiayai keperluan-keperluan yang menjadi tanggung jawab negara. 

"Jadi rasio pajak sangat penting dan rasio pajak sangat dipengaruhi oleh banyak faktor. Bisa dipengaruhi oleh struktur ekonominya, dipengaruhi oleh tingkat kepatuhan perpajakan, dipengaruhi oleh aturan-aturannya, ketentuan-ketentuan perpajakannya, mana yang jadi objek pajak dan mana yang tidak, serta juga dipengaruhi oleh administrasi perpajakannya sendiri. Seberapa mampu dia melayani dan mengawasi tingkat kepatuhan Wajib Pajak. Jadi overall sangat penting. Kalau tax ratio besar berarti uang yang didapat negara lebih besar sehingga harusnya negara lebih bisa berbuat banyak," ungkap Robert. 

Di sisi lain, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati turut menjelaskan lebih rinci mengenai realisasi penerimaan pajak tahun 2018 sebesar Rp1.315,9 triliun atau tumbuh hingga 14,3 persen. Pertumbuhan perpajakan ini menurut Menkeu merupakan yang tertinggi sejak tahun 2012. Rasio pajak pun mencapai 11,5 persen dari PDB atau meningkat sebesar 0,8% dari tahun 2017. Menurutnya, kesadaran membayar pajak, peningkatan basis data pajak pasca amnesti pajak, serta informasi yang didapat dari Automatic Exchange of Information (AEoI) akan dapat terus meningkatkan penerimaan perpajakan. 

"Dengan perbaikan penerimaan perpajakan maka rasio pajak mengalami perbaikan yang cukup signifikan hanya dalam waktu 1 tahun," ungkap Menkeu saat Konferensi Pers Kinerja dan Realisasi APBN 2018 pada awal tahun. 

Daya ungkit reformasi

Tren capaian rasio pajak Indonesia / Grafik: Media Keuangan
Tren capaian rasio pajak Indonesia / Grafik: Media Keuangan
Masih bercerita terkait upaya memperbaiki rasio pajak. Data memang menunjukkan rasio pajak Indonesia mengalami naik turun. Namun demikian, berbagai upaya terlah dilakukan oleh pemerintah. Salah satunya adalah melalui reformasi perpajakan. 

Menurut Staf Ahli Kepatuhan Pajak, Suryo Utomo, salah satu upaya untuk mengungkit rasio pajak adalah melalui reformasi perpajakan. Program reformasi tersebut menjadi titik sentral dan determinan utama bagi peningkatan kinerja perpajakan karena melalui program tersebut pemerintah melakukan perbaikan institusi perpajakan secara menyeluruh, terutama dari sisi regulasi, administrasi, dan kelembagaan aparatur perpajakan. 

Dalam konteks yang lebih luas, program reformasi perpajakan diarahkan untuk dapat menangani beberapa tantangan pembangunan yang terkait dengan peningkatan kapasitas fiskal, yaitu memberikan stimulus ekonomi makro, mendorong produktivitas sektor riil, meningkatkan kapasitas fiskal dan menjaga stabilitas ekonomi makro. 

Dalam konteks tersebut, salah satu indikator yang akan dicapai adalah peningkatan rasio pajak secara signifikan dan berkelanjutan. Suryo Utomo juga menyebutkan jika ingin rasio pajak naik, ujungnya yang diperlukan adalah reform. Secara prinsip ada dua reform, administrative reform dan policy reform. 

Lebih jauh ia menjelaskan policy reform yang dilakukan oleh Kementerian Keuangan bersifat menyeluruh dan memiliki tujuan untuk meningkatkan ekonomi. "Fiscal policy bukan hanya dimaknai sekedar dari sisi penerimaan saja, namun termasuk sisi pengeluaran. Jadi, istilah kata penerimaan sendiri dengan kondisi ekonomi yang ada adalah bagaimana kita meng-collect dari ekonomi. Nah meng-collect lebihnya mungkin dilakukan dengan cara administrative reform, namun kalau kita mau boosting ekonomi, kita bicara policy reform, termasuk di antaranya bagaimana pengeluaran negara ini bisa mendorong pertumbuhan ekonomi," paparnya saat melakukan audiensi dengan Media Keuangan beberapa waktu lalu. 

Di sisi lain, Kepala Pusat Kebijakan APBN Badan Kebijakan Fiskal, Hidayat Amir, mengungkapkan yang lebih penting adalah bagaimana penerimaan negara baik dari pajak maupun non pajak dapat digunakan sebaik mungkin untuk sebesar-besar kemanfaatan bagi pembangunan sesuai dengan konsep value for money. 

Selanjutnya adalah upaya menaikkan tax ratio merupakan keniscayaan mengingat tingkat kepatuhan pembayaran pajak yang masih relatif rendah, sehingga reformasi perpajakan merupakan agenda penting dalam reformasi fiskal. 

"Namun harus dilakukan secara terukur dan bertahap. Karena jika dilakukan secara terburu-buru dapat mengakibatkan overburden dalam perekonomian yang berpotensi mengganggu pertumbuhan ekonomi," jelasnya. 

Perbandingan rasio pajak dengan negara-negara lain / Grafik: Media Keuangan
Perbandingan rasio pajak dengan negara-negara lain / Grafik: Media Keuangan
Amir menambahkan bahwa data dari World Bank, IMF, dan OECD menunjukkan bahwa tax ratio negara maju seperti Inggris sebesar 30,6 persen, Jerman 37,0 persen, dan negara Skandinavia memiliki tax ratio di atas 40 persen. Untuk beberapa negara di wilayah Asia Tenggara tax ratio-nya berkisar 15 persen, seperti Thailand 16,5 persen, Malaysia 14,4 persen, Filipina 13,67 persen, Singapura 14,29 persen, dan Kamboja 15,3 persen. Lebih lanjut, data World Bank tahun 2016 menyebutkan rata-rata tax ratio dunia sebesar 15,06 persen. Jika dilihat dengan angka-angka ini tentu angka tax ratio Indonesia tergolong rendah. 

"Namun perlu dicatat, bahwa Indonesia sejak 2018 telah menerbitkan Laporan Belanja Perpajakan yang menyatakan bahwa tax revenue forgone 2017 sekitar 1,14 persen dari PDB. Jika ini diperhitungkan maka tax ratio Indonesia sudah mendekati angka 12,6 persen. Perlu kembali diingat bahwa setiap negara memiliki karakter sistem perpajakan yang berbeda," ungkapnya. 

Menambahkan hal tersebut, ekonom INDEF, Bhima Yudistira, mengatakan dibandingkan negara berkembang khususnya di wilayah Asia tenggara kondisi tax ratio Indonesia memang terbilang rendah. Pelajaran penting dari negara yang memiliki rasio pajak tinggi adalah konsistensi reformasi perpajakan, khususnya berkaitan dengan perluasan basis pajak, serta digitalisasi sistem perpajakan dan mendorong jumlah fiskus agar proporsional dengan perkembangan jumlah wajib pajak baru. 

Amnesti pajak

Terkait amnesti pajak dalam reformasi perpajakan, Staf Ahli Kepatuhan Perpajakan, Suryo mengungkapkan dari sudut pandang perbaikan basis data, kebijakan amnesti pajak memberikan tambahan basis pajak baik orang pribadi maupun badan, serta adanya tindak lanjut kebijakan berupa monitoring, pengawasan dan penegakan hukum. 

Lebih lanjut, kebijakan tersebut diperkirakan juga akan berdampak positif terhadap proyeksi peningkatan pendapatan PPh nonmigas dalam APBN 2019. Dari sudut pandang penerimaan pajak, program tax amnesty berhasil menghimpun penerimaan pajak dengan total penerimaan yang cukup signifikan. Total penerimaan dari amnesti pajak berjumlah Rp134,9 triliun yang terdiri dari penerimaan uang tebusan dan penghentian bukti permulaan sebesar Rp115,96 triliun, serta pelunasan tunggakan pajak Rp18,96 triliun. 

Di sisi lain, kebijakan amnesti pajak juga secara simultan dapat meningkatkan kepatuhan sukarela Wajib Pajak serta membentuk budaya taat pajak yang lebih baik. Kebijakan lanjutan dari amnesti pajak, Automatic Exchange of Information (AEoI), atau yang sering disebut program pertukaran informasi data perpajakan, juga memiliki dampak reformasi. 

Dengan AEoI, pemerintah memiliki langkah strategis untuk memperbaiki sistem pengelolaan informasi keuangan di Indonesia. AEoI juga menjadi sebuah instrumen kebijakan untuk mengurangi potensi terjadinya penyelewengan pada sektor penerimaan negara atau penghindaran pajak. Dalam konteks pemetaan Wajib Pajak, AEoI dapat berfungsi sebagai alat dalam pemetaan profil risiko Wajib Pajak, serta sebagai indikator dan sarana untuk mewujudkan kepatuhan material Wajib Pajak.

"Implementasi kedua program tersebut secara simultan diharapkan dapat mendukung upaya pemerintah dalam meningkatkan tax ratio dan kepatuhan membayar pajak secara sukarela. Tak hanya itu, kebijakan tersebut menjawab tantangan peningkatan dan optimalisasi kapasitas fiskal dalam konteks pembiayaan program-program prioritas, terutama pengentasan kemiskinan, pemerataan ekonomi, dan pembukaan lapangan pekerjaan," jelasnya. 

Perbaikan ke depan

Perbaikan ke depan, Suryo menjelaskan beberapa hal yang perlu diperbaiki dalam rangka menjaga rasio pajak yang realistis. Kebijakan umum perpajakan yang akan ditempuh adalah optimalisasi penggalian potensi dan pemungutan perpajakan melalui pendayagunaan data dan sistem informasi perpajakan yang mutakhir dan terintegrasi. Yang kedua adalah meningkatkan kepatuhan Wajib Pajak dan membangun kesadaran pajak untuk menciptakan ketaatan membayar pajak (sustainable voluntary compliance).

Ketiga, memberikan insentif perpajakan secara selektif dan tepat sasaran untuk mendorong daya saing industri nasional dan tetap mendorong hilirisasi industri, serta melanjutkan reformasi perpajakan secara simultan dan komprehensif. 

Selain itu, perlu dilakukan transparansi informasi di bidang perpajakan dengan optimalisasi perjanjian perpajakan internasional dan AEoI. Terakhir, perlu dilakukan perumusan kebijakan perpajakan terkait perumusan tarif untuk mendorong redistribusi pendapatan dalam konteks penurunan kesenjangan ekonomi. 

"Yang jelas kalau untuk menumbuhkan tax ratio adalah dengan menambah basis perpajakan. Kita sudah menambahkan basis pemajakan kan, lalu setelah menambah basis otomatis kita harus mengawasi atau memastikan basis itu memang bergerak ke arah yang benar. Mulai dari menambah basis kita punya ekstensifikasi, kemudian yang sudah masuk ke sistem, kita memastikan benar tidak mereka sesuai untuk pemenuhan kewajiban perpajakannya. Kalau diawasi masih belum, ya kita lakukan law enforcement, itu sudah hukum wajib yang ada di UU KUP. Nah yang menjadi krusial bagaimana kita melakukan itu secara efisien dan efektif," pungkasnya. 

Senada dengan Suryo, ekonom INDEF, Bhima juga mengajukan solusi untuk mendorong tax ratio di Indonesia. Pertama adalah dengan memanfaatkan data tax amnesty dan AEoI untuk mengejar potensi Wajib Pajak, khususnya Wajib Pajak kakap yang menempatkan hartanya di luar negeri. Kedua, memperluas basis pajak baru, khususnya di bisnis digital atau perusahaan over the top. 

Yang ketiga adalah memperkuat kelembagaan perpajakan dengan mengadopsi sistem IRS (internal revenue service) dari Amerika. Terakhir adalah merumuskan pola komunikasi perpajakan yang lebih ramah terhadap pelaku usaha.

Abdul Aziz - Pranata Humas pada Kementerian Keuangan

*) Tulisan ini adalah pendapat pribadi penulis dan tidak mencerminkan sikap dan kebijakan instansi penulis bekerja.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun