Mohon tunggu...
Abdul Aziz
Abdul Aziz Mohon Tunggu... Jurnalis - Policy Communicator

ASN pada Kementerian Keuangan. Memiliki latar belakang Ekonomi dan bekerja untuk menyampaikan kebijakan publik yang searah dengan mimpi bersama Bangsa Indonesia.

Selanjutnya

Tutup

Financial Pilihan

Menjaga Aklimatisasi Pertumbuhan Ekonomi

16 Januari 2019   09:50 Diperbarui: 16 Januari 2019   10:10 418
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Peringkat Ease of Doing Business Indonesia / Grafik: Venggi

Tahun 2018 menjadi salah satu momentum dimulainya fokus pembangunan ekonomi digital oleh pemerintah di Indonesia. Sebagai revolusi industri keempat, peran pemerintah sebagai pembuat regulasi menjadi penting agar negara tidak hanya mampu bersaing di kancah dunia, namun juga mampu memitigasi segala tantangan yang muncul. 

Merespons hal itu, Presiden Jokowi pada tanggal 21 Juli 2017 telah meneken Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 74 Tahun 2017 tentang Peta Jalan Sistem Perdagangan Nasional Berbasis Elektronik (SPNBE) / Road Map e-Commerce Tahun 2017-2019. Dampaknya, mesin pertumbuhan ekonomi pun mendapat imbasnya. 

Di sisi lain, awal 2018 Indonesia mencatat prestasi menggembirakan dengan naiknya peringkat Ease of Doing Business (EoDB). Hal itu menjadi tantangan pemerintah untuk menjadikan seluruh wilayah Indonesia ramah bagi investor. 

Laporan tahunan "Doing Business 2018: Reforming to Create Jobs" yang dirilis oleh Grup Bank Dunia, menggambarkan iklim kemudahan berusaha dari 190 negara di dunia. Laporan tersebut menginvestigasi regulasi-regulasi di suatu negara yang berpengaruh dalam kemudahan atau hambatan dalam berusaha atau berbisnis.

Survei EoDB ini meliputi 10 indikator. Indikator inilah yang mencerminkan perilaku investor dalam menghadapi regulasi yang ada. Indikator dengan peringkat cukup baik yang telah diraih Indonesia antara lain kemudahan memulai usaha, kemudahan mengurus perizinan untuk mendirikan dan menggunakan bangunan komersial, kemudian melakukan jual beli dan balik kepemilikan tanah dan bangunan, kemudahan melakukan pelaporan dan pembayaran pajak dan iuran wajib, kemudahan melakukan kegiatan ekspor impor, serta kemudahan penyelesaian perkara perdata dengan nilai gugatan sederhana. 

Peringkat Ease of Doing Business Indonesia / Grafik: Venggi
Peringkat Ease of Doing Business Indonesia / Grafik: Venggi
Pada EoDB 2018, Indonesia sendiri mengalami tren yang positif dalam peringkat tersebut. Tercatat selama kurun waktu enam tahun terakhir, peringkat Indonesia selalu mengalami kenaikan. Tahun 2012, peringkat EoDB Indonesia tercatat di posisi 129 dan naik ke posisi terakhir di peringkat 72 pada tahun 2018. 

Peningkatan ini menjadi bukti komitmen pemerintahan untuk selalu memperbaiki iklim investasi di dalam negeri. Iklim investasi yang baik tak hanya akan mendorong neraca perdagangan melalui kenaikan ekspor, namun juga diharapkan dapat mendorong pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. 

Upaya perbaikan dalam rangka meningkatkan Ease of Doing Business Indonesia 2018 / Grafik: Venggi
Upaya perbaikan dalam rangka meningkatkan Ease of Doing Business Indonesia 2018 / Grafik: Venggi
Mendukung hal itu, Presiden Joko Widodo sendiri telah meneken Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 91 Tahun 2017 Tentang Percepatan Pelaksanaan Berusaha pada akhir tahun lalu. 

Dalam Perpres tersebut, Presiden mengamanatkan pembentukan Satuan Tugas Nasional, Kementerian/Lembaga, Provinsi, hingga Kabupaten/Kota dalam rangka mendukung percepatan pembentukan iklim investasi yang baik. 

Selain itu, Presiden juga mengamanatkan reformasi peraturan perizinan berusaha yang menjadi kewenangan di pemerintah pusat maupun daerah agar selaras dan tidak tumpang tindih. Salah satu upaya yang perlu dilakukan adalah dengan menerapkan sistem perizinan berusaha yang terintegrasi secara elektronik atau Online Single Submission (OSS).

Deregulasi dan simplifikasi proses bisnis

Dalam upaya menjaga potensi dari momentum EoDB tersebut, Kementerian Keuangan (Kemenkeu) juga telah melakukan berbagai macam kebijakan yang mendukung percepatan pelaksanaan berusaha. Biro Hukum Sekretariat Jenderal Kemenkeu mencatat selama kurun waktu 2006 sampai dengan 2015, Kemenkeu telah berhasil melakukan deregulasi sebanyak 1.474 peraturan atau sekitar 61,2 persen dari total peraturan yang berlaku. 

Sementara itu, pada tahun 2016 terdapat 40 Peraturan/Keputusan Menteri Keuangan (PMK/KMK) yang dipangkas dan meningkat pada tahun 2017 sebanyak 88 regulasi yang dipangkas. 

Selain deregulasi peraturan, Kemenkeu juga telah menyusun 25 PMK untuk simplifikasi proses bisnis di bawah kewenangan Kemenkeu. Pada tahun ini sendiri, Menteri Keuangan telah menandatangani PMK terbaru Nomor 29/PMK.04/2018 tentang Percepatan Perizinan Kepabeanan dan Cukai dalam Rangka Kemudahan Berusaha untuk mendukung pelaksanaan Perpres Nomor 91 tahun 2017 pada tanggal 26 Maret 2018. 

Menjelaskan dampak deregulasi dan simplifikasi tersebut, Kepala Pusat Kebijakan Ekonomi Makro (PKEM) Badan Kebijakan Fiskal Kemenkeu, Adriyanto, mengungkapkan bahwa realisasi investasi langsung di Indonesia  pada tahun 2017 tumbuh sebesar 13,1 persen year on year, dimana Penananam Modal Dalam Negeri (PMDN) tercatat mencapai Rp262,3 Triliun atau tumbuh sebesar 21,3 persen year on year. Di sisi lain, Penanaman Modal Asing (PMA) tercatat mencapai Rp430,6 Triliun atau tumbuh sebesar 8,6 persen year on year. 

Terkait dengan PMA, Bank Dunia dan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) memperkirakan bahwa pertumbuhan realisasi PMA Indonesia pada tahun 2017 disebabkan salah satunya oleh reformasi regulasi investasi yang baik. Dalam laporan tersebut, Indonesia juga dinilai sebagai salah satu tujuan investasi potensial nomor empat setelah Amerika Serikat, Tiongkok, dan India bagi para perusahaan multinasional.

Kemudahan layanan

Setidaknya dari sebelas indikator EoDB yang digunakan Bank Dunia, Indonesia masih memiliki beberapa pekerjaan rumah yang perlu diperbaiki. Staf Ahli Kepatuhan Pajak, Suryo Utomo, menjelaskan bahwa bahwa reformasi di tubuh Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kemenkeu sebenarnya sejak lama telah dilakukan. 

Namun, saat ini, Kemenkeu melalui DJP tengah fokus pada pemberian kemudahan Wajib Pajak mulai dari proses pendaftaran untuk starting business, pembayaran, pelaporan hingga pemenuhan hak dan kewajiban Wajib Pajak.

Dari sisi pendaftaran Wajib Pajak, DJP telah melakukan terobosan dengan mempermudah pembuatan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) dengan menggunakan fasilitas database Kartu Tanda Penduduk, sehingga sudah tidak lagi memerlukan Surat Keterangan Domisili Usaha dari pemerintah daerah. Selain itu, bagi pengusaha yang ingin mengurus Nomor Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak (NPPKP) juga dipermudah dengan pemberian kartu lebih awal, baru setelahnya diverifikasi fisik. 

Dari sisi kebijakan fasilitas kepabeanan juga ikut berperan dalam mendorong kemudahan arus barang investasi masuk dan keluar. Untuk itu, Direktur Fasilitas Kepabeanan, Robi Toni, menjelaskan bahwa melalui PMK Nomor 28/PMK.04/2018 tentang perubahan PMK Nomor 272 tahun 2015 tentang Pusat Logistik Berikat dan PMK Nomor 29/PMK.04/2018 tentang Percepatan Perizinan Kepabeanan dan Cukai dalam Rangka Kemudahan Berusaha, Kemenkeu melalui Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) juga melakukan upaya perbaikan pelayanan. Dari PMK Nomor 28 tahun 2018 sendiri, DJBC melakukan peningkatan pelayanan Tempat Penimbunan Berikat yang dalam hal ini adalah Pusat Logistik Berikat (PLB) generasi II.

Mendongkrak mesin ekspor

Selain pertumbuhan ekonomi disokong oleh membaiknya peringkat kemudahan berinvestasi, ekonomi domestik juga dibuat cukup heboh dengan pelemahan nilai tukar Rupiah. Depresiasi yang terjadi dipicu salah satunya dari dinamika ekonomi global yang juga merupakan imbas dari kebijakan kenaikan suku bunga Bank Sentral AS The Fed. Imbas ini tak hanya berdampak ke negara berkembang saja, namun juga ke hampir semua negara.

Imbasnya salah satunya ke sektor ekspor impor Indonesia yang menjadi salah satu mesin pertumbuhan ekonomi. Nilai impor barang dan jasa yang lebih besar dari nilai ekspornya menyebabkan kondisi yang disebut defisit neraca transaksi berjalan atau current account deficit (CAD). Namun demikian, Indonesia masih dianggap mampu bertahan lantaran memiliki fundamental ekonomi yang lebih baik dibandingkan dengan negara berkembang lainnya. 

Diwawancarai Media Keuangan beberapa waktu lalu, Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan, Suahazil Nazara, memaparkan di samping neraca transaksi modal dan finansial (capital account), neraca transaksi berjalan (current account) merupakan salah satu unsur pembentuk neraca pembayaran (balance of payment) dari suatau negara secara agregat. 

Dalam posisi tersebut, tren tiga tahun terakhir posisi saldo neraca pembayaran Indonesia sebenarnya memiliki saldo yang positif. Namun demikian, kekhawatiran atas laporan defisit neraca transaksi berjalan semester pertama 2018 cukup memberi kontribusi terhadap sentimen depresiasi mata uang Garuda.

Memperbaiki CAD

Dalam mengatasi depresiasi rupiah akibat defisit neraca transaksi berjalan, Suahazil menjelaskan pentingnya keterlibatan Bank Indonesia (BI) untuk melakukan kebijakan moneter sebagai kebijakan jangka pendek. Instrumen kebijakan yang bisa digunakan salah satunya melalui kebijakan suku bunga acuan. 

Hal itu menjadi penting terutama dalam menanggapi kebijakan The Fed yang pada akhir September lalu menaikkan suku bunga kedua kalinya dalam tahun ini. Untuk menjaga ekspektasi pasar domestik, BI selaku otoritas moneter perlu mengatur suku bunganya melalui 7-day repo rate. "Kebijakan suku bunga tersebut sebagai bagian dari kebijakan moneter ditentukan secara independen oleh BI. Independen dari pemerintah," ungkapnya.

Dalam jangka panjang, struktur perekonomian dalam negeri juga perlu untuk diperbaiki. Inilah yang menjadi tugas utama pemerintah dalam membuat kebijakan struktural ekonomi. Menurut Suahazil, berkaca dari sumber masalah defisit neraca transaksi berjalan, pemerintah perlu melakukan beberapa kebijakan struktural yang dapat mengendalikan impor dan meningkatkan ekspor.

Selain PMK 131 tahun 2018, untuk mendorong industri, investasi dan ekspor, Menkeu juga menetapkan PMK 130 tahun 2018 tentang Kawasan Berikat. Peraturan ini dibentuk untuk mengatur antara lain kemudahan operasional pemasukan dan pengeluaran barang dengan memangkas 45 perizinan menjadi hanya 3 perizinan, proses pengurusan perizinan dilakukan secara online, kemudahan pelaksanaan subkontrak yang memungkinkan ekspor langsung dari Kawasan Berikat penerima subkontrak, dan pendelegasian wewenang pemberian perizinan dari kantor pusat ke unit vertikal. Aturan ini berlaku di seluruh kawasan berikat dan akan mempengaruhi 1.372 Kawasan Berikat.

Selain insentif fiskal, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) juga terus meningkatkan layanan kemudahan berusaha dengan cara melakukan simplifikasi persyaratan untuk mendapatkan fasilitas Kawasan Berikat dan KITE serta memperoleh Nomor Pokok Pengusaha Barang Kena Cukai (NPPBKC), dan dalam melakukan registrasi kepabeanaan. DJBC juga telah menggagas perizinan online terintegrasi dengan sistem Online Single Submission (OSS). Upaya yang dilakukan oleh DJBC tersebut diharapkan makin mendorong peningkatan ekspor nasional.

Mengendalikan impor

Untuk membangun struktur ekonomi yang kuat di masa mendatang, diperlukan perbaikan sektor industri hulu. Hal ini menjadi penting karena hasil dari industri hulu tersebutlah yang akan menjadi modal untuk digunakan pada industri selanjutnya. Harapannya, dengan semakin banyak industri hulu yang dibangun di Indonesia akan mengurangi impor barang-barang modal yang komposisinya masih terhitung besar.

Merespon hal tersebut, Kementerian Keuangan telah mengeluarkan kebijakan fiskal melalui penyesuaian tarif PPh Impor atas 1147 komoditas dalam rangka mengendalikan impor. Menurut Rofy, dalam menentukan 1147 kode HS yang dilakukan penyesuaian PPh impor, Kementerian Keuangan telah berkoordinasi dengan pembina sektor dalam hal ini Kementerian Perindustrian. 

Berbagai macam usaha pemerintah telah dilakukan untuk menstabilkan CAD dan menjaga Rupiah. Neraca perdagangan bulan Oktober 2018 mencatatkan defisit sebesar USD1,82 miliar, dimana pada bulan sebelumnya (September) mencatat surplus sebesar USD314 juta. Sehingga, secara kumulatif, defisit Januari--Oktober 2018 tercatat sebesar USD5,51 miliar. 

Perkembangan harga di tingkat konsumen hingga November 2018 menggambarkan stabilitas ekonomi domestik yang tetap terjaga. Tekanan terhadap nilai tukar Rupiah mulai mengalami penurunan pada November 2018 dan akan sedikit mengalami tekanan pada Desember 2018. Per Akhir November 2018 nilai tukar rupiah tercatat pada level Rp14.577,0 per dolar Amerika Serikat, atau terdepresiasi sebesar 7,64 persen year-to-date (ytd). 

Perkembangan penguatan nilai tukar Rupiah sangat dipengaruhi oleh risk apetite dan kebijakan yang ditempuh oleh Bank Indonesia dan Pemerintah dalam meningkatkan kinerja ekonomi nasional. Namun demikian, outlook pertumbuhan ekonomi nasional hingga akhir tahun masih optimis berada pada kisaran target yang telah ditetapkan sebesar 5,1 hingga 5,2 persen.

Abdul Aziz (ASN Kemenkeu)

*) Tulisan ini adalah pendapat pribadi penulis dan tidak mencerminkan sikap dan kebijakan instansi penulis bekerja.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun