Beberapa tahun ke belakang  "Islam" menjadi trending topik di media sosial dan surat kabar baik nasional dan juga internasional, khususnya peristiwa aksi 212 akhir tahun 2016 lalu. Bagaimana tidak, berbagai macam unjuk rasa yang berkumpul di pusat kota Jakarta dengan ratusan ribu orang, juga dalam ceramah-ceramah, khutbah-khutbah jumat di mesjid dikumandangkan oleh para ustadz agar tidak memilih pemimpin kafir kepada kaum muslimin dengan ujaran kebencian dikumandangkan.Â
Selain peristiwa di atas ada juga peristiwa yang sangat fenomena yaitu pembakaran mesjid Ahmadiyah di mana sekelompok orang dengan mengatasnamakan Islam datang dan membakar tempat ibadah mereka. Selain itu sekitar tahun 2012 dan 2014 terjadi tragedi Sampang yang juga dengan mengatasnamakan Islam menghancurkan tempat tinggal kelompok Islam Syiah dan membunuh satu orang.Â
Dan dari peristiwa itu memperlihatkan betapa Islam begitu radikal dan kasar, sehingga banyak orang, baik dari kalangan Muslim dan non Muslim melihat kejadian itu berpandangan bahwa Islam yang anti toleran, Islam yang anti kasih sayang, Islam yang penuh dengan kekerasaan dan Islam anti kemanusiaan. Dan semua itu mencoreng akan sakralisasi Islam. Dan kejadian-kejadian itu menunjukan bahwa Islam sedang berada dalam situasi krisis, atau istilah yang digunakan oleh Dawam  Raharjo wajah Islam sedang runyam. Yang dimaksudkan runyam di sini adalah bahwa Islam selalu digambarkan sebagai agama kekerasan dan  tidak ramah. Menurut Dawam Raharjo Islam tidak lagi menjadi Dar al-Islam (Bumi yang damai) namun menjadi Dar al-Harb (bumi yang penuh dengan konflik).[1]Â
Â
Melihat fenomena di atas bisa kita amati bahwa Islam seolah menjadi agama yang menakutkan dan kasar. Padahal Islam adalah agama yang penyayang dan agama yang penuh dengan nilai-nilai kemanusiaan. Ini terlihat jelas dalam ayat al-Qur'an yang menyebutkan bahwa, Barang siapa membunuh seseorang tanpa orang itu melakukan kejahatan pembunuhan atau perusakan di bumi, maka bagaikan ia membunuh seluruh umat manusia; dan barangsiapa menolongnya maka bagaikan ia menolong seluruh umat manusia (Q.S, 5: 32).Â
Â
Ayat di atas menurut Cak Nur (Nurcholis Majid) merupakan sebuah prinsip nilai-nilai kemanusiaan dalam Islam, dan prinsip itu disampaikan saat nabi Muhammad Saw berkhutbah saat pelaksanaan haji wada' atau yang sering dikenal dengan (Khutbah Al-Wada'). Menurut Cak Nur, Nabi menyampaiakan kepada umatnya pesan tentang kesucian jiwa, harta dan kehormatan.[2] Tiga pesan ini merupakan nilai-nilai kemanusiaan yang harus dijaga oleh setiap manusia. Selain itu juga dalam ayat itu tersisip agar manusia senantiasa berbuat baik kepada sesama manusia. Tanpa melihat status, agama, golongan, ras dan sebagainya yang menjadi poin utama adalah menolong dan berbuat baik.Â
Â
Di ayat lain juga Al-Qur'an menegaskan tentang anjuran untuk berbuat baik kepada orang lain. Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah  (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.
Â
Dari ayat-ayat di atas dapat dilihat betapa Allah benar-benar menganjurkan kepada orang Muslim untuk berbuat baik dan menjungjung nilai-nilai kemanusiaan kepada siapapun. Karena Islam adalah agama yang ramah dan penuh dengan kasih sayang. Teringat akan penjelasan dari seorang Ibn Taymiyyah dalam kitabnya bahwa Islam memiliki tiga konsep dan ketiganya itu membentuk tiga tingkatan berututan yaitu Islam, Iman, dan Ihsan.[3] Menurutnya, Islam adalah menyembah Tuhan dan tidak menyekutukan sesuatu dengan-Nya, melaksanakan salat, membayar zakat dan melaksanakan puasa ramdhan. Iman adalah percaya kepada Tuhan,Malaikat-Nya, Kitab-Kitab-Nya, hari Akhir, Utusan-Nya dan hari Kebangkitan. Semenatara Ihsan ialah menjadi Muslim yang sempurna ialah menyembah Tuhan seakan-akan melihatnya, apabila tidak dapat melihat-Nya maka Dia melihatmu.Â
Â
Namun menurut Ibn Taymiyyah tingkatan paling tinggi dalam konsep di sini adalah Ihsan, tingkatan pertengahan adalah Iman. Dan terakhir adalah Islam. Menurutnya, orang yang ihsan (Muhsin) adalah seorang yang beriman atau percaya (Mu'min), dan setiap Mu'min adalah seorang Muslim tetapi tidak setiap Mu'min adalah Muhsin, dan tidak setiap Muslim adalah Mu'min. Dari pandangan tadi memperlihatkan bahwa Ihsan atau berbuat baik adalah hal yang harus diutamakan dalam diri seorang Muslim yang beriman. Jadi, ketiga konsep yang dihadirkan Ibn Taymiyyah merupakan gambaran betapa Islam adalah agama yang penuh dengan kebaikan, dan penuh kepeduliaan kepada sesama. Oleh karena itu penting bagi seorang Muslim harus menjadi sebuah ideologi agar menjadi seorang Muslim.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H