Salah satu permasalahan di era modern ini adalah kecenderungan pola dan gaya hidup masyarakat yang semakin hedonisme. Gaya hidup hedonisme merupakan implikasi gaya hidup yang tinggi di tataran masyarakat saat ini sehingga gaya ini cenderung akan melupakan Tuhannya.
Kita bisa lihat contoh-contoh nyata dalam kehidupan saat ini, seperti banyak artis yang ingin mengoleksi barang-barang mewah, shoping dengan barang-barang yang branded, makan di tempat-tempat yang enak dan mahal, perawatan tubuh dengan operasi plastik supaya cantik dengan miliaran rupiah dan contoh-contoh lainnya.
Kalau meminjam istilah nya Benthem, bahwa gaya hidup hedonis adalah suatu dorongan seseorang untuk berprilaku dengan memegang prinsip kesenangan.
Kalau kita lihat ke dalam sisi definisinya menurut Henk ten Napel, bahwa hedonisme ini awalnya dari kata Yunani yaitu hedonismos yang akar katanya hedone yang artinya kesenangan.[1] Makanya menurutnya, paham ini sebenarnya ingin berusaha memaparkan bahwa tujuan dalam sebuah kehidupan di dunia ini adalah meningkatkan kuantitas kesenangan bukan kualitas.
Dilihat dari sisi historisnya hedonisme ini muncul di awal sejarah filsafat sekitaran tahun 433 SM. Hedonisme memang menjadi jawaban dari permasalahan, apa yang menjadi tujuan akhir bagi manusia? Dan jawaban yang muncul waktu itu adalah hedonisme untuk mencapai sebuah kebahagiaan dan kesenangan.[2]
Pandangan tentang tujuan manusia yang ingin mencapai kesenangan dan kebahagiaan dijelaskan oleh seorang filsuf Yunani juga yaitu Epikuros. Menurut Epikuros tindakan manusia untuk mencari kesenangan merupakan naluriah kodrat manusia itu sendiri.Â
Namun ternyata, menurut Franz Magnis Suseno, pemikiran Epikuros ini tidak hanya mencakup kesenangan jasadi saja tapi juga kesenangan rohani seperti terbebasnya jiwa  manusia dari rasa resah dan gelisah.[3]
Kemudian Franz Magnis juga mengomentari bahwa hedonisme saat ini sudah mengalami pergeseran makna dan pemahaman masyarakat saat ini yang lebih condong pada orientasi material.[4] Inilah yang kemudian kita bisa lihat di masyarakat saat ini. Sebagian besar orang berpandangan bahwa kesenangan, kebahagiaan dan kenikmatan dilihat dari sisi banyaknya material yang puncaknya mempunyai segalanya adalah puncak kebahagiaan.
Sehingga paham hedonisme ini menjadi sebuah cara pandang (worldview) hidup manusia di dunia ini. Seperti menurut Ahmad Mustafa dalam bukunya bahwa hedonisme ini sudah dianggap sebagai tujuan utama kesenangan dan kebahagiaan dalam hidup masyrakat kita sekarang.
[5] Artinya bahwa hedonisme ini lebih menitikberatkan kepada hal-hal yang bersifat jasadi daripada rohani dan hanya berupa kesenangan sementara yaitu kesenangan dunia. Â
Ahmad Mustofa kemudian melanjutkan bahwa kesenangan pada dunia adalah bentuk cinta pada dunia yang secara berlebihan  merupakan bagian reduksi cinta pada Allah. Tuhan tidak memiliki tempat dalam kehidupan pemeluk agama akibat dari pemutlakan cinta pada harta dan tahta di dunia.
Dan hal itu sangat bertolak belakang dengan ajaran agama khususnya di dalam ajaran agama Islam. Islam itu adalah ajarannya akan membuat kita damai secara batini juga secara jasadi.Â
Sementara menurut Gus Dur Islam adalah keyakinan yang menebar kasih sayang, yang secara mendasar selalu menghargai perbedaan yang melihat secara batini dan seimbang dengan jasadi.[6] Artinya bahwa Islam ini membawa rahmat dan kasih sayang bagi kita semua baik secara batin dan dhahirnya.
Oleh karena itu Islam tidak mengajarkan pemeluknya berlaku hedonis dalam menjalani kehidupan ini, karena hedonisme hanya akan mengejar kebahagiaan sesaat.Â
Selaras dengan hal itu, al-Ghazali juga memberikan pendapatnya bahwa kebahagiaan manusia pada umumnya itu kondisi jiwa seseorang muncul dari kesenangan terhadap sesuatu yang yang diperoleh dari kenikmatan-kenikmatan indrawi, sesuatu yang indah dipandang, dan nikmat dirasakan oleh jasadi itu semua hanya kesenangan nisbi atau temporal sementara.Â
Kesenangan dan kebahagiaan yang temporal itu akan hilang dengan cepat ketika faktor eksternal itu menghilang.[7]
Dan menurut al-Ghazali kebahagiaan hakiki adalah kebahagiaan yang hanya mampu diperoleh ketika kesenangan dan kebahagiaan itu menyentuh jiwanya.Â
Ia melanjutkan bahwa kesenangan dan kebahagiaan tertinggi adalah pengenalan terhadap Tuhan, karena jiwa diciptakan untuk mengenal-Nya, dan itu adalah kebahagiaan yang sangat esensial. Oleh karena itu dalam kitabnya Ihya ulumuddin ia berkata,
Bisa diterjemahkan: Ketahuilah bahwa seluruh kebaikan, kenikmatan, dan kebahagiaan, bahkan segala hal yang dicari dan memberi kesan dalam jiwa disebut nikmat. Akan tetapi, nikmat yang hakiki adalah kebahagiaan ukhrowiyyah (akhirat).[8]
Sementara itu, menurut Ibn Miskawaih kebahagiaan itu adalah sesuatu yang dirasakan oleh dua unsur yang ada dalam diri manusia yaitu jasad dan ruh. Kebahagiaan yang bersifat jasad itu bersifat sementara. Sementara kebahagiaan ruh adalah kebahagiaan yang bersifat spiritual. Kebahagiaan spiritual lebih sempurna dan kekal nikmatnya.[9]
Sementara menurut Al-Farabi memiliki konsep dua kebahagiaan. Kebahagiaan secara batini diri melalui akal. Sementara kebahagiaan kedua adalah kebahagiaan secara sosial.
Puncak kebahagiaan pertama adalah ketika jiwa manusia menjadi sempurna di dalam wujud dan sudah tidak membutuhkan dalam eksistensi pada suatu materi indrwai. Untuk mencapai jiwa yang sempurna ini menggunakan akalnya untuk mencapai akal aktif istilahnya adalah akal mustafad (akal sempurna) yang mampu berhubungan melalui batinnya dengan alam semesta.Â
Sementara puncak kebahagiaan secara sosial adalah dengan membuat analogi bahwa kebahagiaan secara sosial itu seperti anggota tubuh, di mana untuk mencapai kebahagiaan itu harus ada seperangkat tata aturan yang menjadi pedoman bagi masing-masing individu dalam melaksanakan fungsi sosialnya.[10]
Dengan kata lain, al-Farabi ingin menegaskan bahwa untuk mencapai sebuah kebahagiaan itu dimulai dari diri individual itu sendiri dengan pembersihan dan perbaikan diri, setelah itu baru mampu merealisasikan tatanan kebahagiaan secara sosial dengan tuntunan ajaran agama.
Konsep Al-Farabi Sebagai Landasan Solusi
Seperti dalam kitabnya Ara Ahl al-Madinah al-Fadhilah nya al-Farabi seorang tokoh Ibrahim Madkour ia mengomentari bahwa: Kebahagiaan menurut al-Farabi ialah ketika jiwa manusia ingin menjadi sempurna dan bahagia maka ia harus terlepas dari sifat materi. Dan itu menggunakan akal aktif nya manusia yaitu penggunaan akal rasio fitrahnya.
Kalau kita pahami komentar al-Farabi yang berbicara tentang jiwa manusia menjadi sempurna di dalam wujud, itu menunjukan bahwa jiwa dan roh harus menyatu satu sama lain. Selain itu kalimat jiwa manusia yang sempurna menunjukan bahwa ketika ia sadar bahwa jiwa yang hakiki manusia adalah adalah ruh suci maka ia akan sadar akan kefitrahan dia sendiri.Â
Dan manusia akan sadar betapa kebahagiaan hakiki itu muncul dari sisi imateri bukan materi.
Intinya bahwa manusia yang hakikatnya adalah ruh suci harus mampu menghadirkan Tuhan yang suci pula yang bersifat imateri dan dengan mengutamakan ajaran Tuhan tentunya manusia akan menuju pada sifat-sifat kebaikan. Kebaikan akan fitrahnya muncul pada diri manusia.Â
Dan tidak akan lagi berfikir bahwa kebahagiaan itu berasal dari dan menuju ketika manusia memiliki kekayaan yang melimpah. Padahal hakikat semua itu adalah hanya akan menuju kehancuran dan ketiadaan. Sementara yang dimaksudkan oleh al-Farabi adalah menuju kepada keabadiaan ruh itu adalah kebahagiaan menuju Tuhan.
Bila kita lihat dengan seksama konsep etika al-Farabi ini menjawab permasalahn hedonisme manusia modern saat ini yaitu dengan pertama menggunakan akal rasio kita untuk memahami tujuan dari kebahagiaan itu apa dan kita dari mana dan menuju kepada siapa.
Juga manusia memiliki tiga tingkatan akal dalam dirinya yaitu akal potensial, akal aktual dan akal mustafad. Ketika semua akal ini dipakai oleh manusia maka ia akan jauh dari sifat hedonisme. Karena hedonisme ini hanya mengarahkan manusia kepada kebahagiaan sementara dan sesaat dan tidak kekal.
Sementara itu, prinsip etika nya al-Farabi ini juga berhubungan etika kenegaraan yang tercantum dalam kitabnya Ara' Ahl al-Madinah al-Fadhilah. Di sini al-Farabi ingin menjelaskan tentang kebahagiaan secara sosial masyarakat.Â
Menurut al-Farabi kedudukan kepala negara menjadi pusat dalam sebuah tata kenegaraan diibaratkan seperti jantung pada anggota badan. Jantung itu sumber kehidupan, pusat koordinasi sekaligus keharmonisan.
Makanya menjadi kepala negara merupakan tugas terberat sekaligus yang paling mulia. Kepala negara tidak hanya mengurusi urusan yang sifatnya politis saja, tetapi juga yang paling utama adalah akhlak, karena ia adalah panutan, pusat cerminan masyarakat.Â
Maka dari itu, seorang pemimpin yang mampu memiliki sifat ini patut ditiru dan dijadikan contoh bagi masyarakatnya, sehingga sebuah masyarakat bisa dikatakan sebagai masyarakat yang bahagia.
Maka kita dapat simpulkan bahwa ketiga prinsipnya al-Farabi ini memberikan solusi kepada manusia modern untuk kembali kepada fitrahnya manusia sebagai manusia yang suci dan fitrah dan melihat bahwa kebahagiaan itu menuju kepada Tuhan yang suci agar manusia melihat bahwa hedonisme hanya menggapai kebahagiaan yang sesaat.
Sementara menuju Tuhan adalah suatu yang logis bagi pemikiran manusia agar ia mampu terlepas dari eksistensi materi kebendaan dalam dirinya dan kembali kepada Tuhan yang suci dan kembali pada fitrahnya.
Konten ini telah tayang di Kompasiana.com dengan judul "Konsep Etika Al-Farabi sebagai Solusi terhadap Permasalahan Manusia Modern", Klik untuk baca:
Kreator: Bayu Sukma
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H