Saya yakin, sang ibu sangat sayang dengan masa depan kehidupan anaknya. Makanya diajak bekerja saat liburan sekolah. Oh, ya secara fisik anak gadis ini kayaknya masih berstatus anak sekolah. Jadi liburan diisi dengan membantu ortu di warung kupat tahu. Tindakan yang sangat mulia.
Tak sempat lama bersama sang ibu, datang lah sang bapak. Dengan sedikit bahasa tubuh supaya bergeser menjauh, anak gadis rupanya paham benar dengan perintah tersebut. Akhirnya bergeser menjauh. Dia hanya bertugas memasukkan bungkusan krupuk saja. Tak apa lah yang penting masih bisa bantu ortu.
Sesaat kemudian hidangan pun disodorkan, kupat tahu tanpa merek Singaparna. Penampilan sama dengan kupat tahu lainnya. Yang membedakan adalah memori rasa sebelumnya. Enak lah, sesuai dengan harga yang tercantum.
Gercep, tancap gas, karena perut ini dengan sengaja dikosongkan. Sebelumnya tanpa terisi makanan karena ingin menikmati rasa kupat tahu. Setidaknya akan lebih obyektif dengan rasa. Dapat dibayangkan jika perut dalam keadaan kenyang. Pasti ga akan bisa merasakan nikmat makan kupat tahu di pagi hari.
Suapan pertama saja sudah bisa menandakan rasa yang tidak berubah. Masih kategori enak sesuai lidah. Tambahkan krupuk sedikit saja, enaknya ga pergi, masih setia. Sampai gigitan terakhir, rasa enak kayaknya betah banget temani lidah. Geligi seakan kompak dengan lidah, bersama menikmati enaknya kupat tahu. Terakhir minum teh hangat. Wow, mantep banget. Sarapan pagi terpenuhi, hati pun memuji, perut terisi, bahagia tiada terperi.
Pemilik warung kupat tahu secara konsisten mempertahankan rasa. Sangat wajar, dalam hitungan menit saja, selalu saja ada yang beli. Entah minta dibungkus atau dimakan disitu. Jadi yang mengendalikan rasa adalah bapaknya, sedangkan anaknya bertugas sebagai pencampur saja. Bapaknya memang berdiri dekat dengan gerobaknya memastikan anaknya tidak ada kendali yang berarti.
Perlu kita tiru dalam kehidupan, senantiasa ada pengawasan dan pangkaderan. Walau terganjal dengan istilah Gen Z, namun usaha orang tua untuk "membumikan" anaknya patut dapet acungan jempol dalam membiasakan bekerja. Bekerja bukan kepada orang lain, tapi kepada orangtuanya. Langkah yang real sesuai dunia nyata. Sekolah kejuruan saja mesti ada agenda magang. Nah, ini sudah diajak magang, tanpa bayar alias gretongan, ilmu dapat, pengalaman pun dapet. Apa yang kurang sis ?
Kembali kepada yang bersangkutan, kita hanya orang luar yang melihat sesaat saja. bisa saja pandangan ini adalah salah. Mohon dimaafkan ya !. Kalau pun benar semoga jadi pembelajaran yang bermanfaat. Kata orang pintar, berwirausaha jauh lebih banyak dapet cuan daripada kerja kantoran.
Semoga bermanfaat Kompasianer. Terima kasih.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H