Kupat Tahu tanpa Singaparna dan Gadis Gen Z
Bicara kupat tahu di daerah Priangan, sudah tentu jawabnya adalah Singaparna, Tasikmalaya. Ya, benar sekali. Namun kali ini tidak di Tasikmalaya, tetapi di sekitar Cibiru saja. Tak jauh lah dari rumah.
Merek Singaparna tidak nampak di bagian depan gerobak apalagi di bagian dalamnya. Saya berusaha mencari tahu dengan menebar pandangan. Sejauh mata memandang hanya rangka gerobak yang tertutup kaca bening. Saking keponya, waktu pulang pun di tengok lagi, siapa tahu nyelip gitu. Tetap tidak ditemukan.
Loh, kok jadi cerita merek sih ? Ya, ga apa-apa lah. Maklum korban merek Singaparna. Sudah beberapa tempat makan bergender Kupat Tahu, senantiasa mencantumkan merek Singaparna. Entah yang dekat dengan rumah sampai yang terbilang jauh dari rumah. Jadi menurut saya kata Singaparna menjadi brand penambah kualitas kupat tahu.
Jujurly, saya rada termakan merek tersebut sehingga ketika makan Kupat Tahu yang ga ada mereknya jadi curiga. Over thingking kali ya !.Janganlah begitu kawan, Anda kan sudah lanjut usia. Jadi tau diri lah sedikit.
Baru menyadari bahwa tempat makan kupat tahu tempo hari adalah kali ketiga. Selama ini saya ga engeh dengan merek yang tidak ada. Asal makan saja tanpa orientasi lingkungan yang mendetail. Selesai urusan, selesai pula hajat. Langsung pulang tanpa tengok-tengok keadaan.
Waduh ngelantur nih Pak Abas !. Stop basa basi ya !.
Makan kupat tahu pagi setelah anter istri ke tempat kerja memang direncanakan istri. dia bilang kangen juga makan berdua di sana. Setelah absen di kantorya, kebetulan ga lagi piket, maka pulangnya kita putuskan untuk singgah di warung kupat tahu tanpa nama. Kita akan makan kupat tahu.
Sambil menunggu, seperti biasa, mata jelalatan dengan suasana. Ada yang menarik, yang tak biasa dengan pelayanannya. Tidak langsung mempercayai, ditunggu lagi untuk meyakinkan benar apa yang saya lihat. Tau ga sih apa yang aneh ? Rupanya petugasnya baru. Anak gadisnya diikutsertakan kerja bareng ibunya.
Anak gadis kekinian, anak zaman now, atau gen Z, yang terkenal dengan sangat dekat Teknologi. Namun paksaan ortu sehingga harus mendampingi sang ibu tercinta dalam bekerja. Nampak canggung sekali. Pegang pisau saja ragu-ragu. Memotong ketupat sangat hati-hati, terlihat takut tangannya luka, padahal sudah pakai pelindung tangan agar ga luka. Menggoreng tahu pun terlihat kikuk sekali. Sampai-sampai tahu pun jatuh saat dipindah ke piring.
Saya dan istri sempat menyimak agak serius sedikit. Ya, sedikit saja, takut kewalat kalau banyak-banyak. Lebih sering bersihkan tangan dari pada berusaha bekerja sebaik mungkin. Jadi tangan "kotor" sedikit saja sudah langsung dibersihkan, apalagi kalau sudah "mengganggu" kuku cantiknya, tak segan berhenti dulu untuk beresin kukunya. Duh, rempong bingit ya.
Saya yakin, sang ibu sangat sayang dengan masa depan kehidupan anaknya. Makanya diajak bekerja saat liburan sekolah. Oh, ya secara fisik anak gadis ini kayaknya masih berstatus anak sekolah. Jadi liburan diisi dengan membantu ortu di warung kupat tahu. Tindakan yang sangat mulia.
Tak sempat lama bersama sang ibu, datang lah sang bapak. Dengan sedikit bahasa tubuh supaya bergeser menjauh, anak gadis rupanya paham benar dengan perintah tersebut. Akhirnya bergeser menjauh. Dia hanya bertugas memasukkan bungkusan krupuk saja. Tak apa lah yang penting masih bisa bantu ortu.
Sesaat kemudian hidangan pun disodorkan, kupat tahu tanpa merek Singaparna. Penampilan sama dengan kupat tahu lainnya. Yang membedakan adalah memori rasa sebelumnya. Enak lah, sesuai dengan harga yang tercantum.
Gercep, tancap gas, karena perut ini dengan sengaja dikosongkan. Sebelumnya tanpa terisi makanan karena ingin menikmati rasa kupat tahu. Setidaknya akan lebih obyektif dengan rasa. Dapat dibayangkan jika perut dalam keadaan kenyang. Pasti ga akan bisa merasakan nikmat makan kupat tahu di pagi hari.
Suapan pertama saja sudah bisa menandakan rasa yang tidak berubah. Masih kategori enak sesuai lidah. Tambahkan krupuk sedikit saja, enaknya ga pergi, masih setia. Sampai gigitan terakhir, rasa enak kayaknya betah banget temani lidah. Geligi seakan kompak dengan lidah, bersama menikmati enaknya kupat tahu. Terakhir minum teh hangat. Wow, mantep banget. Sarapan pagi terpenuhi, hati pun memuji, perut terisi, bahagia tiada terperi.
Pemilik warung kupat tahu secara konsisten mempertahankan rasa. Sangat wajar, dalam hitungan menit saja, selalu saja ada yang beli. Entah minta dibungkus atau dimakan disitu. Jadi yang mengendalikan rasa adalah bapaknya, sedangkan anaknya bertugas sebagai pencampur saja. Bapaknya memang berdiri dekat dengan gerobaknya memastikan anaknya tidak ada kendali yang berarti.
Perlu kita tiru dalam kehidupan, senantiasa ada pengawasan dan pangkaderan. Walau terganjal dengan istilah Gen Z, namun usaha orang tua untuk "membumikan" anaknya patut dapet acungan jempol dalam membiasakan bekerja. Bekerja bukan kepada orang lain, tapi kepada orangtuanya. Langkah yang real sesuai dunia nyata. Sekolah kejuruan saja mesti ada agenda magang. Nah, ini sudah diajak magang, tanpa bayar alias gretongan, ilmu dapat, pengalaman pun dapet. Apa yang kurang sis ?
Kembali kepada yang bersangkutan, kita hanya orang luar yang melihat sesaat saja. bisa saja pandangan ini adalah salah. Mohon dimaafkan ya !. Kalau pun benar semoga jadi pembelajaran yang bermanfaat. Kata orang pintar, berwirausaha jauh lebih banyak dapet cuan daripada kerja kantoran.
Semoga bermanfaat Kompasianer. Terima kasih.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H