Mohon tunggu...
Abas Basari
Abas Basari Mohon Tunggu... Guru - Guru Biologi SMA Al Masoem

melakukan apa pun yang bisa, kalau boleh orang lain bahagia

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Bisakah Lahang Minuman Tradisi Menjadi Trendi?

27 September 2022   20:24 Diperbarui: 27 September 2022   20:26 236
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Artikel saya tentang kopi lahang pun menjadi tantangan setelah ditayangkan di Kompasiana. Betapa tidak menyangka bakal direspon oleh teman-teman kuliah. Mereka bertanya tentang kadar alkohol, tempat memperoleh di Bandung, bahkan budidaya pohon Aren. Waduh...membuat saya jadi terbawa ikut cari tahu di Google.

Minuman lahang saat ini termasuk sangat jarang diperoleh, di perkotaan, pinggiran kota, dalam acara apa pun setahu saya belum pernah menemukan.

Lahang dalam bahasa Sunda atau air nira merupakan air hasil fotosintesis pohon aren. Beraroma sangat khas mirip dengan aroma gula aren. Kandungan rasa manis yang tinggi maka sangat lazim diencerkan lagi sehingga di dapat rasa manis yang pas.

Di luar dugaan dalam acara hajatan nikahan anaknya teman istri, ada jamuan minuman lahang. Begitu menghirup aroma lahang dalam gelas, saya seakan terbawa ke masa lalu, saat kecil di Sumedang.

Sewaktu kecil, saat itu masih mudah menemukan minuman ini. Bambu sekitar empat ruas atau setinggi pria dewasa, sekitar 150 Cm lah. Diikat denga tali dari ijuk atau bambu tali sehingga bisa diselendang jika membawa satu bambu. Bagian bawah memang sengaja dibiarkan tertutup sedangkan bagian atas dibiarkan terbuka. Ditutup dengan ijuk aren yang lembut.

Pakaian yang digunakan pedagang biasanya pakaian pangsi yang berwarna hitam dengan ikat kepala Barangbang Semplak. Penampakan Sunda abis menjadi daya tarik tersendiri.

Sehubungan emak saya yang sengaja beli untuk saya dan dua adik perempuan saya yang masih kecil-kecil. Kita berempat minum di teras rumah. Masing-masing satu gelas. Aroma khas asap hasil dipanaskan dengan suluh kayu, air nira tercium hidung yang sengaja di dekatkan dengan gelas.

Aroma asap bercampur dengan manisnya lahang.  Rasa manis yang tidak terlalu dominan namun sangat berasa di lidah.

Kebetulan sekali sewaktu ada keperluan jajan pisang goreng di samping sekolah, kita sempat ngobrol tentang air nira atau lahang. Kang Wahyu saya memanggilnya, beliau asli orang Cililin Kabupaten Bandung Barat. Masih ada pamannya di Cililin yang bekerja sebagai pengrajin gula aren.

Bagaimana panen nira ?

Kang Wahyu menceritakan bahwa untuk satu pohon aren bisa disadap dengan 2 bambu jika ada 2 bunga mayang khusus perbungaan. Petani sudah sangat paham benar mana bunga bakal buah dan hanya bunga saja. Nah yang bakal bunga saja yang disadap. Jika muncul 2 bunga saja maka akan ada 2 batang bambu untuk menyadap.

Waktu untuk menyadap dilakukan 2 kali sehari. Pagi hari dan petang hari. Hasil panen di pagi hari akan segera dipanaskan untuk menghindari fermentasi, biasanya dibentuk gula aren. Hasil panen di sore hari setelah dipanaskan, biasanya dijajakan di pasar guna dijual kepada konsumen. Di Pasar Cililin, sampai saat sekarang masih ada pedagang lahang.

Dengan alat bambu dari jenis Gombong, lahang disimpan setelah dipanaskan. Dengan ikat tali dari bambu tali bambu berisi lahang sudah dapat digendong. Jika membawa dua bambu maka dapat dipikul.

Tatacara mengeluarkan air lahang pun menjadi atraksi yang layak dicermati. Bagian atas bambu Gombong memang terbuka dan ditutup dengan ijuk aren yang lembut. Gelas kosong akan didekatkan dengan bagian atas bambu Gombong. Ketika dituangkan maka hanya mengangkat bagian bawahnya sehingga menjadi lebih tinggi dari bagian bagian atas sampai air lahang keluar.

Bagaimana budidaya aren ?

Kang Wahyu kembali menuturkan tentang cara budidaya aren. Buah aren yang sudah matang sangat digemari oleh musang atau careuh (Sunda), sehubungan bijinya tidak bisa dicerna maka akan dikeluarkan bersama kotorannya. Musang akan buang kotoran namun tidak bisa diprediksi, sangat random, ya dimana saja. Biji akan tumbuh sesuai dengan ketinggian atau letak geografis, yakni berbukit-bukit.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun