Mohon tunggu...
Abang Suher
Abang Suher Mohon Tunggu... Penulis - Tulis yang kamu kerjakan, kerjakan yang kamu tulis

Tinggal di Parepare, kota Pendidikan di Sulawesi Selatan, Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Tradisi

Buka Puasa Bersama (yang) Terlarang?

26 Maret 2023   08:27 Diperbarui: 26 Maret 2023   08:30 689
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tradisi. Sumber ilustrasi: UNSPLASH

By. Suherman Syach

Mengawali bulan Ramadhan tahun ini, kita diterpa kegaduhan. Tak tanggung-tanggung gaduhnya datang dari para pesohor negeri. Menurutku, isunya sepele, tetapi bagi orang lain, rupanya sangat sensetif. Termasuk para pesohor itu. Beruntungnya, penetapan 1 Ramadhan kompak. Andai berbeda, pasti gaduhnya dobel ganda campuran. Hehe.

Pemicu kegaduhan datang dari istana. Rupanya, orang-orang istana masih trauma dan mewaspadai virus mematikan CORONA.  Berdalih kehati-hatian atas penyebaran corona kembali, istana melalui Sekretaris Kabinet mengeluarkan surat edaran melarang buka puasa bersama (Bukber). Meski surat edarannya terbatas, tetap saja ramai disoal.

Opini pertama yang saya baca, datang dari seorang influenser, M. Rizal Fadillah. Katanya, dia pemerhati politik dan kebangsaan, tapi saya tidak kenal orangnya. Dalam tulisannya yang tersebar di media sosial, saya nilai cukup propaganda nan destruktif. Judulnya, "Istana Melarang Buka Puasa Bersama, ini Negara PKI?".

Narasi yang dikembangkannya diluar nalar atau logika sehat. Jika pun istana melakukan pelarangan Buka Puasa Bersama, apa relevansinya dengan negara PKI. Mengapa isunya ditarik dalam rana PKI? Toh PKI sendiri tidak pernah melarang buka puasa bersama. Menurut saya, Rizal Fadillah ini melebih-lebihkan dan hanya "menyerang" dalam konteks politik semata. Menjatuhkan rezim istana saja.

Tanggapan kedua, datang dari pesohor bekas orang istana. Prof. Yusril Izha Mahendra. Meski pun, bukan seistana dengan rezim sekarang, Prof. Yusril mengkhawatirkan pelarangan buka puasa ini sebagai kebijakan berbahaya. Menurut pakar Hukum Tata Negara ini, kebijakan tersebut berpotensi menyerang presiden Joko Widodo dan dicap sebagai anti Islam. Baca : detiknews.com

Bekas Ketum Muhammadiyah, Prof. Din Syamsuddin juga angkat bicara. Menurutnya, kebijakan larangan buka puasa bersama meski ditujukan khusus bagi instansi pemerintah sebagai kebijakan yang tidak arif dan tidak adil. Prof. Din menilai larangan itu justru terkesan tidak memahami makna dan khikmah dari buka puasa bersama pada bulan Ramadhan. Baca : CNN Indoensia.com.

Prof. Yusril dan Prof. Din merupakan pesohor negeri dan keduanya adalah aktivis Partai Politik. Tentu saja, pandangan keduanya akan dinilai bias politik. Jika Prof. Yusril di bawah bendera Partai Bulan Bintang lebih "berangkulan" dengan rezim Joko Widodo. Sementara Prof. Din dikenal sebagai salah satu tokoh "opsosisi" dengan partai barunya, Partai Pelita.

Isu larangan buka puasa bersama, juga ditanggapi para aktivis Organisasi Masyarakat (Ormas). Ketua Umum PB Nahdlatul Ulama (NU) dan PP Muhammadiyah angkat bicara. Ketum PB NU, Gus Yahya meresponden lebih santai. Bahkan tidak khawatir, jika presiden Joko Widodo dicap anti Islam. Karena seperti klarifikasi Menag, Gus Yaqut, adik kandung Gus Yahya, presiden Joko Widodo merupakan sosok yang diyakini sangat perhatian kepada Islam di Indonesia.

Lain halnya, Ketua Umum PP Muhammadiyah, Prof. Haedar Nashir yang justru mempersilahkan pemerintah mengambil kebijakan melarang pejabat buka puasa bersama, Hanya saja, menurut Prof. Haedar kebijakan tersebut harus koheren dan objektif dengan kebijkan pemerintah yang lain. Supaya tidak menimbulkan kesan bahwa kegiatan keagamaan dibatasi sementara yang lain tidak.

Secara tegas, Ketua Bidang Dakwah dan Ukhuwah Majelis Ulama Indonesia (MUI), K.H. Cholil Nafis justru mendesak presiden Joko Widodo mencabut surat edaran tentang larangan buka puasa bersama. Alasannya, membuat gaduh bulan Ramadhan. Menurutnya, larangan buka puasa bersama demi hidup sederhana, apa lagi Corona, tidak realistis dan tidak menemukan momentumnya. Baca : muslimtrend.com.

Klarifikasi Seskab

Promono Anung selaku Seskab, mengungkapkan bahwa pada dasarnya presiden Joko Widodo meminta jajaran pemerintah untuk berbuka puasa secara sederhana pada bulan Ramadhan tahun ini. Permintaan ini dilatari atas banyaknya sorotan publik kepada pejabat yang bergaya hidup parlente alias "bermewah-mewah".

Secara tegas, Pramono Anung mengatakan surat edaran tersebut sifatnya terbatas pada jajaran pejabat pemerintah dan Aparat Sipil Negera (ASN). Bagi masyarakat umum, ormas, dan organisasi lainnya disilahkan menggelar buka puasa bersama. Pemerintah hanya ingin menegaskan agar pejabat dan ASN hidup sederhana.

Intinya "Buka Puasa Bersama Tidak Terlarang, silahkan saja".

Salah, Tapi Harus Bijak

Jika merujuk surat edaran yang dikeluarkan pemerintah melalui Seskab, kelihatannya keliru jika tidak disebut salah. Kekeliruannya karena secara administratif, mestinya surat edaran ini tidak perlu diendus publik. Tidak bocor ke mana-mana. Sifatnya internal. Dengan demikian, tata kelola administrasi pemerintahan di lingkungan Seskab penting dipertanyakan.  

Secara subtantif, konten edaran ini memang perlu kehati-hatian. Mungkin saja, niat presiden Joko Widodo baik, tapi teks adminstratif yang tertuang dalam surat tidak mampu menjabarkan makna subtantif apa yang diinginkan sang presiden.Karena isunya sangat sensetif dan jika ditelaah secara mendalam, menimbulkan tafsir yang macam-macam.

Sesungguhnya, buka puasa bersama merupakan bagian tradisi bulan Ramadhan di negeri kita. Dianjurkan karena karena memang disyariatkan dan mengandung keutamaan silaturahim dan ukhuwah Islamiyah. Begitu dilarang, pasti menimbulkan reaksi, khususnya bagi umat Islam yang sedang menunaikan ibadah puasa.

Ramadhan merupakan bulan yang suci penuh rahmah. Seharusnya, semua pihak harus bijaksana. Menurut saya, isu ini biasa saja dan tidak prinsip sehingga tidak perlu heboh dengan "menggoreng-gorengnya" hingga jadi isu liar. Kurang bijaklah, jika hanya karena isu itu, para pesohor berseru "jangan taati pemerintah".

Tapi dengan kehebohan ini, pemerintah diharapkan lebih hati-hati dan juga bijaksana. Jangan justru jadi biang kehebohan. Semoga.   

  

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Tradisi Selengkapnya
Lihat Tradisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun