By. Suherman
Jelang buka puasa hari pertama, Alena (anak pertama saya) mengajak ngebuburit. Objeknya, Anjungan Campae. Destinasi wisata kota Parepare, Sulawesi Selatan. Karya Taufan Pawe yang cukup digandrungi warga kota. Banyak warga yang berkunjung , termasuk jelang buka Puasa kali ini.
Tetapi bukan itu yang menarik. Perhatian saya lebih tertuju ke jejeran penjual sepanjang jalan. Banyak penjual baru. Baik bergerobak mau pun yang sekedar numpang di trotoar. Mereka penjual musiman, khusus di bulan Ramadhan. Mereka menjajankan penganan buka puasa.
Penganan buka puasa laris manis di bulan Ramadhan. Terkadang survey abal-abal merilis trend penganan terfavorit. Seringkali Jalang Kote menempati posisi teratas. Mengalahkan pisang ijo, cendol, es buah, panada, barongko, pisgor atau sejenis penganan lokal lainnya.
Dari amatan saya, penjual sepanjang jalan semua ramai dan padat pembeli. Baik penjual baru atau pun penjual lama. Mereka dijubeli pembeli yang antrian menunggu pesanan. Gambaran ini menunjukkan sedang terjadi pergerakan atau aktivitas ekonomi yang cukup intens.
Dalam pendekatan ekonomi, pergerakan atau aktivitas ekonomi seperti itu menunjukkan peningkatan dan penambahan kapasitas produksi. Lazimnya dikenal dengan istilah economic growth. Sebuah peningkatan yang disebabkan meningkatnya kapasitas produksi dari pada produsen.
Economic growth di bulan Ramadhan sebenarnya bukan tercipta dari trend positif perekonomian. Melainkan hanya dampak dari apa yang disebut habitual buying behavior. Sebuah kebiasaan pembeli karena kebiasaan yang sudah menjadi tradisi dari waktu ke waktu. Keperluan umat pada bulan Ramadhan meningkat tajam, khususnya dalam memenuhi kebutuhan makan-minum mereka.
Entah kapan terjadinya, tapi yang pasti kebiasaan membeli umat Islam di Indonesia jika memasuki bulan Ramadhan pasti meningkat tajam. Keperluan hidup dan daya belinya naik hingga 2 -- 7 kali lipat di luar bulan Ramadhan. Khususnya untuk bahan pokok yang sifatnya konsumtif.
Fenomena tahunan ini seringkali menimbulkan kekhawatiran pemerintah. Dalam teori ekonomi, peningkatan demand akan diikuti kenaikan harga. Salah dalam menyikapinya dapat berakibat fatal. Memicu terjadinya inflasi dan kelangkaan keperluan "dapur". Seperti bahan bakar rumah, minyak goreng, ayam, ikan, telur, dkk-nya.
Paradoks
Fenomena konsumtif umat Islam pada bulan Ramadhan, sebuah paradoks. Karena berlawanan dengan logika puasa itu sendiri. Logika puasa adalah menahan diri dari makan dan minum. Waktu menahan 10-15 jam lamanya. Mulai terbit fajar hingga terbenamnya matahari. Logika puasa, mengajarkan mengurangi makan bukan menambahnya.
Seorang teman, mengerti dan paham agama. Mensinyalir banyak umat Islam yang terjebak dalam puasa yang hidonisme. Berpuasa, tetapi perilakunya hedon. Suka berhura-hura dalam urusan perut (makan-minum). Makan yang berlebihan dan melampaui batas.
Pernyataan teman saya, ada benarnya dan patut direnungi secara bersama. Idealnya, ibadah puasa melahirkan kesederhanaan dan keseimbangan. Menahan diri (kendali diri), maknanya tahu orang lain (kesadaran sosial). Kendali diri dan sadar sosial dapat melahirkan perilaku, yang disebut Taqwa. Jika perilaku Taqwa tidak hadir dalam diri orang puasa, maka sesungguhnya puasa hanyalah Kesia-siaan dari "lapar dan dahaga". Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H