Mohon tunggu...
Abang Rahino S.
Abang Rahino S. Mohon Tunggu... Freelancer - Pembuat film dokumenter dan penulis artikel features

A documentary film maker & feature writer

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Tentang Impor Rektor

2 Agustus 2019   15:16 Diperbarui: 2 Agustus 2019   15:33 100
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ide Menristekdikti mengimpor Rektor bertujuan agar perti-perti Indonesia yang potensial masuk dalam daftar 200 perti terbaik dunia. Itulah yang muncul di media. Tidak ada wacana ide lain. Simaklah kata Mohammad Nasir, Menristekdikti di sni https://www.suara.com/news/2019/08/01/135921/impor-rektor-asing-dibully-menristekdikti-gimana-bisa-masuk-kelas-dunia 

Program impor Rektor dengan tujuan seperti itu sendiri menurut Penulis sudah bermasalah. Karena, jika sudah masuk 200 perti terbaik dunia lalu apa dampaknya bagi peningkatan kualitas manusia Indonesia? Tidak ada korelasi langsung antara keduanya.

Tapi Penulis tidak ingin berbicara hal itu. Menjadi masalah adalah, betapa Menristekdikti tampak sekali menyederhanakan masalah pendidikan tinggi dan output - outcomenya. Seoah dengan mengganti Rektor dengan yang berkualitas dari hasil impor - yang masih bisa diperdebatkan juga apakah mereka benar-benar lebih berkualitas dari SDM kita - maka persoalan menjadi selesai. Bimsalabim para alumni perti di Indonesia jadi berkualitas. Tidak semudah itu Pak Menteri. Apakah Anda tidak ingat suasana saat masih jadi Rektor Undip, Semarang?

GIGO: Garbage In Garbage Out

Jika mau keluaran perti kita hebat, maka lingkungan yang mendukung proses pendidikan mulai dari keluarga, dikdasmen 12 tahun, dan pendidikan tinggi wajib secara holistis dibenahi. Contoh konkrit: siswa dikdasmen kita tidak dilatih dan dibiasakan menulis esei sejak dini. Sehingga daya nalarnya rendah. Mereka dibiasakan menghafal. Sangat berlainan dengan para siswa dikdasmen di negara-negara maju, yang sejak klas satu dibiasakan bercerita dan kalau tidak salah mulai klas 4 mulai ditugasi menulis esei tematik. 

Apa dampaknya? Alumnus klas 12 gamang menulis. Kalau pun menulis narasi yang dibangun tidak sistematis, nalarnya tidak runut.Jika alumni klas 12 yang demikian masuk perti, bagaimana kita bisa berharap keluaran perti berkualitas? Terlebih lagi dunia perti kita pun juga bukan enabling environtment atau lingkungan yang mendukung bagi dihasilkannya alumni berkualitas tinggi. 

Saya tahu dari tangan pertama, dari sebuah program S2 di perti ternama di kota pendidikan kondhang. Direktur Programnya meminta dosennya untuk menjadi "pabrik tesis" bagi para mahasiswa yang mengejar gelar M.Si karena ingin naik pangkat di instansi masing2. Salahsatu pabrik tesis itu menceritakan kepada saya dengan ringan. Lebih duapuluh tahun sebelum itu saya pun dicritai dengan ringan oleh seorang alumnus perti swasta di kota kecil yang sejuk di Jawa Tengah, bahwa dia sebelum mendapat pekerjaan tetap berbisnis bimbingan skripsi. Bisnis dengan nama itu menurutnya pada dasarnya adalah membuatkan skripsi para mahasiswa S1 dengan berbagai paket layanan.

Saya pun beberapa tahun kemudian melakukan investigasi kecil-kecilan di Yogyakarta dengan menelepon sebuah layanan Bimbingan Skripsi di Jl.Kaliurang, Sleman, tidak jauh dari kampus UGM. Dengan sangat fasih dan tanpa beban sang penerima telpon menjelaskan berbagai paket layanan mereka mulai dari sekedar olah data sampai jaminan ujian skripsi lulus dengan nilai lumayan baik. 

Dunia Kampus

Apakah dunia kampus perti Indonesia sudah menjadi lingkungan yang mendukung bagi dihasilkannya alumni berkualitas? Bisa iya bisa tidak. Bagaimana sekat-sekat antar fakultas dan antar prodi yang masing-masing membawa semangat egosentriisme yang kental? Apakah kampus perti sudah membuat para pengajarnya nyaman bekerja dan merasa aman status dan pemenuhan kehidupannya? 

Sudah jamak kita mendengar betapa para dosen di perti lebih banyak menghabiskan waktu dan enerji mereka untuk berperan sebagai Konsultan bagi berbagai proyek maupun perusahaan, daripada memfokuskan diri mereka sebagai pengajar. Matkul-matkul di ruang-ruang kuliah dihantir olehpara Asisten Dosen yang notabene adalah kakak kelas dari para mahasiswa. 

Kita juga paham bahwa 20% lebih APBN sudah dialokasikan ke program-program di sektor pendidikan, namun itu termasuk pendidikan-pendidkan kedinasan seperti akademi-akademi militer, Akpol, STAN, dan lain-lain. Pendidikan non-kedinasan? Walahualam berapa persen tersisa anggaran untuk mereka. Tidak mengherankan jika masih sangat banyak infrastruktur dikdasmen yang sangat menyedihkan, sementara pendidikan kedinasan bisa dikatakan mewah difasilitasi. 

Jadi bagaimana mau berkualitas jika situasinya demikian?

Dunia Riset

Tanpa berpikir terlalu njlimet kita bisa menyaksikan sengkarut dunia riset kita dari keberadaan lembaga-lembaga riset yang ada. Mereka tidak terkoordinasi, bahkan kentara terjadi persaingan di antara mereka. Ego sektoral sangat tinggi tanpa visi utuh menjadikan bangsa Indonesia menjadi bangsa peneliti.

Belum lagi kita berbicara tentang anggaran riset yang terlihat tidak niat dialokasikan karena kecilnya. Lalu bagaimana dengan kerjasama permanen antara dunia perti, lembaga riset, dan dunia usaha dalam hal riset?

Kurikulum Pendidikan Dikdasmen

Tentang hal ini, Anies Baswedan mewarisi Kurikulum 2013 yang banyak diributkan oleh para Guru. Sangat mungkin keributan itu bukan terkait aspek teknis, tetapi non-teknis. Itu terkait dengan tingkat kelelahan yang tinggi dari para Guru berbanding gaji yang mereka anggap belum memadai walu kini sebenarnya sudah lumayan bagus kesejahteraan mereka.

Selama carut-marut kurikulum dikdasmen masih berlarut-larut, sebaiknya tidak usah mimpi memiliki perguruan tinggi ternama dunia. Jangankan dunia, Asia Tenggara pun jangan bermimpi. 

Bukan Impor Rektor

Pak Menteri Ristekditi yang terhormat, bukan salah para Rektor kita yang membuat perti-perti kita belum berkualitas. Cobalah Bapak jangan berrpikir parsial namun sedikit lebih holistis. Ajaklah ngopi rekan-rekan sekerja Dikdasmen di Kemendikbud, tidak usah seminar mahal-mahal dan muluk di hotel-hotel berbintang seperti kebiasaan kalian para birokrat jika akan mengambil keputusan. Itu pemborosan. 

Duduk saja di kedai kopi, ajak ngobrol stakeholders pendidikan. Niscaya kalian akan mampu, insha Allah, mengurai carut-marut pendidikan kita di Indonesia. Saya sangat yakin jika kalian serius dan segera bertindak tidak usah kakehan pretingsing kata oran Jawa, sepuluh tahun atau paling lama limabelas tahun mendatang keluaran perti kita akan jauh lebih baik daripada hari ini. Dan saya yakin solusinya bukan impor rektor.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun