Kekalahan Hillary memang mengejutkan. Tetapi sebetulnya ada alasan kuat. Ini kira-kira...
1. Masyarakat AS, adalah masyarakat agamis. Mereka taat beragama tetapi tidak religius. Agamis adalah sikap dan sifat yang patuh dan taat pada aturan by law, bukan by heart.  Acuan hidup mereka lebih ke tekstual, letterlijk: what text says bukan esensi apa yang diajarkan di balik teks dengan segala konteksnya.
2. Karena agamis, masyarakat AS lebih mementingkan citra luar. Itu misalnya ditunjukkan dengan budaya verbal. Semua harus dinyatakan dengan kata-kata misalnya permintaan maaf, atau perasaan cinta. Sebagai contoh paradoks, sebagian besar orang Indonesia tidak demikian, tetapi lebih simbolik.
3. Kebijakan Partai Demokrat lebih berorientasi esensial-substantif, bukan tekstual a la kaum konservatif. PD misalnya memberi ruang pada aborsi dan isu LGBT.
4. Kebijakan Partai Republik dalam hal moral berlawanan total dengan PD. Bukan karena ideologi dasar PR demikian tetapi karena mayoritas pendukung PR adalah kaum konservatif yang punya kecenderungan kuat tekstual.
5. Dalam pilpres Selasa lalu, kaum Demokrat ragu-ragu dengan Hillary karena kasus email, kebohongan dia tentang keretakan rumahtangga Clinton, dan kaum Demokrat terbelah soal isu aborsi dan LGBT.
6. Sebaliknya kaum Republikein yakin dan pede walau mereka tetap ingat apa kata Trump tahun1998 tentang mereka. Itu tidak menjadi masalah bagi para pendukung PR saat ini, karena yang penting keluarga DT harmonis, jelas status kebijakannya soal aborsi dan LGBT, Trump membela orang kaya terhadap ancaman pajak tinggi Hillary buat orang kaya untuk subsidi orang miskin, dan calon PR ini akan menyediakan lebih banyak lapangan kerja karena kaum imigran baru tidak akan merebutnya.
7. Pada saat yang sama ada usaha keras dan masif bersemboyan "Faith and Freedom" dari kaum konservatif Kristen yang melakukan kunjungan door-to-door justru di kantong-kantong PD. Mereka menjelaskan alasan mengapa menolak aborsi dan LGBT dengan membawa Alkitab dan mengupasnya dengan ayat2 yang memang ada. Freedom for live bagi calon bayi yang diaborsi adalah argumen ampuh  mereka mengubah pilihan kaum Demokrat  yang memang  sudah jadi swing voters belakangan ini karena kebijakan kontroversial PD.  Jadilah pertimbangan pilihan mereka adalah 'not the worst between the worse'.
Refleksi Untuk Ahok
Bagi Ahok (dan juga Jokowi sebagai guru dan patron Ahok), kasus kekalahan Hillary bisa menjadi cermin. Langkah sapu bersih mereka (yg masih harus dibuktikan efektivitasnya ke depan) Â bisa terhadang oleh kaum kanan konservatif Islam Indonesia yang walaupun mereka minoritas tetapi militan, bersuara keras, dan pemberani. Bukan mereka tidak setuju pada kebijakan sapu bersih Ahok dan Jokowi, tetapi lebih pada sikap konservatisme yang lebih mengedepankan budaya verbal sebagaimana kaum Kristen konservatif di AS pendukung PR dan Trump dalam pilpres Selasa lalu. Ahok selama ini seperti tidak peduli dengan kondis ini, dan dia sangat mengedepankan substansi pesan dalam berkomunikasi tanpa mempertimbangkan budaya verbal seorang pejabat publik yang mau tidak mau harus dijaga agar bisa diterima sebanyak mungkin pihak.Â
Pilar-pilar lain yang perlu dipertimbangkan adalah - tentu saja Ahok dan Jokowi lebih paham daripada saya - kaum nasionalis apapun keyakinan dogmatik dan agama mereka, TNI, dan patron-patron tradisional lain seperti keluarga bangsawan mantan kerajaan-kerajaan di Nusantara.
Bagi Ahok dan Jokowi, mereka akan berhasil melewati gelombang tantangan saat ini jika:
1. Berhasil membangun sinergi Islam moderat-nasionalis-TNI-patronase tradisional. Sekali lagi, mereka berdua pasti sudah paham soal ini.
2. Mempertimbangkan sentuhan emosional daripada rasionalitas belaka. Ini misalnya dengan sikap tidak menyentuh isu-isu agama di ranah politik. Kemudian membangun citra santun-tidak bicara kasar, dan membangun komunikasi positif, sejuk, dan bersahabat secara lintas golongan dan agama. Apa boleh buat, suka atau tidak suka dunia politik adalah dunia pencitraan. Jika tidak suka membangun citra diri ya mudah saja: jangan bermain politik.Â
Salahsatu langkah konkrit sebagai breakdown dari kedua pendekatan itu misalnya Jokowi sebagai guru dan patron politik gubernur petahana DKI harus memerintahkan Ahok (bukan menghimbau atau mengajak)  agar dia membangun citra santun dengan berperilaku dan mempergunakan pilihan kata tidak kasar di depan publik dan bawahannya, serta jangan menyentuh isu agama.  Sekali lagi, dunia politik memang dunia pencitraan. Mau tidak mau citra harus dibangun sesuai dengan persepsi mayoritas masyarakat tentang citra positif pemimpinnya.
Jika Ahok patuh, mereka berdua akan berjaya. Jika Ahok membandel, pilihannya hanya satu di antara dua: Ahok jatuh Jokowi berjaya karena membiarkan Ahok, atau keduanya jatuh karena Jokowi membiarkan Ahok dengan citra tabiat kasarnya. Saya perkirakan Jokowi akan memilih yang menguntungkan dirinya demi cita-cita lebih besarnya untuk Indonesia. Â The ball is more on Ahok's lawn!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H