1. Berhasil membangun sinergi Islam moderat-nasionalis-TNI-patronase tradisional. Sekali lagi, mereka berdua pasti sudah paham soal ini.
2. Mempertimbangkan sentuhan emosional daripada rasionalitas belaka. Ini misalnya dengan sikap tidak menyentuh isu-isu agama di ranah politik. Kemudian membangun citra santun-tidak bicara kasar, dan membangun komunikasi positif, sejuk, dan bersahabat secara lintas golongan dan agama. Apa boleh buat, suka atau tidak suka dunia politik adalah dunia pencitraan. Jika tidak suka membangun citra diri ya mudah saja: jangan bermain politik.Â
Salahsatu langkah konkrit sebagai breakdown dari kedua pendekatan itu misalnya Jokowi sebagai guru dan patron politik gubernur petahana DKI harus memerintahkan Ahok (bukan menghimbau atau mengajak)  agar dia membangun citra santun dengan berperilaku dan mempergunakan pilihan kata tidak kasar di depan publik dan bawahannya, serta jangan menyentuh isu agama.  Sekali lagi, dunia politik memang dunia pencitraan. Mau tidak mau citra harus dibangun sesuai dengan persepsi mayoritas masyarakat tentang citra positif pemimpinnya.
Jika Ahok patuh, mereka berdua akan berjaya. Jika Ahok membandel, pilihannya hanya satu di antara dua: Ahok jatuh Jokowi berjaya karena membiarkan Ahok, atau keduanya jatuh karena Jokowi membiarkan Ahok dengan citra tabiat kasarnya. Saya perkirakan Jokowi akan memilih yang menguntungkan dirinya demi cita-cita lebih besarnya untuk Indonesia. Â The ball is more on Ahok's lawn!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H