Mohon tunggu...
Abang Rahino S.
Abang Rahino S. Mohon Tunggu... Freelancer - Pembuat film dokumenter dan penulis artikel features

A documentary film maker & feature writer

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Obrolan dengan Maestro Lukis S.Sudjojono

15 September 2016   19:25 Diperbarui: 15 September 2016   19:32 45
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

DI DALAM FORD CUSTOMLINE B.958.A MENUJU PELABUHAN RAKYAT KALIBARU, CILINCING, Jakarta Utara, 1970

S.Sudjojono (SS101): Rin nggambar kuwi ra sah kakehan teori. Sing mbok delok nek seneng ya langsung gambaren. Ati, mripat, karo tangan aja padha goroh. (Rin menggambar itu itu tidak perlu kebanyakan teori. Jika kamu melihat obyek yang kamu sukai, langsung aja digambar. Hati, mata dan tangan jangan berbohong waktu melukis)

Abang Rahino (AR): Iya

SS101: Ning kowe ra sah dadi pelukis. Golek gawean liyane wae. Umpama gambarmu elek wong2 padha muni apik merga kowe anake Bapak. Kowe ujug2 dadi terkenal duwe jeneng tanpa nyambut gawe banter (Tapi kamu nggak usah jadi pelukis. Cari kerjaan lain saja. Karena jika gambarmu jelek orang2 akan bilang bagus karena kamu anak Bapak. Kamu mendadak terkenal punya nama tanpa kerja keras).

AR: Hmmm...

SS101: Nek wis dadi pelukis terkenal, kowe gawe ala sithik kabeh wong weruh. Kowe mung ngentut sak ndonya nyalahke kowe. Padahal wong liya sing luwih ala timbang kowe akeh. NIng ora konangan, merga wong2 kuwi ora duwe jeneng (Jika kamu sudah terkenal, kamu berbuat kesalahan kecil saja semua orang tahu. Andai kamu hanya kentut seluruh dunia menyalahkan kamu. Padahal banyak orang lain yang lebih parah daripada kamu tetapi tidak ketahuan. Karena mereka tidak dikenal)

SK: Oooo...Ning nuwun sewu Pak, Kompas-e diwaca maneh ora? (Ooo... Tapi maaf Pak, harian Kompas-nya dibaca lagi gak?)

SS101: Mengko wae nek mulih. Wis meh tekan. Tengen vrij? Menggok tengen, Nang (Nanti saat pulang saja, karena ini hampir sampai. Kanan kosong? Kita belok kanan, Nak)

SK: Wis ket mau koq ndhaplang tengen. Tengen vrij, Pak. Masuk, Pak. (Sudah dari tadi koq minta jalan kanan. Sekarang kanan kosong, masuk, Pak).

Itu percakapanku dengan maestro lukis Indonesia. Seorang maestro bicaranya ya biasa saja koq!  Tidak muluk-muluk sebagaimana biasa digambarkan secara hiperbole oleh para Pengamat dan Pengamatnya Pengamat senirupa Indonesia. Lain waktu saya critai ya bahwa keluarga maestro lukis Indonesia juga sering kehabisan uang tinggal Rp 25. 

Nah ternyata petuah Ayah saya  tadi benar terjadi. Setahun kemudian, pada suatu hari Senin di hari pertama ujian nasional SMP, saya dipanggil ke kantor Kepala Sekolah untuk ikut lomba menggambar nasional yang diselengarakan Kedubes Jepang. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun