Sesuatu yang irasional tentunya. Warga tak peduli lagi Subsidi atau non Subsidi pokoknya harga BBM naik.
Mestinya menurunkan harga kelompok non Subsidi tersebut ada rentang waktu beberapa hari atau seminggu sehingga tidak bercampur dengan keputusan menaikkan harga bbm bersubsidi.
Kerancuan ke dua adalah kenaikan harga ini diakukan saat harga minyak dunia mengalami penurunan.
Rata-rata harga minyak mentah Indonesia/ICP yang ditetapkan Kementerian ESDM pun sudah turun dari US$117,62 per barel pada Juni 2022 menjadi US$106,73 per barel pada Juli. Sumber : CNBC
Kerancuan ke tiga adalah SPBU Pertamina menjual Pertalite dengan harga 10.000 (RON 90) sementara SPBU Vivo menjual produk hampir sejenis yakni Revvo 89 (RON 89) lebih murah, hanya Rp 8.900 per liter.
Apapun alasan ekonomis dan kandungan oktan di dalam produk yang dijua Vivo masyarakat menilai bahwa Pertamina menerapkan harga suka-suka. Pertamina tidak efisien dan beraroma mengakali warga masyrakatnya di balik alasan kandungan oktan, harga ekonomis dan subsidi.
Ke tiga alasan itu jelas membuat warga merasa semarah-marahnya.
Namun di balik itu diharapkan ada kebijakan antara pemerintah dan warga yaitu :
Diharapkan warga dan elemen apapun mewakili warga masyarakat tidak melakukan demonstrasi anarkis apalagi ditunggangi oleh isu politik tentang isue kepemimpinan negara.
Di sisi lain, kepada Pemerintah juga diharapkan kebijaksanaannya agar meninjau kembali harga tersebut. Jika dinaikkan mungkin tidak terlalu besar. Dengan alasan apapun kenaikan harga BBM musti pelan-pelan,
Idealnya mungkin kenaikan Pertalite dari 7.650 rupiah menjadi 9.000 rupiah. Dengan kata lain Pemerintah boleh turunkan lagi 1000 rupiah untuk setiap jenis BBM non Subsidinya.