Ditambah lagi kondisi keamanan sangat kacau saat itu ketika Aceh dilanda kekacauan sparatis Gerakan Aceh Merdeka (GAM), kami tak bisa saling berkunjung leluasa.
PTT yang berat itu pun selesai.
Persoalan baru pun tiba. Baru saja bisa menyatu selama 1 tahun di kota Medan saya kembali di mutasi ke provinsi lain (R) sehingga niat buka praktek mandiri diurungkan.Kami pindah ke sana.
Hampir tiga tahun di Provinsi R saya dimutasi lagi ke provinsi (JB). Kami pun boyongan kembali.
Di Provinsi JB saya sempat urus administrasi agar izin praktek bisa terbit. Kartu anggota IDI kota Bandung terbit. Surat Ijin Praktek (SIP) sedang diurus.
Kami berniat menggunakan sebuah kios yang berlokasi di sebelah rumah dinas saya untuk tempat praktek istri saya. Kami menginventarisir peralatan dan disain serta rencana sewa kiosnya ketika itu. Sangat terjangkau, tinggal beranikan diri saja.
Menjelang rencana sewa saya mendapat kabar dari kantor mutasi lagi ke provinsi KB.
"Tidak boleh menolak jika dapur masih mau ngepul," kira-kira seperti itulah perasasan psikologis saya rasakan.
Mengingat sangat banyak tanggung jawab moral terhadap orang-orang di bawah saya -akhirnya-saya putuskan terima mutasi kembali.
Harapan buka praktek mandiri bersemi kembali,namun terbentur oleh kebijakan IDI. Katanya ijin praktek musti mengikuti ujian lagi guna memperoleh Surat Kompetensi.
"Oh my god.." sesuatu yang sangat sulit mengingat sekian lama sudah istri saya meninggalkan materi kuliahnya dan ia tidak yakin lulus sehingga memutuskan tidak akan urus Surat Kompetensi lagi.