Saya ikut dalam grup WA warga lingkungan tempat saya berdomisili. Di sini saya kadang monitor berbagai informasi. Bapak kepling sering memberi pengumuman akan ada vaksinasi di lingkungannya.
Sambutan warga berlimpah dan antusias, banyak yang mendaftar dan berharap.
Tapi ketika pak kepling mengumumkan 100 nama peserta vaksin di grup banyak yang ngomel.
"Saya sudah 6 kali daftar loooh pak kep..." seorang ibu menjerit di grup WA.
"Sabar ya bu.. nanti juga akan ada giliran.." timpal pak kepling pakai ilmu selamat menyikapi tingginya animo warganya untuk divaksin.
Seorang teman saya di sini mengungkapkan kekesalannya, dari pagi daftar jam 09.00 baru dapat giliran vaksin pukul 16.00.
Terlepas benar atau tidak teman saya utarakan di atas faktanya animo warga kota Medan sangat tinggi. Menurut sumber ini, hingga 30 September 2021 warga Medan yang telah divaksin dosis pertama mencapai 44% dan dosisi ke dua baru 33%.
Meski demikian, secara kualitatif kota Medan menempati urutan ke 6 se Sumatera Utara dalam bidang realisasi warga yang divaksin dibanding target vaksin dosisi pertama.
Mungkin terlalu cepat mengambil kesimpulan, tapi itu juga penting sebelum menutup artikel ini. Rendahnya animo warga divaksin karena 2 alasan yang dikemukakan di atas.
Apa yang dipikir oleh sebagian warga di Aceh (khususnya Lsm) dalam dua pertanyaan di atas mungkin juga dipertanyakan oleh warga lainnya di Medan, Jakarta, Surabaya, Gunung Kidul, Tangerang, Jawa Barat, Sumbar, Kalsel, Sulsel dan lain-lain.
Akan tetapi di mana-mana terlihat animo warga terhadap vaksinasi sangat tinggi. Mereka mau divaksin bukan karena efektif apa tidak, halal atau tidak, pintar atau tidak atau banyak berdoa atau tidak, tapi karena usaha pencegahan secara ilmiah.