Beberapa kali terlihat istri saya mengacuhkan telepon masuk ke hand phone-nya. Sikapnya membuat saya curiga, siapa gerangan yang menghubungi istriku dan dia tidak mengangkat telepon ketika dihadapan saya.
Selama seminggu saya biarkan dan saya simak, kejadian seperti itu terus terjadi. Istriku tak pernah menerima panggilan telepon terebut.
Dua minggu telah berlalu, si penelpon tak henti-hentinya menghubungi istri saya hingga akhirnya saya tanyakan pada istri, "siapa gerangan orang yang menelpon mu?"
"Kalau ujung nomornya 211 dan 268 dan satu lagi kalau gak salah ujungnya 45 itu dari pinjaman online, saya udah malas ngangkat teleponya," jawab istri saya seraya menambahkan pernah terima telepon tapi ditanya pertanyaan pinjaman online adiknya.
Lalu saya korek informasi yang banyak dari istri saya. Rupanya adik ipar saya (adik istri saya) pernah menerima pinjaman online (Pinjol) untuk menutupi utangnya-utangnya.
Ternyata adik ipar saya itu memberi nomor telepon referensi pada perusahaan tersebut, salah satunya nomor telepon istri saya. Padahal kami berada di kota berbeda berjarak 600-an km sehingga tidak tahu menahu tentang "kerjasama" tersebut.
Suatu ketika adik ipar saya itu tengah dalam kesulitan dia tidak dapat membayar lagi cicilannya sehingga dicari-cari, diteror belasan kali sehari.
Setelah itu istri saya menghubungi adiknya dan mendapat penjelasan kronologinya sebagaimana disebutkan secara ringkas di atas. Mendengar penjelasan tersebut saya berinisiatif menerima telepon jika sipenelepon menghubungi istri saya kembali.
Tidak lama setelah mendapat penjelasan telepon masuk dari salah satu nomor yang disebutkan di atas.
Di seberang sana, si penelpon seorang wanita menanyakan (sebut saja) si Mawar. "Ibu Mawar ada pak...?"
Setelah menanyakan siapa, darimana dan dalam rangka apa lalu saya berikan penjelasan, bahwa ini nomor hape istri saya. Kami terganggu dengan Anda. Kami tidak tahu sama sekali tentang kerjasama Anda dengan Mawar."
Singkat cerita, saya minta mereka agar tidak menghubungi istri saya lagi, karena benar-benar terganggu. "Mohon hormati kami jika Anda mau juga saya hormati," ujar saya menegaskan agar dia paham.
Si penelpon berjanji dan setuju tidak menghubungi kami lagi. Betul, dia menghentikan teror teleponnya tapi hanya bertahan 3 hari saja, setelah itu kumat lagi.
Akhirnya saya tidak sabar dan terpaksa melayangkan lontaran kalimat yang tidak pantas disebutkan di sini. Ironisnya setelah itu justru si penelpon tidak hubungi istri saya lagi.
Setelah itu kami diskusi dengan adik ipar menanyakan duduk masalahnya sehingga terungkaplah seperti disebutkan di atas dan berapa tunggakan saldonya.
Kami pun mencari solusi dengan salah satu adik ipar di Jakarta dan akhirnya berusaha membantu kesulitan tersebut. Mendapat suntikan dana urunan, adik ipar kami itu melunasi utang-utangnya.
Ternyata persoalannya tidak sampai di situ. Si Mawar juga punya utang di lain tempat urusan bisnis dari Pinjol juga.
Kami terpaksa urunan lagi mengatasi kesulitan tersebut padahal sebagai pensiunan sebetulnya sudah tidak kuat lagi mengatasi persoalan-persoalan keuangan tidak produktif seperti itu. Untunglah adik kami lainnya dapat mengatasi kendala tersebut.
Peristiwa itu terjadi 2 tahun yang lalu. Kini si Mawar sudah bisa tersenyum dan mengaku "kapok" berurusan dengan pinjam uang ke rentenir dan online.
Si Mawar mungkin lebih beruntung meskipun pernah bikin bingung kakak-kakaknya. Apakah kita sanggup menghadapi hal serupa dalam kondisi seperti si Mawar dan mawar-mawar lainnya?
Tentunya sangat sulit, lebih berat mereka yang merasakannya. Kondisi ini diperparah lagi dalam masa pandemi ini ketika "ruang" memperoleh rezeki semakin terbatas bahkan sempit sementara kebutuhan tetap harus terpenuhi.
Dari peristiwa itu saya menghimbau kepada diri sendiri dan pembaca agar :
- Jauhi utang dari pinjaman online, rentenir, lintah darat dan sejenisnya. Jika terpaksa berutang pinjamlah pada pemberi pinjaman resmi
- Utamakan kebutuhan saja dan kesampingkan keinginan
- Jika untuk kebutuhan pokok pun tidak cukup mintalah bantuan pada teman sejawat, keluarga dan terbukalah pada mereka, mudah-mudahan ada yang terketuk hati nuraninya membantu
- Jangan menghabiskan uang bantuan sekaligus untuk belanja
Semoga kisah di atas dapat menambah perbendaharaan wawasan kita mengapa harus menjauhi aneka pinjaman terutama sekali pinjaman online.
Proses persetujuannya sangat cepat. Syarat super mudah. Transfer dana tidak sesuai janji. Jelas sekali dari awal sudah dirancang penuh jebakan berbahaya guna "menghisap" uang dari korbannya.
Namun lebih membahayakan adalah mereka melakukan teror berbahaya bagi peminjam yang menunggak dengan alasan apapun.
Beberapa nasabah sengaja meminjam lalu mensiasatinya, misalnya berkelit atau menghilangkan jejak setelah menerima pinjaman dari belasan aplikasi Pinjol. Cara seperti itu tidak dibenarkan karena tidak membawa ketenangan dan keberkatan pada rezeki yang kita peroleh.
Korban pinjol resmi atau ilegal bergelimpangan di mana-mana. Mereka kecewa, frutrasi, depresi hingga bunuh diri akibat tertekan tak bisa bayar.
Sebaiknya pemerintah membuat regulasi pinjaman keuangan yang ketat dan kuat termasuk melarang atau menghapus aplikasi pinjol dan lembaga-lembaga keuangan sejenis rentenir.
abanggeutanyo
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H