Hardi menambahkan bantuan itu adalah hasil patungan anak-anak akidi yang bergelut dalam berbagai bidang bisnis.
Bantuan uang itu merupakan hasil patungan dari keenam anak Akidi yang bergelut di berbagai bidang usaha. Mereka berkumpul bersama dan bersepakat menyisihkan penghasilan mereka untuk menangani pandemi di Sumsel. Sumber : dari Kompas.id.
Dari isi pesan yang dibacakan profesor Hari Darmawan dihadapan para hadirin pada 26 Juli lalu intinya adalah :
- Tidak ada statemen yang mengatakan bantuan itu berasal dari harta kekayaan orang tuanya atau harta warisan atau saham yang tertahan di luar negeri.
- Bantuan itu adalah bantuan uang yang berasal dari patungan usaha anak-anaknya
- "Titah" itu merupakan pesan leluhurnya melalui pak Akidi (ketika masih hidup) melalui kekayaan anak-anaknya jika sukses.
Jadi sangat jelas tipuannya ketika Heriyanti berdalih dananya ada di Bank Singapura dan berasal dari harta kekayaan pak Akidi (orang tuanya). Padahal seharusnya adalah dari kekayaan anak-anak pak Akidi yang telah sukses.
Nilai nominal bantuan itu sebesar 2 trilliun. Padahal Heryanti dan keluarganya tidak punya usaha bisnis yang dapat menghaslkan laba di atas triliunan rupiah guna mengeluarkan donasi 2 triliun rupiah.
Kesimpulannya antara lain adalah, Heriyanti menjadikan persoalan yang ditanggung keluarganya menjadi persoalan negara. Kemana deviden "jatah" ayahnya selama belasan tahun disembunyikan oleh para "pemain" di Singapura
Mereka merasa ditipu oleh komisaris dan pemegang saham di perusaahaan pernah disebut orang tuanya dahulu membantu secara keuangan.
Informasi lain, menurut mantan menteri BUMN, Dahlan Iskan, keluarga tersebut telah banyak menghabiskan dana untuk mengurus "harta karun" mereka di Singapura namun tidak membuahkan hasil.
Heriyanti berusaha menggunakan "jalur cepat" memanfaatkan kenalan lamanya Kapolda Sumatera Selatan guna mencapai obsesinya terhadap karun tersebutmelalui "launching" donasi fiktif 2 T yang diluncurkan pada 26 Juli 2021 lalu.
Jelas itu adalah sebuah perencanaan memanfaatkan pejabat publik yang mereka kenal tak perduli nasib apa yang bakal menimpa kenalan lama mereka.
Mereka tak perduli dengan itu karena fakta yang mereka terima (merasa) hidup itu kejam, penuh kepalsuan dan kebohongan seperti terjadi terhadap nasib harta karun mereka di Singapura.