Mohon tunggu...
Abanggeutanyo
Abanggeutanyo Mohon Tunggu... Wiraswasta - “Besar, ternyata ada yang lebih besar, sangat besar, terbesar, super besar, mega besar dan maha besar.”

Nama : FM Al-Rasyid ---------------------------------------------------------------- Observe and be Observed

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Nadiem Tak Tergoyahkan, Bukti Reshuffle Tak Tergantung Opini

29 April 2021   20:51 Diperbarui: 30 April 2021   00:07 565
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jika ada perlombaan gonta-ganti nama paling banyak pada sebuah Departemen atau Kementerian mungkin kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi bisa jadi salah satu pemenangnya.

Menurut catatan, kementerian yang pertama sekali dipimpin Ki.Hajar Dewantara pada 19 Agustus 1945 ini setidaknya sudah 7 kali bongkar pasang ganti nama, antara lain sebagai berikut :

  1. Departemen Pengajaran (1945--1948)
  2. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (1948--1955, 1956--1999)
  3. Departemen Pengajaran, Pendidikan, dan Kebudayaan (1955--1956)
  4. Departemen Pendidikan Nasional (1999--2009)
  5. Kementerian Pendidikan Nasional (2009--2011)
  6. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (2011--2021)
  7. Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (2021--sekarang)

Menjelang 76 tahun usianya sudah banyak "makan" asam garam tentang dinamika pendidikan. Kadang dituntut berbaur dengan kepentingan politik kadang idealis bahkan ada masanya tak mau dikulik-kulik.

Kini dua kementerian (Menristek/BRIN dan Kemendikbud) merger jadi satu. Nomenklaturnya menjadi Kementerian Pendidikan,Kebudayaan, Riset dan Teknologi.

Tidak perlu sekolah tinggi-tinggi meniliai mengapa merger dua kementerian itu terjadi. Jelas untuk efisiensi dan efektifitas, selain itu mungkin Presiden (pemberi kuasa) kurang puas atas pencapaian nilai yang sangat jauh dari harapan atau sangat melenceng dari tujuan kementerian itu dibentuk.

Anggaran biaya sebuah lembaga kementerian jelas sangat besar yang ditanggung oleh negara setiap tahun anggaran. Jika sebuah kementerian dinilai tidak memberi kontribusi signifikan, tidak sesuai dengan filosofi, fungsi dan tujuan kementerian jelas menuai tanda tanya besar. Nasibnya sangat riskan, bisa dilebur (bukan terkubur). 

Jika itu dilebur jangan kesal ada pejabat dicopot jabatannya. Jangan sakit hati digantikan pejabat dari tetangga sebelah. Jangan ngerumpi pejabat berusia "kemarin sore" memimpin senior dan lain-lain pemberontakan batiniah.

Presiden Joko Widodo kini mempercayakan nomenklatur baru itu kepada Nadiem Makarim, bukan pada sosok lain. Padahal beberapa hari sebelum "reshuffle unik" ini terjadi telah santer berita seakan-akan Nadiem bakal terhenti langkahnya kali ini.

Banyak analisa berkembang Nadiem akan terpental dari barisan kabinet Indonesia Maju. Survey IPO menempatkannya sebagai urutan teratas menteri yang bakal tergusur, adalah satu diantara survey yang mungkin dapat membentuk opini publik.

Banyak juga yang mengungkit-ungkit "dosa-dosa" Nadiem karena beberapa kebijakan yang dianggp kontroversial. Perminataan maaf Nadiem seakan tak cukup menetralisir pengkondisian sebelum ia benar-benar terpental dari kabinet.

Akibatnya banyak yang menduga  Nadiem bakal kembali ke "markas" Decacorn-nya yang semakin moncer sejak dia masuk dalam Kabinet Indonesia Maju yang super keras tantangannya.

Namun ternyata fakta bercerita lain, Nadiem tak tergoyahkan dan dia bersiap mewujudkan impian visionernya untuk meningkatkan kinerja pendidikan dan teknologi nasional, melepaskannya dari zona nyaman yang membelengu gerak maju selama ini. 

Dua tahun lalu saat menjadi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan pada 23/10/2019, Nadiem berjanji, sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan dia akan menciptakan pendidikan berbasis kompetensi dan karakter. Menurutnya, itu berawal dari seorang guru, baik dari segi kapabilitas maupun kesejahteraan. 

Nadiem telah temukan akar masalahnya karena ia mampu memprediksi masa depan. Tapi dia bukan ahli nujum atau dukun, dia seorang visioner, pebisnis dan modernis.

"Saya lebih mengerti apa yang akan terjadi ke depan, karena saya bidangnya bisnis, saya di bidang masa depan, antisipasi masa depan,"  ujar mas Nadiem panggilan dekat Presiden pada menteri termuda dalam kabinetnya ketika itu.

Benarkan mas Nadiem seorang visioner, mampu melihat apa yang dibutuhkan pendidikan kita dan percepatan pengembangannya di masa depan? 

Jika ada yang menilai tidak tapi Presiden Jokowi menilai sebaliknya, faktanya Jokowi telah memberi kepercayaan lebih luas pada mas Nadiemnya sebagai Mendikbud-Ristek.

Mas Nadiem pun langsung bereaksi. Usai dilantik kembali ia bekata singkat, padat refleksi visionernya atau mungkin juga telah menemukan salah satu kendala selama ini di Kementerian Ristek/BRIN.

"Saya menginginkan sebanyak mungkin murid-murid kita, mahasiswa kita, dan dosen-dosen kita melakukan penelitian dan melakukan program-program seperti Kampus Merdeka di dalam badan-badan di bawah BRIN (Badan Riset dan Inovasi Nasional)," katanya. Sumber : Kompas.com.

Tampak jelas Nadiem ingin putra - putri bangsa ini akan lebih banyak melakukan riset, temuan ilmiah dan modern, teknologi terapan dan menghasilkan sesuatu yang menggelegar dan bermanfaat dalam jangka panjang.

Mahasiswa dan dosen harus lebih banyak lakukan penelitian riset menghasilkan temuan bermanfaat dalam bidang jasa, manufaktur maupun teknologi terapan dari berbagai disiplin ilmu pengetahuan.

Mahasiswa dan Dosen musti di support untuk menghasilkan temuan ilmiah, bahkan di tingkat siswa pun perlu dibudayakan perlombaan karya ilmiah.

Tidak jamannya lagi berdebat-debat sampai bangkotan dan akhirnya pikun, lupa pada tujuan. Jelas ini kontra produktif dengan usaha menghasilkan aneka kreasi anak bangsa dalam berbagai bidang.

Bambang Brodjonegoro dan pejabat teras di Menristek/BRIN ketika itu juga orang-orang visioner. Meskipun anggaran kementeriannya telah dipangkas nyaris habis, tersisa tak sampai 20% pada tahun lalu mereka tetap bekerja maksimal ketika itu dan tahun-tahun sebelumnya. 

Mungkin terlalu berat mengurusi sebuah lembaga yang dijejali banyak sekali pakar dan ahli di berbagai bagian yang punya visi dan teori masing-masing sehingga lebih banyak berdebat daripada menghasilkan sesuatu sesuai tujuan kementerian itu dibuat. Kesannya kurang greget di mata "pemberi kuasa."

Mampukah Nadiem mewujudkan visirnya pada kementerian yang kini makin dipenuhi orang-orang super cerdas, orang-orang berwawasan luas dengan analisa super mendalam, termasuk dalam memahami visi Nadiem nantinya. Waktu jugalah yang akan membuktikan.

Namun demikian jika suatu saat nanti Nadiem tergoyahkan karena berbagai alasan sebaiknya kementerian ini jangan gonta-ganti nama lagi. Perlu waktu  dan sabar agar lembaga ini bermetamorfosis dalam kolam yang baru dan makin kompleks ini. 

Sekarang mari berikan kesempatan yang luas pada mas Nadiem dan para pejabat terasnya memoles nomenklatur ini dengan visi barunya.

abanggeutanyo

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun