Mohon tunggu...
Abanggeutanyo
Abanggeutanyo Mohon Tunggu... Wiraswasta - “Besar, ternyata ada yang lebih besar, sangat besar, terbesar, super besar, mega besar dan maha besar.”

Nama : FM Al-Rasyid ---------------------------------------------------------------- Observe and be Observed

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

UU Cipta Kerja Kontoversial Lagi, Lady Justice "Buka" Matanya

5 November 2020   14:26 Diperbarui: 6 November 2020   11:43 113
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Illustration: New Omnibus Law with the Lady of Justice peeking out the blindfold. Picture : picture: Fransiskus Tarmedi. Source: th.boell.org

Salah tipografi adalah kesalahan yang terjadi dalam proses mengetik. Dalam bahasa Inggris kesalahan ini disebut "Typo". Penyebabnya karena kegagalan mekanis yaitu slip jari tangan akibat menekan bersamaan kakrakter yang berdekatan. 

Kita pernah temukan beberapa artikel atau tulisan di media apapun terjadi tipografi, meskipun sedikit menganggu tetapi secara keseluruhan orang paham dan dapat mengerti maksud dan tujuan sebuah artikel atau informasi. Penulis sendiri sering terjadi masalah ini. 

Biasanya kesalahan tipografi bukan kesalahan yang disengaja. Akan tetapi kesalahan akibat salah eja, salah penempatan dan ketidak tahuan penulis bukan termasuk kategori salah tipografi.

Sebuah "artikel" penting sekelas Undang- undang sangat tidak tepat jika itu terjadi lalu menyebutnya sebagai kesalahan tipografi (typo) karena peristiwa itu BUKAN persoalan slip jari tangan tetapi murni ketidak tahuan atau setidaknya kelalaian penyusunnya (apalagi penulis tim).

Peristiwa salah pengetikan dalam penyusunan draf Peraturan, Undang-undang kerap terjadi akan tetapi tidak pernah sampai "lolos" untuk diundangkan oleh Pemerintah maupun Presiden meskipun tidak pernah ditemukan terjadi pada tingkatan kepala daerah.

Tapi faktanya kali ini bisaa terjadi. UU (Cipta kerja) lolos dan ditandatangani karena kedangkalan pengetahuan penyusunnya atau pihak yang bertanggung jawab dalam suntingan akhir UU tersebut.

Jika Lady Justice (Iustitia) bisa berkata mungkin dia mengatakan "terlalu berat mengurus produk UU yang satu ini."

Tapi bagi ketua Baleg DPR RI, Supratman Andi Agtas kesalahan itu adalah "hal yang lumrah saja" mengacu pada aturan UU no.12 tahun 2011 yang membolehkan memperbaiki UU selama tidak mengubah substansinya.

Beberapa kekeliruan tersebut telah diurai panjang lebar oleh berbagai media termasuk Kompas.com sehingga tidak perlu diulangi lagi pada artikel ini.

Nikkei Asia menulis berita kontroversial tersebut dengan judul " Jokowi signs controversial omnibus bill into law".

Salah pengetikan UU Cipta Kerja secara keseluruhan tidak mengurangi substansi UU setebal 1.187 halaman tersebut, tetapi sangat aneh karena baru diketahui setelah ditandatangani Presiden tanda mulai berlakunya UU yang dari proses awalnya telah mengundang kontroversial tersebut.

Kesalahan terjadi kali ini -kembali-memperlihatkan kesan paling kentara dari peristiwa ini adalah Amatiran dan Kepanikan.

Amatiran karena terjadi kelalaian untuk sebuah pekerjaan "mega proyek" bernilai tinggi bahkan menimbulkan huru-hara nasional hampir tak berkesudahan tak ternilai harganya.

Kepanikan karena ada tekanan mengejar target tayang. Target ini dapat dilihat secara kasat mata berdasarkan sejumlah proses dan tahap-tahapan dari masa penggalangan, penggodokan hingga ketuk palu pengesahaan RUU menjadi UU yang dari awalnya telah memantik kontroversial.

Di satu sisi mungkin terlalu berlebihan mengjastifikasi UU tersebut diproses secara amatiran dan dalam kepanikan hanya karena beberapa poin dan beberapa pasal yang kontroversial, apalagi dalm proses awal hingga akhir telah melibatkan "tim ahli"  dari berbagai aneka disiplin ilmu pengetahuan dan keahlian.

Sisi lainnya, tidak mungkin juga mengupas satu per satu substansi UU tersebut untuk menyebutnya di sini sebagai produk UU yang ugal-ugalan atau lalai atau apapun istilah yang mendiskreditkannya. 

Tapi seperti kata pepatah "gara-gara nila setitik rusak susu sebelanga" itu pun tertuju kepada UU Cipta Kerja meskipun menghasilkan sedikit saja aturan-aturan yang kontroversial. Peristiwa terakhir berkurangnya jumlah halaman Omnibus Law dalam jumlah sangat signifikan.

Belum selesai terperangah kembali terjadi masalah baru, lalai dalam proses penulisan pasal-pasal tertentu dan ironisnya diketahui setelah ditandatangani Presiden!

Meskipun Supratman mengatakan itu hal yang wajar-wajar saja tetapi orang menilai itu sesuatu yang luar biasa, terlebih terjadi pada sebuah produk yang sedang disorot karena sarat muatan kontroversial. Itu sebabnya justifikasi diskredit juga tertuju pada UU tersebut.

Jika pekerjaan maha penting itu dikerjakan oleh orang-orang yang mengkalim dirinya sebagai orang-orang berilmu, miliki skil dan kompetensi pada bidangnya seharusnya  tidak menghasilkan produk gagal atau cacat (meskipun sedikit).

Bagaimana JIKA itu dilakukan oleh orang-orang biasa? Apakah bisa dianggap wajar-wajar saja. 

Dapat diprediksi, teguran, kritikan, marah, malu dan mungkin hilang pekerjaan bisa terjadi pada orang-orang biasa yang mengerjakan dokumen yang salah tetapi lolos hingga ditandatangani Presiden.

Dapatkan dianggap wajar saja ketika orang yang bersilang pendapat di pengadilan salah membaca pasal atau aturan yang keliru? Anda dapat menilainya sendiri.

Suatu saat nanti tidak tertutup kemungkinan ditemukan lagi poin atau pasal-pasal kontroversial meskipun draf asli (sebenarnya) sudah dapat diakses publik saat ini. 

Jika itu terungkap kembali tidak tahu alasan apa lagi bisa dilakukan DPR nanti yang semakin bermental baja saja kini rasanya mungkin bikin Lady Justice terpaksa membuka tutup matanya meskipun sebelah saja.

Kini nasib UU Cipta Kerja itu tinggal menunggu nasib dibatalkan oleh Mahkamah Konstiutusi atau tidak. Tampaknya sangat tipis kemungkinan dibatalkan mengingat sejumlah pertimbangan di atas.

Di akhir artikel ini penulis memberi masukan sebaiknya UU tersebut dikaji ulang. Dibuat lagi lebih konprehensif dan lebih hati-hati. Ditulis dengan bahasa yang mudah dipahami dan menjauhkan kalimat bersayap agar menghilangkan multi interpretasi.

Tegasnya adalah, Pemerintah tetap perlu membuat dan menyiapkan Omnibus Law (tentang Cipta Kerja dan Perpajakan)  tapi dibuatlah dengan lebih lebih hati-hati, konprehensif, melibatkan lebih banyak tim di akar rumput hingga pengusaha. Kemudian digodok dengan tulus ikhlas demi menyeimbanggkan kepentingan pekerja, pengusaha dan kepentingan negara.

Bisakah? Mengapa tidak!

Di beberapa negera lain, UU tersebut disebut "Omnibus Bill". Beberapa negara seperti AS, Australia, Irlandia, Kanada, New Zealand, Serbia dan lain-lain telah lama menerapkannya.

Mengapa mereka bisa membuatnya dengan baik dan berjalan normal pasti bukan karena mereka orang Super, tetapi mereka menggodoknya melalui proses yang benar, transparan. Mesnosialisasikan dengan cara yang mudah dan diimplementasikan dengan cara yang benar.

Apapun sikap dan keputusan pemerintah nanti  tentang UU Nomor 11 Tahun 2020 ini penulis menghimbau mari kita sikapi dengan dialog saja, JANGAN demonstrasi anarkis lagi. 

Dimanapun di dunia ini negara pasti menerapkan sanksi yang tegas dan memaksa dalam menerapkan sebuah hukum atau UU, terlepas dari norma seperti apa terkandung di dalamnya.

abanggeutanyo

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun