Mohon tunggu...
Abanggeutanyo
Abanggeutanyo Mohon Tunggu... Wiraswasta - “Besar, ternyata ada yang lebih besar, sangat besar, terbesar, super besar, mega besar dan maha besar.”

Nama : FM Al-Rasyid ---------------------------------------------------------------- Observe and be Observed

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Inilah Harga Permainan DPR di Atas UU Cilaka Bikin Celaka

9 Oktober 2020   03:19 Diperbarui: 9 Oktober 2020   03:37 1833
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto didampingi sejumlah menteri menyerahkan surat presiden dan draf RUU Omnibus Law Cipta Kerja kepada Ketua DPR Puan Maharani di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu, 12 Februari 2020. Pemerintah mengubah nama omnibus law Rancangan Undang-undang Cipta Lapangan Kerja menjadi RUU Cipta Kerja. TEMPO/M Taufan Rengganis

Istilah "Omnibus Law" pertama sekali diperkenalkan oleh Sofyan Djalil (Menteri Agraria dan Tata Ruang) kepada Menko Kemaritiman dan investasi, Luhut Binsar Pandjaitan . Kemudian pada 20 Oktober 2019 lalu Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam pidatonya mengulangi istilah tersebut dalam pernyataan akan menerbitkan sejumlah aturan baru atau revisi lebih konprehensif dan universal.

Sejak saat itu mucullah rencana bebeberapa Omnibus Law untuk beberapa RUU dalam prolegnas 2020, diantaranya omnibus law tentang Cipta Kerja (penulis menulis RUU Cilaka)

Dari awal pembahasan Omnibus Law Cilaka telah memperlihatkan tanda-tanda tidak akan mendapat respon positif. Meskipun ada beberapa sisi positif di dalamnya tetapi berbagai elemen masyarakat dan berbagai serikat pekerja berharap RUU Cilaka itu tidak menjadi UU.

Banyak alasan mengapa RUU tersebut tidak diharapkan masyarakat dan serikat pekerja. Faktanya adalah berbagai elemen telah menyuarakan hati nuraninya pada pemerintah dan DPR agar tidak tidak meneruskan RUU tersebut menjadi UU.

Penolakan masyarakat (dahulu dan kini) bukan karena hoaks, bukan karena tidak paham, bukan juga karena ikut-ikutan demo atau anti pemerintahan Jokowi karena dari berbagai elemen masyarakat itu kini banyak yang cerdas. mampu membaca dan menganalisa UU atau aturan yang tersurat maupun yang tersirat.

Secara tersurat dan tersirat RUU dan UU tersebut menempatkan posisi buruh atau pekerja perusahaan swasta lebih termarjinal dibanding posisi mereka pada UU Ketenagakerjaan sebelumnya.  Di sektor swasta inilah paling banyak jumlah pekerjanya dibandingkan yang bekerja sebagai ANS, TNI, Polri dan di BUMN dan BUMD.

Dapatkah dibayangkan seperti apa riuhnya jeritan para pekerja dan buruh serta masyarakat di berbagai lapisan dan elemen se tanah air jika bersamaan menolak UU Cilaka ini? Lebih ironis lagi bagaimana jika jeritan itu menjadi kekacauan dan huru-hara tak berkesudahan?

Bukan karena namanya (Cilaka) tidak indah sehingga masyarakat menolaknya, tapi karena setelah dipelajari, dikaji dan diteliti secara seksama RUU dan UU tentang Ketenagakerjaan itu lebih banyak sisi buruknya terkait nasib dan kesejahteraan buruh.

Meskipun namanya diganti menjadi UU Cipta Kerja tetap saja tidak mengurangi penolakan hebat warga. Ironisnya meskipun penolakan itu telah nyata-nyata ada tetapi DPR melalui Panja dan Baleg serta Satgas Omnibus Law bergeming. Tak yakin penolakan masyarakat dan pekerja sekelas arus demonstrasi Reformasi pada 1998 lalu.

Tak sanggup rasanya membanyangkan demo pada masa itu terjadi lagi. Meskipun kekuatiran itu tidak diharapkan tetapi tanda-tandanya kini telah memperlihatkan wujudnya. 

Untuk beberapa anggota DPR terutama pendukung UU Cilaka mungkin meremehkan potensi huru-hara tersebut. Target "kejar tayang" lebih penting ketimbang memikirkan dampak negatifnya . Sebagian lainnya mungkin tidak percaya pada potensi kekacauan itu jika RUU dipaksa menjadi UU. Mungkin juga ada yang beranggapan urusan penanganan anti huru-hara bukan urusan anggota DPR.

Berbagai media menuliskan adanya kesan "kejar tayang" anggota DPR dalam meloloskan UU Cilaka yang terjadi menjadi celaka ini. Tanda-tanda itu dapat dilihat dari beberapa indikasi sebagai berikut :

Dari 138 orang satgas omnibus banyak dari pemerintahan Kemenko Ekonomi (69 orang) termasuk 3 kepala daerah. Lalu ada 46 orang pengusaha dan 12 dari Perguruan Tinggi sisanya 13 orang lagi adalah pengusaha khusus yang dipilih.

Pengertian Omnibus Law adalah sebuah RUU yang terdiri beberapa UU yang digabung menjadi satu UU meskipun terdiri dari beberapa aspek yang tidak saling terkait. Dari pengertiannya saja harusnya proses menjadi RUU hingga menjadi UU memerlukan pengkajian lama dan mendalam, mungkin bisa setahun atau lebih lamanya.

Salah satu prolegnas prioritas paling utama ini diajukan oleh pemerintah  pada 20 Januari 2020 lalu telah selesai dibahas sebelum 17 Agusuts 2020, hanya 7 bulan saja kelar. Meskipun lama waktu pembahasan bukan jaminan konprehensifnya konten RUU tersebut setidaknya lamanya pembahasan membuktikan pembahasan itu telah memperhatikan berbagai aspek.

Faktanya UU Cita Kerja  dan Perpajakan  setebal 1028 halaman, terdiri 174 pasal dan 15 Bab itu cuma diproses dalam waktu kurang dari 7 bulan melalui 64 kali rapat. Jika diratakan setiap rapat hanya membahas hampir 3 pasal atau melahap 16 halaman meskipun dalam setiap rapat hanya meluangkan waktu beberapa jam saja.

Jika disimak isi atau konten UU tersebut pada BAB ketenagakerjaan jelas sekali sarat muatan dengan kalimat yang mengambang. Kelihatannya seperti membela posisi pekerja tapi jika disimak lebih jeli ternyata memperlemah posisi pekerja. Banyak hak-hak pekerja yang sebelumnya terakomodir dalam UU Ketenagakerjaan sebelumnya kini dihapus, bisa menyudutkan posisi pekerja.

Contohnya dalam UU Ketenagakerjaan sebelumnya pasal 91 sanksi terhadap perusahaan yang tidak membayar upah buruh kini dihapus. Kemudian pada UU ketenagakerjaan Pasal 169 tentang hak pekerja memohon PHK kini juga dihapus. 

Selain itu potensi perampasan ruang hidup rakyat semakin tinggi akibat percepatan sistem perekonomian yang merusak pelestarian lingkungan. Ditambah lagi dengan legalisasi sistem pengupahan per jam dan perluasan kontrak outsoruching semakin memperberat pekerja mencapai taraf kesejahteraan diri dan keluarga mereka di masa akan datang.

Kini huru-hara demo anti-UU Cilaka telah merambat ke beberapa kota besar. Aparat kepolisian terpaksa berjibaku malawan warganya sendiri yang sedang beringas. Jika ini berlarut-larut -tanpa diharap- bakal terjadi huru-hara yang lebih dahsyat.

Mungkin itulah harga yang harus ditanggung oleh pemerintah saat ini khususnya anggota DPR yang untuk kesekian kalinya setelah "bermain-main" di atas nurani pekerja, buruh dan masyarakat. 

Merasa diri representasi wakil rakyat TIDAK berarti dapat berbuat apa saja termasuk merekayasa UU yang -katanya- untuk kepentingan rakyat ternyata bikin banyak warganya celaka (cilako).

Pada masa sulit ini Presiden Jokowi diuji keberaniannya, membatalkan UU Cilaka tersebut melalu PERPPU ataukah siap menerapkannya tanpa kompromi sedikitpun.

abanggeutanyo

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun