Istilah "Omnibus Law" pertama sekali diperkenalkan oleh Sofyan Djalil (Menteri Agraria dan Tata Ruang) kepada Menko Kemaritiman dan investasi, Luhut Binsar Pandjaitan . Kemudian pada 20 Oktober 2019 lalu Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam pidatonya mengulangi istilah tersebut dalam pernyataan akan menerbitkan sejumlah aturan baru atau revisi lebih konprehensif dan universal.
Sejak saat itu mucullah rencana bebeberapa Omnibus Law untuk beberapa RUU dalam prolegnas 2020, diantaranya omnibus law tentang Cipta Kerja (penulis menulis RUU Cilaka)
Dari awal pembahasan Omnibus Law Cilaka telah memperlihatkan tanda-tanda tidak akan mendapat respon positif. Meskipun ada beberapa sisi positif di dalamnya tetapi berbagai elemen masyarakat dan berbagai serikat pekerja berharap RUU Cilaka itu tidak menjadi UU.
Banyak alasan mengapa RUU tersebut tidak diharapkan masyarakat dan serikat pekerja. Faktanya adalah berbagai elemen telah menyuarakan hati nuraninya pada pemerintah dan DPR agar tidak tidak meneruskan RUU tersebut menjadi UU.
Penolakan masyarakat (dahulu dan kini) bukan karena hoaks, bukan karena tidak paham, bukan juga karena ikut-ikutan demo atau anti pemerintahan Jokowi karena dari berbagai elemen masyarakat itu kini banyak yang cerdas. mampu membaca dan menganalisa UU atau aturan yang tersurat maupun yang tersirat.
Secara tersurat dan tersirat RUU dan UU tersebut menempatkan posisi buruh atau pekerja perusahaan swasta lebih termarjinal dibanding posisi mereka pada UU Ketenagakerjaan sebelumnya. Di sektor swasta inilah paling banyak jumlah pekerjanya dibandingkan yang bekerja sebagai ANS, TNI, Polri dan di BUMN dan BUMD.
Dapatkah dibayangkan seperti apa riuhnya jeritan para pekerja dan buruh serta masyarakat di berbagai lapisan dan elemen se tanah air jika bersamaan menolak UU Cilaka ini? Lebih ironis lagi bagaimana jika jeritan itu menjadi kekacauan dan huru-hara tak berkesudahan?
Bukan karena namanya (Cilaka) tidak indah sehingga masyarakat menolaknya, tapi karena setelah dipelajari, dikaji dan diteliti secara seksama RUU dan UU tentang Ketenagakerjaan itu lebih banyak sisi buruknya terkait nasib dan kesejahteraan buruh.
Meskipun namanya diganti menjadi UU Cipta Kerja tetap saja tidak mengurangi penolakan hebat warga. Ironisnya meskipun penolakan itu telah nyata-nyata ada tetapi DPR melalui Panja dan Baleg serta Satgas Omnibus Law bergeming. Tak yakin penolakan masyarakat dan pekerja sekelas arus demonstrasi Reformasi pada 1998 lalu.
Tak sanggup rasanya membanyangkan demo pada masa itu terjadi lagi. Meskipun kekuatiran itu tidak diharapkan tetapi tanda-tandanya kini telah memperlihatkan wujudnya.
Untuk beberapa anggota DPR terutama pendukung UU Cilaka mungkin meremehkan potensi huru-hara tersebut. Target "kejar tayang" lebih penting ketimbang memikirkan dampak negatifnya . Sebagian lainnya mungkin tidak percaya pada potensi kekacauan itu jika RUU dipaksa menjadi UU. Mungkin juga ada yang beranggapan urusan penanganan anti huru-hara bukan urusan anggota DPR.