Berbagai media menuliskan adanya kesan "kejar tayang" anggota DPR dalam meloloskan UU Cilaka yang terjadi menjadi celaka ini. Tanda-tanda itu dapat dilihat dari beberapa indikasi sebagai berikut :
Dari 138 orang satgas omnibus banyak dari pemerintahan Kemenko Ekonomi (69 orang) termasuk 3 kepala daerah. Lalu ada 46 orang pengusaha dan 12 dari Perguruan Tinggi sisanya 13 orang lagi adalah pengusaha khusus yang dipilih.
Pengertian Omnibus Law adalah sebuah RUU yang terdiri beberapa UU yang digabung menjadi satu UU meskipun terdiri dari beberapa aspek yang tidak saling terkait. Dari pengertiannya saja harusnya proses menjadi RUU hingga menjadi UU memerlukan pengkajian lama dan mendalam, mungkin bisa setahun atau lebih lamanya.
Salah satu prolegnas prioritas paling utama ini diajukan oleh pemerintah pada 20 Januari 2020 lalu telah selesai dibahas sebelum 17 Agusuts 2020, hanya 7 bulan saja kelar. Meskipun lama waktu pembahasan bukan jaminan konprehensifnya konten RUU tersebut setidaknya lamanya pembahasan membuktikan pembahasan itu telah memperhatikan berbagai aspek.
Faktanya UU Cita Kerja dan Perpajakan setebal 1028 halaman, terdiri 174 pasal dan 15 Bab itu cuma diproses dalam waktu kurang dari 7 bulan melalui 64 kali rapat. Jika diratakan setiap rapat hanya membahas hampir 3 pasal atau melahap 16 halaman meskipun dalam setiap rapat hanya meluangkan waktu beberapa jam saja.
Jika disimak isi atau konten UU tersebut pada BAB ketenagakerjaan jelas sekali sarat muatan dengan kalimat yang mengambang. Kelihatannya seperti membela posisi pekerja tapi jika disimak lebih jeli ternyata memperlemah posisi pekerja. Banyak hak-hak pekerja yang sebelumnya terakomodir dalam UU Ketenagakerjaan sebelumnya kini dihapus, bisa menyudutkan posisi pekerja.
Contohnya dalam UU Ketenagakerjaan sebelumnya pasal 91 sanksi terhadap perusahaan yang tidak membayar upah buruh kini dihapus. Kemudian pada UU ketenagakerjaan Pasal 169 tentang hak pekerja memohon PHK kini juga dihapus.
Selain itu potensi perampasan ruang hidup rakyat semakin tinggi akibat percepatan sistem perekonomian yang merusak pelestarian lingkungan. Ditambah lagi dengan legalisasi sistem pengupahan per jam dan perluasan kontrak outsoruching semakin memperberat pekerja mencapai taraf kesejahteraan diri dan keluarga mereka di masa akan datang.
Kini huru-hara demo anti-UU Cilaka telah merambat ke beberapa kota besar. Aparat kepolisian terpaksa berjibaku malawan warganya sendiri yang sedang beringas. Jika ini berlarut-larut -tanpa diharap- bakal terjadi huru-hara yang lebih dahsyat.
Mungkin itulah harga yang harus ditanggung oleh pemerintah saat ini khususnya anggota DPR yang untuk kesekian kalinya setelah "bermain-main" di atas nurani pekerja, buruh dan masyarakat.
Merasa diri representasi wakil rakyat TIDAK berarti dapat berbuat apa saja termasuk merekayasa UU yang -katanya- untuk kepentingan rakyat ternyata bikin banyak warganya celaka (cilako).