Berprofesi sebagai Jaksa sepantasnya para petugasnya mampu sejiwa dan seirama dengan makna dari profesi tersebut, yaitu pegawai pemerintah bidang hukum yang bertugas menyampaikan dakwaan di pengadilan terhadap seseorang atau badan hukum yang diduga telah melanggar hukum.
Dalam bahasa Sanskerta disebut "Adhiyaksa" atau dalam bahasa Inggris disebut "Prosecutor" atau dalam bahasa Belanda disebut " Offiecier van Justitie." Dalam bahasa Indonesia semua orang sudah tahu profesi tersebut disebut "Jaksa."
"Tak perlu mengajari bebek berenang," kata pepatah lama. Seorang Jaksa seperti Pinangki Sirnamalasari (Pinangki) yang bertugas sebagai Jaksa Kepala Subag Pemantauan dan Ealuasi II pada Biro Pembinaan Kejaksaan Agung Republik Indonesia pasti sangat paham tentang tugas dan pengertian Jaksa seperti disebutkan di atas.
Melihat bombastisnya desertasi sidang promosi Doktor Pinangki berjudul "Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagai Lembaga Negara Bantu dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia dan Implikasinya terhadap Pemberantasan Korupsi," rasa-rasanya Pinangki paham betul apa tujuan negara ini menciptakan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Jaksa dan Kepolisian di bidang lainnya.
Pinangki punya suami seorang perwira menengah Polisi yang juga bertugas pada bidang yang sangat senada dengan tugasnya sebagai Jaksa dan seirama juga dengan isi desertasi gelar doktornya tentang KPK. Tak mungkin Pinangki menganggap enteng posisi dan tugas suaminya di Reskrim Mabes Polri.
Pinangki pasti tahu bahwa Djoko Tjandra alias Joko Soegiarto alias Chan Kok Hun adalah (seorang) buronan kelas wahid terkait kasus cessie Bank Bali paling dicari-cari oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) Ridwan Moekiat pada 24/2/2000. Beberapa tahun kemudian jaksa Ridwan Moekiat merasa lelah karena cuma mampu menjaring Sahril Sabirin ke penjara dalam kasus merugikan negara sebesar 940 miliar rupiah tersebut.
Saat Djoko Tjandra melarikan diri 11 tahun atau tepatnya 2009 lalu Pinangki sudah bertugas di Kejagung (sejak 2005). Tidak sulit seorang Jaksa yang juga pernah berprofesi sebagai dosen mengetahui tokoh kakap penyelewengan uang negara telah melarikan diri serasa menanmpar wajah bangsa ini.
Sejak 2009 Djoko Tjandra meloloskan diri ke beberapa negara hingga akhirnya pada 29 Juni 2020 kembali ke Indonesia lalu kembali menghilang sebelum sidang 7 Juli 2020.
Tidak kurang 9 kali Pinangki bertemu Djoko Tjandra di beberapa tempat di luar negeri dimana salah satunya terjadi pada 2019. Terungkap, Pinangki ternyata sedang berfoto ria bersama buronan kakap dan pengacara kondangnya yang ikut-ikutan membohongi negara yang sedang tertatih-tatih memberantas korupsi seperti menegakkan benang basah.
Apa arti semua itu? Pantaskah Jaksa Pinangki ini disebut "Berperan Ganda" jika tak pantas disebut egois karena tidak setuju dengan cara kerja KPK dan mungkin tidak setuju dengan tuduhan tindak pidana terhadap Djoko Tjandra dan mungkin memperoleh keuntungan dibalik aksinya tersebut.
Memang, di dalam desertasi promosi Doktornya pada 2011 lalu dia justru menolak salah satu kewenangan pimpinan KPK dalam bidang PENUTUTAN. Menurutnya, pimpinan KPK tidak berwenang sebagai penuntut umum. Pimpinan KPK juga tidak berwenang mengangkat Jaksa independen karena sesuai Pasal 13 KUHAP penuntut umum mustilah seorang Jaksa. Sumber ini.
Tetapi Pinangki lupa evaluasi, bahwa hak tersebut telah "disembelih" oleh sebuah aturan baru yang menetapkan pimpinan KPK tidak berhak lagi menjadi Penuntut Umum dan Penyidik berdasarkan UU nomor 19/2019. Dalam pasal 23 ayat (3) menyebutkan pimpinan KPK adalah sebagai Pejabat negara saja.
Perkara beda persepsi tentang latar belakang hukum Djoko Tjandra (pidana atau perdata) sepantasnya tidaklah membuat Pinangki diam-diam menjalankan pendekatan ke sarang gerombolan bandit mirip adegan dalam serial 32 novel "mission impossible" wanita detektif fiksional ala penulis Patricia Wenworth (edisi terakhir 1928) karena berbagai poisisi dan kondisi disebutkan di atas.
Kini, Pinangki tidak bisa menangkis dengan aneka alibi dibalik maksud dan tujuannya bertemu berulang kali sang "Maestro" Bank Bali.
Sebagus apapun maksud dan tujuan dalam sejumlah rentetan "the Mission Impossible" Pinangki faktanya adalah ada seorang Jaksa karier, istri seorang petwira menengah Polisi ternyata bekerja untuk kepentingan Djoko Tjandra, seharusnya bekerja untuk Kejaksaan Republik Indonesia.
Perkara Djoko Tjandra bukan persoalan sepele, selain telah menyita waktu dan energi banyak dan sangat lama juga telah memakan "korban" di pihak Kepolisian yang dengan tegas telah menghukum anggotanya setingkat Brigjen, bukan sekadar mengehentikan jabatannya.
Oleh karenanya sepantasnya Kejagung mengambil tindakan lebih tegas pada anggotanya agar tidak ada yang coba-coba berperan ganda untuk hal-hal yang tidak seimbang atau tidak sekelas. Yang satu untuk kepentingan negara sedangkan satu lagi kepentingan gerombolan bandit atau pelaku kejahatan.
Gaji dan tunjangan Jaksa sudah berlimpah ruah. Karir sedang menanjak. Posisi karir suami pun dalam proses mengkilat. Tetapi Pinangki mencari jati dirinya sendiri hingga tak kuasa menghentikan obsesinya mirip detektif berperan ganda.
Pinangki Sirnamalasari telah membalikkan semua keindahan disebutkan di atas seperti sirna kembali. Akankah "detektif" Pinangki akan membuka rahasia (jika ada) pimpinannya terlibat? Mari kita nantikan perkembangannya.
abanggeutanyo
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H