Telah banyak terobosan dilakukan Erick Thohir sejak akhir 2019 lalu, dari yang sekadar mendebarkan jantung hingga benar-benar kontroversial. Salah satu yang kontroversial itu adalah rencana menghapus produk bensin beroktan rendah (di bawah 90).
Rencana Erick kali ini dapat dikatakan sangat kontroversial ketika banyak orang telah paham harga minyak mentah dunia sedang mengalami penurunan sangat tajam sejak Maret lalu (terkait dampak negatif pandemi Covid-19) sesungguhnya masyarakat sedang menanti terjadinya penurunan harga minyak di dalam negeri.
Saat harapan yang ditunggu belum juga terlihat batang hidungnya, Erick Tohir minta Pertamina menghentikan produksi bensin beroktan di bawah 91. Jika itu terjadi itu artinya Pertamina akan "mengubur" dua produk unggulannya.
Premium (bensin 88) dan Pertalite (bensin 90) dengan kandungan oktan seperti itu akan punah, padahal animo masyarakat memperlihatkan fakta 100% real bahwa premium adalah produk rakyat. Premium adalah bahan bakar paling diminati di seluruh tanah air dengan alasan efisien.
Antrean panjang berjam-jam dekat SPBU sering terjadi di mana-mana terutama bagi orang-orang yang mengandalkan perekonomiannya bergerak dari bensin premium adalah fakta yang tidak dapat disembunyikan.
Jika premium langka, dengan sangat terpaksa masyarakat membeli Pertalite. Itu juga fakta karena masyrakat pada umumnya bukanlah pembeli pertamax yang dibiayai oleh negara atau kantor atau perusahaan atau pengusaha sukses yang dibiayai oleh bisnisnya.
Jika kedua produk tersebut hilang dari peredaran, masyarakat dipaksa berhadapan dengan bensin beroktan lebih tinggi dari itu artinya masyarakat terpaksa beli produk dengan harga lebih mahal dan itu berarti akan memperkecil keuntungan masyarakat yang bergantung pada kedua bahan bakar tersebut selama ini.
Alasan utama pemerintah mengucapkan "selamat tinggal" pada bensin beroktan di bawah 91 adalah dalam rangka Ikut serta menjaga iklim dan mendukung dunia industri mesin otomotif berstandar euro 4 yang ramah lingkungan, katanya begitu.
Tetapi di luar alasan utama di atas nalar kita bisa berkembang bahwa ada alasan lain dibalik terobosan kontroversial tersebut, antara lain sebagai berikut :
- Melindungi masyarakat dari kerugian yang terjadi pada kendaraan mereka
- Meningkatkan penjualan dan laba Pertamina guna menyokong pemerintahan yang membutuhkan dana besar melawan Covid-19
Masyarakat Indonesia telah terbukti sebagai bangsa yang penyayang pada apapun kondisi pemerintahnya. Kali ini pun bisa saja terpaksa (bukan dipaksa) memahami alasan menjaga iklim dan ramah lingkungan dan mengadopsi era industri otomotif berstandar euro 4 yang salah satunya mensyaratkan penggunaan bakar bensin beroktan di atas 91.
Tetapi alasan perlindungan kendaraan masyrakat dan meningkatkan kinerja dan laba Pertamina tampaknya tidak menarik karena tidak ada kaitannya dengan kepentingan masyarakat.
Risiko menggunakan bensin beroktan rendah serta dampaknya terhadap kinerja mesin berkompresi rendah atau tinggi kurang menarik perhatian masyarakat. Faktanya selama ini jarang terdengar masyarakat komplain pada bensin 88 (premium) apalagi terhadap bensin 90 (pertalite) terkait mesin kendaraan mereka.
Dirjen ESDM sebalumnya telah menetapkan ke dua produk pertamina tersebut sebagai produk berstandar dan bermutu, tergolong bensin tanpa timbal (TT) melalui beberapa kali SK Dirjen sebelumnya, salah satunya SK Dirjen Migas bertanggal 13 Maret 2006 saat itu dalam keputusan nomor duanya adalah berbunyi sebagai berikut :
Sama seperti usia kekuasaan ada batasnya, SK pun ada batas berlakunya seperti kedua SK di atas jika Bensin 88 dan 90 benar-benar musnah tinggal kenangan
Tetapi memusnahkan dua primadona bahan bakar andalan masyarakat disebutkan di atas pada saat orang sedang menanti turunnya harga BBM dan terjadi saat pendapatan masyarakat (bahkan negara) sedang gonjang-ganjing diamuk covid-19 sangatlah tidak tepat meskipun alasannya demi protokoler teknologi Euro-4 dan pelestarian lingkungan (alam).
Haruskah sebuah negara sedang berkembang yang didera oleh sejumlah persoalan kemiskinan, pengangguran, ketimpangan ekonomi dan disparitas penghasilan dengan gap sangat jauh musti tunduk pada protokoler era industri otomotif euro 4 dan mungkin sebentar lagi era euro 5?
Sangatlah ironis JIKA Pertamina "membunuh" kedua produk unggulan masyrakat tersebut. Jika dipaksakan yang akan terjadi akan sangat kontradiktif dengan tujuan sejati Pertamina (peningkatan volume penjualan dan laba) yakni:
- Menurunnya penggunaan bahan bakar secara massif di seluruh tanah air
- Biaya perjalanan, pengiriman dan sejenisnya akan meningkat
- Bertambahnya pengangguran
- Melemahnya pendapatan masyrakat
- Dalam jangka pendek akan memperkecil volume penjualan dan laba pertamina
Diharapkan para komisaris Pertamina kali ini berani memberi pandangan pada Erick Thohir yang tampaknya seperti kehilangan arah akibat dipaksa menjadi mesin ATM untuk membiayai negara pada masa paceklik saat ini.
Idealnya Pertamina dapat mempertahankan dua primadona terebut dan solar dalam kondisi paceklik saat ini agar warga dapat memulai era new normal kembali dari merangkak pelan-pelan lalu bisa berjalan hingga "berlari" kencang kembali beraktifitas seperti sedia kala. Toh pencapaian akhirnya adalah meningkatkan GDP yang akan membawa aneka dampak positif pada sisi ekonomi makro negara.
Jika lambat laun masyrakat dipaksa menerima keputusan tersebut paling juga hanya bisa pasrah. Tetapi kemungkinan besar hasilnya sangat kontraproduktif dengan harapan disebutkan di atas.
abanggeutanyo
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H