Separatisme dan rasisme adalah dua bidang yang berbeda latar belakang dan pengertiannya. Speratisme adalah sebuah gerakan politis damai memisahkan diri atau sekelompok orang atau bangsa dari suatu wilayah yang lebih besar. Sedangkan rasisme adalah adalah suatu sistem yang mempercayakan satu ras tertentu lebih superior dari ras lain dalam mengatur atau menguasai ras lainnya.
Seperatisme kadang mengadopsi anti rasis sedangkan rasisme belum tentu bertujuan seperatis seperti demo anti rasial (rasisme) yang melanda AS sejak 25 Mei 2020 lalu. Meski sangat anarkis jadi demo paling powerful dalam demo anti rasis se AS dalam 1 abad terakhir tetapi demo itu BUKAN seperatis.
Apa yang membuat sekelompok orang atau wilayah melakukan separatisme tentu banyak alasannya, sama halnya mengapa orang atau sekelompok orang melakukan demo merasa diperlakukan rasialis.
Seperatisme sedang terjadi dimana-mana pada saat ini. Meskipun berbeda tempat tetapi pada umumnya mempunyai beberapa kesamaan alasan, yaitu : Aneksasi dengan cara tidak sah; Propaganda orang-orang didalam dan luar negeri untuk memperoleh keuntungan politik hingga mengakhiri dominasi politik dan tidak berbagi hak istimewa secara egaliter, dan lain-lain.
Diskriminasi rasial terjadi karena perbedaan perlakuan ras superior terhadap ras lain dalam berbagai bidang misalnya perbedaan layanan kesehatan, lapangan kerja, kesejahteraan, hak berpolitik, kesetaraan dalam hukum dan lainnya. Perlawanan orang-orang terhadap diskriminasi itu disebut anti-rasial. Demonstrasinya disebut demo anti - rasial.
Sesungguhnya apapun dapat dijadikan obyek alasan, akan tetapi selayaknya alasan tertentu untuk tujuan tertentu, sama dengan menggunakan alat tertentu untuk tujuan tertentu. Perumpaannya, seekor kerbau hanya sanggup membajak seribu meter persegi sawah dalam sehari, tetapi sebuah traktor pertanian akan mampu membajak lebih luas dari seekor kerbau..
Terkait dengan gerakan demonstrasi di Papua dan Papua Barat yang memanfaatkan issu George Floyd sebagai demo anti rasial sesungguhnya itu bertujuan bagus yaitu meningkatkan kesadaran kita semua (pemerintah dan seluruh bangsa Indonesia) agar tidak menganggap enteng, rendah atau hina orang Papua dalam hal apapun.
Dalam berbagai artikel sebelumnya, Penulis sangat menjunjung tinggi nilai budaya ,sejarah dan orang-orang Papua. Mengagumi Papua dengan setulus hati. Pengalaman berteman dengan orang Papua pada masa lalu juga sangat istimewa dan membanggakan.
Mengacu pada beberapa contoh demo akhir-akhir ini yang mengatasnamakan demo anti rasisme tampaknya demo-demo anti rasisme itu musti dilihat kemurniannya. Demo anti rasisme tidak lagi murni jika sudah disusupi atau ditunggangi oleh unsur seperatisme atau sejenis dengannya.
Berikut beberapa contoh sikap dan demo (katanya) anti rasisme untuk melihat sejauh apa tingkat keasliannya.
Pada 9/6/2020, di Asutralia terjadi unjuk rasa anti rasisme. Dalam sebuah acara solidaritas terhadap George Floyd seorang mahasiswi asal Papua, Cindy Makabory dalam kesempatannya berorasi mengungkapkan simpatinya pada Floyd dan merasakan diskriminasi itu terjadi di Indonesia. Dia bercerita singkat tentang pengalaman seorang mahasiswa asal papua yang diperlakukan polisi tidak manusiawi pada bulan Juli 2016 di Yogyakarta.
Pada 5 Juni 2020 dalam sebuah acara diskusi bertajuk "Papuan Lives Matter,"seorang mahasiswa Papua Joyce Etulding Eropdana juga menumpahkan kekesalan atas pengalaman buruk ia alami.
“Tidak hanya dari ucapan-ucapan yang membawa isi kebun binatang dan lain sebagainya, tatapan sinis pun itu selalu kami alami. Dan itu jadi sesuatu yang membekas, selalu dialami mahasiswa Papua yang bersekolah di luar Papua,” ujar Joyce yang kuliah di Bali.
Peristiwa demo pada 12 Juni 2020, sejumlah pelajar di Papua melakukan unjuk rasa pembebasan 7 tapol asal Papua yang kini mendekam di LP Balik Papan dengan tanpa syarat. Salah satu dari lima tuntutan mereka berbunyi "apabila poin 1-4 tidak dapat diindahkan sebelum amar putusan dijatuhkan maka kami akan melakukan demonstrasi tolak rasisme," sebagaimana dikutip dari sini.
Dari tiga contoh peristiwa "sikap" anti rasial disebutkan di atas terdapat kadar anti rasial berbeda.
Penuis berharap semoga semangat anti rasis mereka TDIAK disusupi kepentingan politik, karena sebuah gerakan anti rasial ternyata dapat disusupi oleh separatisme apabila tokoh-tokoh politik memanfaatkan issu tersebut untuk tujuan politik mereka.
Ada sebuah penyikapan anti rasial yang sangat elegan diperlihatkan seorang gadis manis asal Papua, Florida Natasegay. Dia adalah mahasiswi asal Papua sedang mengambil S-2 di Nevada. Dia memberikan kesaksiannya bagaimana merasakan perlakuan rasialis teramat menyedihkan.
Di dalam perjalanan transportasi umum tidak ada yang mau duduk disebelahnya meskipun bangku sebelahnya sedang kosong. Ada juga yang (tiba-tiba) menjaga dompet ketika ia mendekat.Dia mengakui rasisme padanya seperti itu bukan saja di Indonesia tapi juga terjadi di AS. Secara keseluruhan ia secara elegan mengakui "banyak keluarga dan teman-teman dari Indonesia yang memperlakukan saya dengan baik, sebagai sesama orang Indonesia,"sebagaimana dikutip dari BBC.com edisi 12 Juni 2020
Demo anti rasial "Black Matter Live" di AS telah banyak memberi pelajaran untuk kita semua, tetapi pedemo jamin aksinya tidak disusupi unsur separatisme. jadi benar kata Mutia Hafid politisi Golkar bahwa demo Papua (sejatinya) tidak disamakan dengan demo solidaritas untuk George Floyd.
Demo anti rasial sah-sah saja, penting untuk mengingatkan seluruh bangsa Indonesia agar TIDAK berperilaku rasis terhadap sesamanya terutama untuk saudaranya di Papua, Papua Barat atau di manapun berada.
Akan tetapi menunggangi demo anti rasial untuk tujuan dan kepentingan politik tertentu sangat naif rasanya, apalagi mengemasnya sedemikian rupa hingga warga tak tahu ternyata telah dikendarai separatisme, jadi korban hasutan. Semoga ini tidak terjadi.
abanggeutanyo
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H