Di tengah mahal dan langkanya harga Masker saat pandemik Covid-19 telah menerjang 114 negara tiba- tiba teringat kembali pada pada seuntai kain persegi empat bermotif aneka ragam, simpel dan menarik yang pernah dipakai untuk kebersihan pribadi. Itulah dia, "Saputangan" namanya.
Bentuknya yang simpel dan kecil bisa dimasukkan ke dalam saku pria dan dalam dompet wanita. Ketika seseorang akan bersin langsung mengeluarkan sapu tangannya (kalau masih sempat).
Ketika seseorang batuk-batuk juga menutupi mulutnya dengan saputangan. Begitu juga bila ada yang pilek atau sedang menderita flu tapi akan keluar rumah biasanya melingkari sapu tangannya ke bagian atas telinga hingga menutupi mulut dan hidungnya.
Saputangan dapat digunakan berulang-ulang. Biasanya untuk penggunaan standard (bukan untuk penderita flu atau batuk) penggunaannya dari pagi (pergi kerja) hingga sore hari (pulang kerja). Besok diganti lagi dengan sapu tangan baru yang sudah dicuci, diseterika dan tersimpan dalam lemari.
Sedangkan saputangan yang digunakan penderita batuk, pilek atau sedang sakit bisa hanya beberapa jam saja, setelah itu diganti dengan sapu tangan bersih atau yang baru dicuci.
Saputangan juga digunakan untuk mengelap keringat di dahi atau pipi atau digunakan untuk mengelap tangan setelah berbilas di sebuah toilet atau kamar mandi yang saat itu belum banyak menggunakan kertas tisu meskipun sudah mengenalnya.
Sebuah kisah nyata saputangan tanda cinta terjadi pada 1927. Saat itu Buya Hamka masih berusia 17 tahun. Beliau berangkat dari pelabuhan Belawan dalam perjalanan dengan kapal laut Karimata menuju Jeddah ke tanah suci Makkah. Di dalam kapal Hamka remaja bertemu dengan seorang wanita, janda muda nan cantik jelita asal Cianjur.
Setelah beberapa kali dan beberapa minggu bertemu, keduanya tetap membisu. Tetapi dari tatapan matanya Hamka dapat mengambil kesimpulan. Kemudian Hamka memberikan saputangan putih miliknya pada Kulsum, lalu keduanya berpisah.
Keesokoan harinya di tempat yang sama, Kulsum memberikan juga sehelai saputangan berenda biru ditepinya. Demikian kisah Hamka dalam otografinya "Kenangan Hidup" Jilid 1 membuktikan bahwa saputangan juga menjadi tanda cinta pada masa itu.
Kisah itu bukan cuma terjadi di tanah air, karena peranan saputangan dalam menyatakan tanda cinta ternyata telah ada sejak dahulu kala dan tertuang dalam syair Catulus pada abad 87-85 SM.
Mungkin itu terlalu jauh, tetapi pada masa pemerintahan Raja Richard II dari Inggris (1367-1400) sapu tangan telah digunakan meskipun bukan untuk menyatakan cinta. Dalam buku catatan harian rumah tangga kerajaan (household rolls) ada catatan beberapa potong kain segi empat yang digunakan Raja Richard II untuk membersihkan hidungnya.
Intinya saputangan pernah menjelma menjadi bagian tak terpisahkan dari busana, kegunaannya sangat banyak dari urusan kebersihan pribadi hingga dijadikan tanda mata.
Tidak jelas sejak kapan peranan saputangan mulai pudar dan nyaris tak terlihat lagi. Tetapi tumpukan stok lama saputangan di toko-toko telah jatuh ke posisi paling atas dan paling belakang di gudang membuktikan animo permintaan terhadap saputangan telah jauh berkurang. Membeli saputangan baru tampaknya lebih mudah melalui penjualan online ketimbang mencari ke toko.
Kini ketika kertas tissu mulai langka dan harga masker telah mencekik leher padahal digunakan untuk sehari atau beberapa saat saja tampaknya perlu memikirkan alternatif masker teapi dapat berfungsi sama dan tentu saja terlihat lebih berseni. Untuk itu saputangan tampaknya akan lahir kembali. Hebatnya lagi saputnagan lebih ekonomis, bisa digunakan berulang-ulang setelah dicuci dan disterika.
salam hangat
abanggeutanyo
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H