Setelah Moammar Qaddafi terbunuh, pemerintahan Libya atau Libia dikendalikan oleh NTC (National Transition Council) atau Dewan Transisi Nasional yaitu perwakilan pemberontak Libia dukungan NATO yang dibentuk pada 27 Februari 2011.
Pada 8 Agustus 2012, NTC dibubarkan setelah pemilihan umum terbentuknya Majelis Nasional (GNC) beranggotakan 200 orang. Tetapi GNC tidak dapat menjalankan misi mereka hingga berakhirnya masa aktif. GNC dianggap gagal setelah bekerja setahun lebih.
Dalam kondisi demikian pada 23 Desember 2013 secara sepihak GNC mengumumkan perluasan mandat dengan menambahkan kekuasaan hingga 1 tahun lagi. Hal ini memantik protes baru di Libia termasuk tokoh politik dan militer seperti Jenderal Khalifa Haftar.
Sebulan kemudian, pada 14 Februrai 2014 Jenderal Kalifa Haftar komandan Staf Angkatan Darat Libia meminta agar GNC membubarkan diri dan menuntut pemilhan umum, tetapi hal itu tidak digubris oleh GNC yang fidukung oleh faksi milisi islamis.
Benar ekspektasi pengamat, lambat tapi pasti perang sipil yang lebih keras akan terjadi di negara tanduk Afrika tersebut. Pada 16 Mei 2014, perang saudara (jilid 2) resmi meletus ketika AD, AL dan AU serta milisi pendukung Jenderal Haftar dalam Libyan National Army (LNA) menggempur GNC dan milisi pendukungnya.
Perlawanan GNC dan milisinya dapat dikalahkan. Pemilu ditetapkan pada 25 Juni 2015. Pemilu tersebut dianggap tidak sah oleh GNC karena pesertanya sangat sedikit. Dari pemilu tersebut terpilih anggota DPR Libia (Libyan House of Representatives) atau LHoR yang mulai bertugas pada 4 Agustus 2014 (karena alasan keamanan) berkedudukan di kota tobruk. (Belakangan LHoR disebut juga Counsil of Deputies).
Berbagai upaya persatuan telah dilakukan berbagai pihak untuk mempersatukan Libia termaskuk oleh Bernardino Leon, utusan khusus PBB untuk Libia agar GNC dan HoR berbagi kekuasaan hingga terciptalah Libyan Political Agreement (LPA) pada 17 Desember 2015.
Pada saat itu terbentuklah pemerintahan GNA atau The Government of National Accor (Pemerintahan Kesepakatan Nasional). Ketua DPR tandingan (HoR) menyatakan dukungannya pada putusan LPA, artinya DPR setuju dengan pembentukan pemerintahan tersebut ketika itu.
Dari luar negeri sejumlah negara Eropa dan AS serta PBB juga mendukung pemerintahan GNA. Faksi militer yang mendukung GNA adalah faksi islamis dan jihadis serta faksi lokal sisa anti Qaddafi dan milisi bayaran dari berbagai negara.
Di sisi lain, HoR disokong oleh LNA pimpinan Jenderal Haftar serta milisi lokal pro Qaddafi.
Setelah kesepakatan LPA terjadi baru timbul berbagai perbedaan pendapat sehingga HoR menarik diri dari LPA. Pada 17 Desember 2017 Jenderal Khalifa Haftar mengatakan perjanjian LPA gagal dan mereka HoR menarik diri dari perjanjian tersebut. Tampaknya banyak perbedaan di dalamnya, diantaranya adalah pemberlakuan syariat Islam dalam pemerintahan GNA serta pengisian posisi strategis di dominasi oleh kelompok GNA.
Kini GNA mendapat angin segar ketika Turki secara resmi mengumumkan akan mengirimkan ribuan personil Syrian National Army (SNA) yang juga berperang melawan pemerintahan Suriah. Dengan masuknya Turki maka pemerintahan GNA merasa makin kuat karena didukung PBB, Arab Saudi, Qatar, Jordania, Somalia, Sudan, Turki, AS, Uni Eropa, Jerman, Itali, Inggris, Ukraina dan terkini Turki.
Selain itu untuk urusan fighter atau petempur GNA semakin kuat. Jika sebelumnya diperkuat milisi bayaran dari Sudan, Somalia, Arab Saudi, Qatar dan milisi jihad dari berbagai negara kini diperkuat SNA dukungan Turki.
Presiden Erdogan mengatakan perbedaan negaranya dengan negara lain dalam menyikapi konflik di Libia. "Mereka (Negara lain) membantu panglima perang, kami menanggapi undangan dari pemerintah Libia yang sah. Itulah perbedaan kami dengan mereka," ujarnya sebagaimana dikutip di TRT edisi 28/12/2019.
Pada rekaman video terkini di sini Erdogan mengatakan parlemen akan melakukan voting pada 8 atau 9 Januari 2020 untuk melegitimasikan pengiriman pasukan atau milisi ke Libia. Diperkirakan 8000-an SNA dan pasukan Turki akan dilibatkan di sana mendukung GNA.
Meski menunggu putusan Parlemen disinyalir rombongan kecil SNA dan pasukan Turki telah tiba di Libya lebih dahulu. Sebuah sumber mengatakan kelompok SNA dari grup "Jaish al-Hur fi Libia" telah ambil bagian di Libia. Sebuah video terkini merilis hal tersebut di twitter. Sumber lain menerbitkan geolocation milisi SNA di sebuah lokasi dekat Al-Takbali kem pinggiran kota Tripoli di garis depan perbatasan GNA dan LNA. Sumber : di sini.
Dipihak lain, LNA tetap disokong oleh Uni Emirat Arab, Mesir dan Rusia serta petempur dari Wagner Grup Rusia. Petempur bayaran ini disinyalir telah lama beroperasi di sana dan kehadirannya tampaknya telah menjadi agenda tersendiri di mata AS.
Wagner Groups agak berbeda dengan pasukan bayaran AS yang sifatnya melindungi obyek tertentu termasuk individu atau kelompok tertentu, sedagkan Wagner memiliki unit penyerang dan terlibat langsung dalam pertempuran membela yang membayar mereka.
Dengan kondisi di atas bisa jadi kondisi di Libia berangsur-angsur jadi lebih ramai dan panas apalagi Libia memiliki kekayaan Minyak ke 7 tersbesar dunia pada 2018. Sesuai digram OPEC akhir 2018 kandungan minyak di Libia tersedia saat itu sebesar 4% dari total ketersediaan seluruh dunia.
Tak tahulah pastinya seperti apa, yang jelas rencana itu bakal terjadi setelah mereka lelah di Suriah yang (ternyata) cuma menyisakan arang, reruntuhan, kuburan masal dan bencana kemanusiaan.
abanggeutanyo
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H