Pasca pengumuman kemenangan resmi Pilpres 2019 lalu 7 (tujuh) partai yang bernaung dalam koalisi pendukung Jokowi - Ma'ruf Amin berbinar-binar rasanya. Semua merasa paling berjasa sejak dari perencanaan, proses yang alot dan rumit hingga meraih kemenangan.
PDIP misalnya merasa paling berjasa karena merasa perolehan suaranya paling banyak. Meski pilpres berbeda dengan pileg tapi perolehan suaranya yang terbesar mau tak mau merasa dari merekalah dukungan untuk Jokowi mengalir sehingga "mimpi" jadi kenyataan.
Partai Golkar yang berada pada posisi ke tiga tak kalah merasa berjasa karena memindahkan dukungan mereka pada Jokowi dari sebelumnya berada dalam Koalisi Merah Putih. Pada 16/5/2016 Golkar resmi keluar dari KMP dan memberikan dukungan penuh untuk Jokowi periode ke dua.
PKB dan PPP juga merasa tak kalah berjasa mengantarkan Jokowi menjadi Presiden untuk ke dua kali. Dari lumbung ormas keagamaan dari kader-kader mereka mampu mendongkrak suara untuk kemenangan Jokowi.
Nasdem sendiri juga berjasa untuk sukses Jokowi. Selain perolehan suara dari kader-kadernya media cetak dan elektronik milik Surya Paloh (SP) tak henti-hentinya mengkondisikan situasi apapun guna membentuk oponi dan citra untuk Jokowi sejak pemilu presiden 2014 dan berulang lagi pada 2019 lalu.
Sudah biasa, media milik SP dianggap corong pemerintah. Media milik SP sukses 2 kali bahkan mungkin 3 kali berturut-turut sejak mendukung SBY periode kedua dalam pilpres 2009 (meskipun partai Nasdem belum lahir pada saat itu).
Benchmark media milik SP jadi corongnya pemerintah berkuasa bukan rahasia lagi. Belum lagi pengeluaran SP untuk "memodali" kampanye Pilpres pada periode tersebut tentu bukan rahasia lagi meskipun tidak diketahui berapa jumlahnya secara pasti.
Dan ketika salah satu partai pendukug Jokowi memperlihatkan tingkah polahnya bagaikan pemilik imperium politik di negeri ini sekaligus pemilik kemenangan politik JokowI tentu membuat Surya Paloh (representasi Nasdem) merasa kecewa berat.
SP yang tahu banyak dan tahu persis bagaimana perjuangan bersama itu terlaksana dari nol hingga finish, tak mampu menutupi kekecewaannya melihat Jokowi dililit gurita partai yang menganggap paling berkuasa SP menantang siapa nanti yang paling setia pada Jokowi.
Nasdem nelangsa tidak dilibatkan diskusi dalam menentukan menteri. Nasdem galau karena pengorbanannya dianggap sepele. Nasdem jadi murung melihat parpol penguasa imperium politik negeri ini bagaikan gurita melilit tangan, kaki dan hati presiden Jokowi.
Wujud terakhir kegelisahannya, Nasdem minggat alias "sporing" dari rumah koalisi menuju rumah rekan jauhnya Partai Keadilan Sejahtera. (PKS). Sayangnya partai ini bukan teman sepermainan Nasdem yang cocok karena beda dalam segala hal.