Mohon tunggu...
Abanggeutanyo
Abanggeutanyo Mohon Tunggu... Wiraswasta - “Besar, ternyata ada yang lebih besar, sangat besar, terbesar, super besar, mega besar dan maha besar.”

Nama : FM Al-Rasyid ---------------------------------------------------------------- Observe and be Observed

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Perppu KPK, Presiden "Tidak" Akan Layu Sebelum Berkembang

27 September 2019   06:15 Diperbarui: 27 September 2019   07:43 583
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ribuan Mahasiswa dari belasan elemen se-Jabodetabek berdemo di depan gedung MPR DPR RI Jakarta, Senin (23/9/2019). Menolak pengesahan RUU KUHP oleh DPR. Gambar : JAWAPOS

Tak perlu sekolah setinggi langit dan bergelar meriah untuk memahami drama korupsi di Indonesia yang telah membuat negara makin tenggelam dalam katagori negara tidak pernah maju. Praktek korupsi telah menjangkit seakan menjadi budaya baru negeri kita yang semakin sulit dilepaskan dari semua sendi kehidupan. 

Wajar sebagian besar warga sadar dan merasakan betapa praktek korupsi dari hulu sampai hilir seperti telah membunuh negara saja rasanya.

Tak perlu jadi peneliti ulung untuk melihat bagaimana usaha sistematis dan bersekongkol sejumlah anggota  komisi III di DPR RI tahun 2009 yang membahas revisi UU KPK pada 26 Oktober 2010 hingga "jatuh bangun" berusaha maksimal menghasilkan "mega proyek" tersebut sampai berganti tongkat estafet pada anggota DPR RI 2014 - 2019.

Menjelang anggota DPR RI 2014-2019 berganti atau digantikan oleh penerusnya yang terpilih (terpilih kembali) untuk 2019 - 2224 masih sempat berjuang hingga titik darah penghabisan menghasilkan karya berupa revisi UU KPK (RUU KPK) pada 17 September 2019 malam dalam atraksi di pentas rakyat yang disebut Sidang Paripurna.

Meski tidak mencapai korum, pimpinan sidang Fahri Hamzah cs ketuk palu kuat-kuat menandakan "kemenangan"  kroni koruptor yang berlindung di dalam Panja, Baleg, Komisi III DPR RI mengesahkan revisi kedua UU KPK No 30 Tahun 2002 dengan wajah sumringah dimana-mana.

Kutukan masyarakat dari cendikiawan hingga rakyat biasa dianggap angin lalu. Beberapa pejabat malah memutar balikkan visi seakan rakyat dan cendikiawan gagal paham dan tidak mengerti. "RUU justru akan memperkuat KPK," sebut beberapa pejabat menanggapi (seakan) betapa "beloonnya" masyarakat dan cendikiawan.

Penolakan hampir semua anggota KPK tidak juga menjadi masukan bagi DPR dan Pemerintah, apalagi penolakan anak-anak sekolah STM dinilai tidak tahu apa-apa, "mau gaya-gayaan demon" (kata mereka).

Warning hampir seluruh jajaran rektor se Indonesia dianggap pahlawan kesiangan apalagi demonstrasi segelintir mahasiswa mulai terjadi pasca disahkan DPR cuma dianggap "oknum."

Demonstrasi mahasiswa pun mulai dipecahkan fokusnya dari dua issu paling "hot" (RUU KPK dan RUU KUHP) "melebar" menjadi 7 issu atau tuntutan.

Tanpa bermaksud menyepelekan 5 issu lainnya apa jadinya jika pemerintah dan DPR cuma setuju 5 tuntutan, bukankah itu artinya akan ada issu krusial dikorbankan? Ironisnya justru issu RUU KPK dan RUU KUHP yang dikorbankan, padahal ledakan sosial (masyarakat) bermula dari issu RUU KPK dan mungkin ditambah issu RUU KUHP. Menyedihkan sekali rasanya.

Kini demonstrasi Mahasiswa telah merayap kemana-mana. Pada 26/9/2019 terjadi aksi emosional Mahasiswa sampai menurunkan gambar Presiden Jokowi (salah satu sebuah simbol negara) yang menurut penulis tidak relevan dengan aksi tuntutan. Selain itu dilaporkan ada kehilangan laptop dan uang milik anggota DPRD Sumbar ketika mahasiswa menggaruk panggung rakyat tersebut, rasanya memalukan.

Pada Kamis 26/9/2019 demonstrasi  Mahasiswa di Universitas Halu Oleo (UHO), Kendari, menyebabkan Randi salah satu mahasiswa pendemo tewas akibat luka di bagian dada. Ia tewas tiga menit setelah dirawat.

Pada hari yang sama, setelah menerima sejumlah tokoh nasional akhirnya presiden Jokowi mulai beraksi dari sikap konservatifnya. Kemungkinan Presiden Jokowi akan mengeluarkan Perppu udalam waktu secepatnya.

Melalui pernyataan resminya Presiden mengatakan"UU KPK yang sudah disahkan oleh DPR, banyak sekali masukan yang diberikan kepada kita, utamanya memang masukan itu berupa penerbitan Perppu. Tentu saja ini akan kita segera hitung kalkulasi," kata Presiden Jokowi.

Presiden Jokowi berencana akan menemui mahasiswa Jumat 27/9/2019. Selain itu Presiden juga menegaskan akan meminta Kapolri agar tidak menerapkan tindak kekerasan dalam meredam massa.

Terlalu lamakah Presiden bereaksi  (menerbitkan Perppu) menggagalkan "mega proyek" sumbangsih anggota DPR RI yang telah lama diidam-idamkan?

Tampaknya tidak karena prosesnya tidak semudah membalikkan telapak tangan. Perlu persiapan medalam dan hati-hati Presiden bersikap apalagi yang akan disikapi kini nuansanya adalah tekanan kepentingan politik ketimbang kepentingan hukum yang menjelma menjadi gelombang kebutuhan rakyat.

Semoga tidak terlambat meskipun kondisinya genting tapi tidak ada dalil yang membolehkan Presiden bertindak menganulir maha karya DPR tersebut.

Melalui kekuasan Atributif  atau kekuasaan asli (oorspronkelijk) Joko Widodo sebagai seorang kepala negara dan pemerintahan diperbolehkan dalam UU 1945 bertindak. Presiden berhak menentukan negara dalam keadaan bahaya yang Syarat-syaratnya butuhkan persetujuan DPR dalam bentuk UU. (Jika DPR tidak melihat kondisi saat ini genting bisa jadi betapa "binalnya" anggota dewan yang mengaku sebagai wakil rakyat tersebut).

Selain itu kekuasaan Atributif asli lainnya adalah Kekuasaan menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang  (Perppu).

Jadi Perppu (Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang) memang menjadi hak atau kekuasaan Presiden. Atas dasar pertimbangan negara dalam keadaan genting dan menjurus bahaya maka Presiden meminta DPR RI setuju satu bahasa mengatakan kondisi tersebut dalam UU. Atas dasar itu Presiden menerbitkan Perppu.

Terlalu ribetkah? Bisa jadi ribet apalagi dalam kondisi seperti ini banyak anggota DPR yang mulai hilang semangat jelang "pensiun" dari anggota Dewan. Biarin aja, risiko tanggung sendiri kata beberapa anggota Dewan yang siap-siap terlempar dari Senayan dalam hatinya.

Ribet pun sebetulnya tidak penting. Yang terpenting adalah Perppu itu tidak terlambatkah terbitnya ? JIKA terlambat artinya sudah tidak berdampak lagi alias layu sebelum sempat berkembang.

Panasnya gelora pembaharuan mirip nuansa Reformasi 1998 dikuatirkan terjadi lagi. Potensi masalahnya pun dikuatirkan dapat berubah menjadi lebih jauh yakni tuntutan pergantian Presiden dan bubarkan Parpol yang mengkhinati rakyat dan bangsanya.

Melalui artikel ini diharapkan kita dapat memahami posisi Presiden bahwa tidak seperti membalikkan tangan menangani satu kasus apalagi kasus yang bukan menjadi hak prerogatif Presiden sebagai kepala pemerintahan tertinggi di tanah air kita. Maka perlu kesabaran semua pihak.

Selain itu gelora demonstrasi selayaknya fokus pada issu krusial. Penulis sarankan 2 saja dulu yaitu (RUU KPK dan RUU KUHP) disampaikan dengan fokus yang tepat. Tidak memaksa Polisi atau pihak keamanan larut dalam bentrokan karena mereka juga manusia punya kesabaran terbatas.

Oleh karenanya demo anarkis apalagi demo menyasar pada upaya impeachment kepala negara sebaiknya hati-hati sekali jangan sampai dimanfaatkan pihak ketiga. Fokus pada masalah akan membantu mengatasi potensi pembiasan pada tujuan. Fokusnya adalah DPR, RUU KPK, dan RKUHP.

Pengalaman memperlihatkan gerakan massa yang kehilagan fokus atau melebar tidak mendapatkan tujuan, melainkan bubar dan akhirnya meninggalkan penyesalan.

Salam Kompasiana

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun