Mohon tunggu...
Abanggeutanyo
Abanggeutanyo Mohon Tunggu... Wiraswasta - “Besar, ternyata ada yang lebih besar, sangat besar, terbesar, super besar, mega besar dan maha besar.”

Nama : FM Al-Rasyid ---------------------------------------------------------------- Observe and be Observed

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Ternyata Begini Posisi Presiden Jokowi di Balik Revisi UU KPK

19 September 2019   05:01 Diperbarui: 19 September 2019   08:00 4221
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kita telah sama-sama tahu bahwa revisi UU KPK terbaru yang berisi tentang 7 poin perubahan krusial di dalam tubuh KPK telah disahkan DPR melalui sidang paripurna pada 17/9/2019. 

Muatan politik dan pembodohan sangat mudah terbaca di balik pengesahan tersebut. Rapat tertutup, daftar inisiator yang dirahasiakan  hingga menolak masukan masyarakat dan usulan revisi Presiden melengkapi aksi teaterikal hingga melahirkan sebuah "maha karya"  yang mencengangkan dunia, yakni upaya sistematis melumpuhkan KPK secara pelan tapi pasti.

Maha karya mirip lakon sandiwara politik itu sesungguhnya bukan untuk membuat KPK bekerja efektif dan efisien melainkan lumpuh sedikit demi sedikit.

Di satu sisi KPK diakui sebagai penegak hukum dari eksektutif (pemerintah) yang independen tapi di sisi lain menyekatnya di bawah dewan pengawas seperti tembok tebal, akan susah ditembus KPK.

Tidak perlu menjadi politikus ulungpun kita mampu mencerna apa maksud dan tujuan terbitnya 7 poin revisi yang tumpang tindih tersebut. 

Bagaimana proses terbitnya 7 revisi pada UU KPK tersebut mari kita cermati kisah sejarah singkatnya melalui time line berikut ini :

Pada 26 Oktober 2010, ketika itu komisi III DPR bidang Hukum mulai mewacanakan revisi UU KPK.

Pada 24 Januari 2011, rancangan revisi karya komisi III DPR RI tentang revisi UU KPK itu menjadi salah satu prioritas dari 70 prolegnas 2011.

Pada 23 Februari 2012 salah satu naskah mengatur tentang penyadapan direvisi. Selain itu diwacanakan KPK hanya berhak menangani masalah korpusi di atas 5 miliar rupiah.

Pada 3 Juli 2012, 7 fraksi di komisi III sepakat membawa revisi UU KPK ke Badan Legislasi (Baleg) DPR RI.

Pada 27 September 2012, ketua komisi III DPR RI I Gede Pasek Suardika mengatakan RUU KPK sudah tidak dapat ditunda lagi karena sudah masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) sejak 2011.

Pada 8 Oktober 2012 Presiden saat itu, SBY kurang respek terhadap upaya revisi UU KPK dengan alasan belum tepat momentumnya.

Pada 16 Oktober 2012 Panja revisi UU KPK menghentikan upaya tersebut dan menyerahkan kelanjutannya ke Baleg. Ketua Panja saat itu, Dimyati Natakusuma mengatakan penghentian dilakukan untuk mendengarkan suara rakyat.

Pada 9 Februari 2015. Lama tak ada kabarnya tiba-tiba DPR menerbitkan kembali wacana revisi UU KPK. Setya Novanto (ketua DPR saat itu ) menandatangani Prolegnas 2015 - 2019 dimana posisi revisi UU KPK berada pada urutan 63.

Pada 19 Juni 2015, Presiden Jokowi mengumumkan rencana pemerintah membatalkan pembahasan revisi UU KPK dalam prolegnas 2015.

Pada 23 Juni 2015. Rapat paripurna DPR RI mengambil keputusan meneruskan revisi UU KPK sebagai skala prioritas Prolegnas 2015. Seluruh fraski mendukung 100%. 

Pada 13 Oktober 2015, pemerintah dan DPR RI sepakat menunda kelanjutan revisi UU KPK tapi akan dibahas pada 2016. Setya Novanto menilai pembahasan RAPBN 2016 menjadi lebih prioritas.

Pada 27 Nopember 2015, Baleg DPR dan Menkum HAM Yasonna tiba-tiba sepakat lagi membahasnya, alasannya demi kesempurnaan KPK.

Pada 2 Desember 2015, Presiden Jokowi (menyindir DPR) kembali mengingatkan bahwa semangat merevisi UU KPK harusnya untuk memperkuat KPK bukan untuk memperlemah.

Pada 15 Desember 2015, tiga hari jelang masa reses DPR masih sempat sidang paripurna dan memasukkan revisi UU KPK dalam prolegnas 2015.

Pada 1 Pebruari 2016, revisi UU KPK mulai dibahas di Badan Legislasi (Baleg). Ada 45 orang pengusulnya terdiri dari 6 fraksi yaitu : Dari Fraksi PDI-P sebanyak 15 orang; Fraksi Nasdem 11 orang; Fraksi Golkar 9 orang; Fraksi PPP 5 orang; Fraksi Hanura 3 orang dan Fraksi PKB 2 orang. Perwakilannya adalah : Risa Mariska dan Ichasan Soelistyo dari fraksi PDI P.

Pada 2017 sosialisasi revisi UU KPK mulai digulir kembali. Badan Ahli DPR melakukan sosialisasi di Universitas Andalas, Universitas Nasional, UGM dan USU Medan. Kontennya bermuatan issu penyadapan, pembentukan dewan pengawas (dewas) dan usia progres penyidikan. Kompas.com mencatat sosialisasi di beberapa universitas itu dilaksanakan ditengah gencarnya pengungkapan kasus korupsi KTP Elektronik yang melibatkan Setya Novanto.

Lama tidak terdengar kabarnya tiba-tiba Baleg menerima inisiator kembali mempresentasikan usulan dan alasannya pada 5/9/2019. Inisiatif itu pun langsung diterima menjadi Rancangan UU melalui Sidang Paripurna pada hari itu juga.

Selanjutnya terbitlah keputusan tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi disetujui anggota dewan pada 17/9/2019 yang menuai lebih banyak kutukan daripada pujian.

Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa :

  • Pembahasan revisi UU KPK tahap ke 2 telah disiapkan jauh-jauh hari yakni sejak 2010. Mengapa mirip "Sidang Kilat" karena tiba-tiba pada 2019 Baleg langsung beraksi hingga membuahkan maha karya di akhir masa bakti sebagian anggota DPR yang segera meninggalkan pentas rakyat tersebut mulai 1 Oktober 2019 seperti dialami Fahri Hamzah.
  • Bidang penyadapan, usia penyidikan dan Dewas serta usulan besaran uang korupsi di atas 5 miliar adalah target utama agenda revisi.
  • Inisiator revisi UU KPK pada 2015 ada 45 orang dari 6 fraksi. Perwakilan seluruh fraksi itu dipimpin Risa Mariska dan Ichasan Soelistyo dari fraksi PDI P. 
  • Partai pimpinan Megawati Soekarno Putri ini juga menyertakan utusan paling banyak yaitu 15 "pejuang" gagah perkasa.
  • Pembahasan revisi UU KPK telah diusahakan berkali-kali tapi gagal pada masa pemerintahan SBY namun menggelegak pada masa pemerintahan periode pertama pemerintahan Joko Widodo.
  • Suara Presiden Jokowi seakan tidak didengar, tenggelam oleh kekuatan second power di balik layar seakan mendikte Presiden. Mungkin itu sebabnya Menko Polkam Wiranto mengingatkan semua pihak agar tidak menganggap Jokowi ingkar janji atau dicurigai terkait revisi UU KPK.
  • Proses pembahasan di tingkat Panitia Kerja (Panja) yang terkesan rahasia, Baleg yang berkerja tertutup, Bamus yang berdiskusi formalitas hingga sidang Paripurna yang tidak mencapai korum adalah peristiwa penting yang mengandung tanda tanya sangat besar

Dengan demikian jelaslah sudah bahwa upaya memperlemah KPK adalah tindakan yang TSM (Terstruktur, Sistematis dan Masif). Partai besar mempunyai agenda terselubung di balik itu dengan membodohi masyarakat.

Presiden Jokowi tidak mendukung revisi UU tersebut sepenuhnya. Akan tetapi sikap itu tidak berpengaruh besar karena Presiden dikendalikan oleh tangan-tangan second power yang berlindung dalam partai besar terkait masalah revisi UU KPK ini. Diharapkan sikap tegas Presiden selamatkan KPK meski dalam posisi sangat sulit seperti ini.

Tidak tertutup kemungkinan adanya "mega proyek" disponsori gerombolan koruptor yang sedang menjalani hukuman, sedang proses penyidikan dan yang merasa terancam ditangkap dapat disiasati melalui "maha karya" rekan sejawat dan handai tolan di  DPR RI saat ini, mumpung belum pensiun.

Salam Kompasiana

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun