Kita telah sama-sama tahu bahwa revisi UU KPK terbaru yang berisi tentang 7 poin perubahan krusial di dalam tubuh KPK telah disahkan DPR melalui sidang paripurna pada 17/9/2019.
Muatan politik dan pembodohan sangat mudah terbaca di balik pengesahan tersebut. Rapat tertutup, daftar inisiator yang dirahasiakan hingga menolak masukan masyarakat dan usulan revisi Presiden melengkapi aksi teaterikal hingga melahirkan sebuah "maha karya" yang mencengangkan dunia, yakni upaya sistematis melumpuhkan KPK secara pelan tapi pasti.
Maha karya mirip lakon sandiwara politik itu sesungguhnya bukan untuk membuat KPK bekerja efektif dan efisien melainkan lumpuh sedikit demi sedikit.
Di satu sisi KPK diakui sebagai penegak hukum dari eksektutif (pemerintah) yang independen tapi di sisi lain menyekatnya di bawah dewan pengawas seperti tembok tebal, akan susah ditembus KPK.
Tidak perlu menjadi politikus ulungpun kita mampu mencerna apa maksud dan tujuan terbitnya 7 poin revisi yang tumpang tindih tersebut.
Bagaimana proses terbitnya 7 revisi pada UU KPK tersebut mari kita cermati kisah sejarah singkatnya melalui time line berikut ini :
Pada 26 Oktober 2010, ketika itu komisi III DPR bidang Hukum mulai mewacanakan revisi UU KPK.
Pada 24 Januari 2011, rancangan revisi karya komisi III DPR RI tentang revisi UU KPK itu menjadi salah satu prioritas dari 70 prolegnas 2011.
Pada 23 Februari 2012 salah satu naskah mengatur tentang penyadapan direvisi. Selain itu diwacanakan KPK hanya berhak menangani masalah korpusi di atas 5 miliar rupiah.
Pada 3 Juli 2012, 7 fraksi di komisi III sepakat membawa revisi UU KPK ke Badan Legislasi (Baleg) DPR RI.
Pada 27 September 2012, ketua komisi III DPR RI I Gede Pasek Suardika mengatakan RUU KPK sudah tidak dapat ditunda lagi karena sudah masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) sejak 2011.