Bagi Suriah sendiri telah menyiapkan tata kota dan desa dengan sistem grendel untuk perang padang pasir. Satu kota besar diapit beberapa kota kecil dan dikelilingi oleh ruang terbuka puluhan kali luas lapangan sepak bola. Penataan itu adalah langkah strategis menghadapi pendudukan kekuatan asing terhadap negara Suriah.
Persiapan Rusia adalah meneruskan kejayaan armada laut mereka di timur tengah tetap eksis di pelabuhan Tarsus setidaknya untuk 50 tahun yang akan datang.
Semua perencanaan disebutkan di atas telah ditetapkan sebelum demonstrasi di kota Daraa pecah pada 15 Maret 2011. Tidak mungkin terjadi seiring dengan perkembangan perang melainkan terjadi jauh sebelum perang Suriah pecah.
Perang Suriah telah berubah dari perjuangan oposisi menjadi perang perebutan Sumber Daya ekonomi dan geografi strategis. Dampaknya, pencapaian kelompok oposisi FSA bukan mengarah pada tujuan melainkan terpolarisasi ke berbagai hal yang kontra produktif dengan cita-cita awal berdirinya FSA.
Lebih setengah juta manusia telah meregang nyawa untuk konflik gila tersebut. Pencapaian perjuangan FSA justru menurun dimanfaatkan pihak pengambil keuntungan. Tak heran kini timbul pertanyaan di media berita dunia, "Who is 'the opposition' in Syria after 8 years of war?", sebagaimana dilansir dari sini.
Dalam kondisi demikian apakah perang tersebut akan berhenti?
Tidak ada kepastian itu terjadi sebelum negara-negara pemainnya kehabisan nafsunya akibat berbagai hal misalnya akibat pergantian kepala negara atau pemerintahan sekaligus mengubah kebijakan luar negeri yang dirasa kontra produktif dengan cita-cita membangun perekonomian bangsa negara sendiri yang lebih kuat dan mandiri.
Bukan pergi perang ke Suriah mengurus negara orang lain memanfaatkan perjuangan FSA!
Salam Kompasiana
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H