Sebelumnya telah dijelaskan di sini tentang upaya Turki menekan AS agar bersedia dialog demi terciptanya kawasan safe zone dan terjalinnya patroli bersama dalam joint operation centre militer AS - Turki di utara Suriah.
Sesuai dengan pernyataan resmi Kedubes AS di Turki di sini, ada 3 poin kesepakatan utama yang sesungguhnya masih belum jelas rinciannya seperti apa. Meski masih tersamar, kesepakatan yang telah dicapai itu tidak jauh meleset dari berbagai ekspektasi yang berkembang, yaitu :
- Join operation sedalam (maksimal) 32 km (meskipun AS sedang mempertimbangkan 14 km) dari perbatasan Turki
- Tidak boleh ada milisi Kurdi Suriah atau Syrian Democratic Force (SDF) dan milisi lainnya dalam jarak tersebut
- Tidak boleh ada senjata berat Turki dan SDF dalam kawasan sedalam 9 km dari perbatasan Turki.
Kesepakatan yang dihasilkan pada 7 Agustus 2019 lalu dicapai melalui pertemuan alot selama 3 hari antara AS dipimpin utusan khusus AS untuk masalah Suriah, James Jeffrey dengan tuan rumah dipimpin Menhan Turki, Hulusi Akar.
Kurdi Suriah (SDF) jelas kecewa menyikapi langkah AS tersebut. Ketidak puasan kini mulai terasa dalam SDF. Sementara pemerintah Suriah menolak isi kesepakatan AS - Turki yang dianggap seperti mencabik-cabik kedaulatan Suriah tanpa merasa beban sedikitpun.
Apapun taktik AS dibalik persetujuan yang belum diketahui kapan berakhir tersebut Turki benar telah memperoleh kemenangan, yaitu :
- Menang tanpa perang melawan hegemoni AS di kawasan 14 tersebut (apalagi 32 km) sepanjang 400 km dari Az-ziarah (di barat) hingga ke kota kecil Diwar (paling timur) dekat perbatasan Irak.
- Mampu menciptakan kawasan "Safe Zona." Dengan demikian dapat menghadirkan personil militernya ke kawasan tersebut dengan sangat aman karena "ditemani" pasukan AS dalam "joint operation."
- Mampu mengisi personil militer Turki ke dalam kawasan Kurdi Suriah sejauh (jika tidak ada perubahan) 32 km tanpa perlu perang
- Belajar berkoordinasi tentang cara monitoring pemantauan pada AS, dalam Joint operation centre
- Menguasai "jalur sutera" yakni jalan internasional yang disebut "Rodko Road" yang menghubungkan utara Kurdi dengan Deir Ezzour hingga sampai ke kawasan ladang minyak Kirkuk di Irak.
Khusus jalur sutera yang disebutkan di atas bukan sekadar hisapan jempol melainkan sebuah pernyataan resmi salah satu mantan utusan khusus AS untuk masalah Suriah sebelumnya yaitu Brett McGurk.
Mengutip pernyataan McGurk di al-monitor.com edisi 13 Agustus 2019 mengakui bahwa ia pernah bertemu presiden Erdogan dan mendengar Erdogan menggambarkan rencananya menguasai 400 mil antara Mosul dan Aleppo. Erdogan menyebutnya sebagai 'Zona Keamanan Turki, ungkap McGruk.
Menurut diplomat senior tersebut, Erdogan telah mewujudkan kata-katanya yaitu melebarkan batas wilayah Turki yang lebih luas, karena -menurutnya- Turki (Erdogan) tidak puas dengan perjanjian Lausanne yang digagas Inggris - Perancis pada (14 Juli 1923) tentang batas wilayah Turki yang seharusnya mengacu pada klaim wilayah masa kekaisaran terakhir Usmaniyah berkuasa.
Menurut Treaty of Lousanne yang efektif berlaku sejak 6 Agustus 1924 dan telah ditandatangani 8 negara (sekutu Perancis) tersebut Turki telah melepaskan semua klaim sisa Kekaisaran Ottoman (sebutan barat untuk kesultanan Utsmaniyah). Sebagai imbalannya sekutu mengakui kedaulatan Turki di dalam perbatasan barunya (Turki Modern seperti saat ini).
Wilayah Turki pada masa kesultanan Utsmaniyah terakhir (1922) dan wilayah Turki modern (awal Mustafa Kemal Ataturk berkuasa, saat perjanjian Lausanne 1923) adalah sebagai berikut :
Kantor berita ANF (milik PKK, Kurdi Irak) menilai bahwa langkah penguasaan "jalur sutera" di atas adalah tahap pertama strategi pendudukan Turki terhadap Suriah utara. Tahap ke dua atau ke tiga (selanjutnya) adalah menghubungkan Kirkuk ke Deir Ezzor hingga ke laut Mediterania.
Jika benar apa yang dituduhkan McGurk dan kantor berita ANF di atas bisa jadi pada akhirnya Turki tampil sebagai pemenang dalam konflik Suriah, apalagi jika AS siap memberikan "lampu hijau" pada Turki.
Atas nama (alasan) sekutu, mitra kerjasama atau perjanjian bagi hasil atau anggota NATO bisa saja AS memberi "hak" pengelolaan pada Turki dengan syarat-syarat tertentu.
Akan tetapi pada saat ini AS baru memberi hak pada Turki sebatas kerjasama disebutkan di atas. Jika AS lengah (pura-pura lengah) bisa jadi Turki memang pemenangnya. Rusia, Iran, Suriah bahkan SDF sendiri cuma bisa gigit jari menonton sukses Turki mewujudkan impiannya atas "rekomendasi" AS.
Cita-cita memperluas wilayah dengan alasan safe zona, security zona atau buffer zona pun setahap demi setahap menjadi nyata. Setidaknya impian membuka jalur pipa minyak dari Irak ke pelabuhan di pantai Mediterania makin jelas wujudnya.
Mungkinkah itu sebabnya Turki seperti mengalah di Idlib, membiarkan Rusia, Iran dan Suriah menikmati kemenangan signifikan di berbagai front di Idlib sejak 2 minggu terkahir.
Salam Kompasiana
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H