Terasakah PLN mendengar teriakan bernada emosi ketidak puasan sebagian konsumennya menderita kerugian akibat sejumlah penyebab disebutkan di atas?
Tapi inilah yang terjadi. Tidak sanggup lagi terdata berapa banyak peralatan elektronik yang rusak akibat peristiwa byar pet PLN tanpa teding aling-aling bahkan kekurangan tegangan.
Kemudian saat konsumen bersalah tanpa ampun dihajar ganjaran denda, pemutusan aliran dan proses administrasi pemasangan yang ribet berbelit dan tambahan biaya.
Apakah semua disebutkan di atas adalah "nasib" konsumenPLN di daerah yang telah (pernah) merasakan berjam-jam, berulang kali bahkan berhari-hari pemadaman listrik baik mendadak ataupun bergilir (terencana)?
Nasib atau bukan faktanya adalah aneka jenis kerugian yang diderita oleh konsumen PLN di Jabodetabek sama rasanya yang diderita konsumen PLN di daerah, yakni terganggu di segala bidang. Bedanya gangguan yang diderita atau rasakan oleh konsumen PLN Jabodetabek membuat seorang Presiden harus turun tangan bertanya ke kantor PLN pusat.
Apakah Presiden dapat merasakan apa yang dirasakan konsumen di daerah yang merasakan gangguan aktifitas sebagaimana dirasakan konsumen PLN di Jakarta? Merasa tentu saja, tapi soal berkunjung belum pasti. Sebaran peristiwa, luasnya wilayah dan banyaknya kota yang mengalami hal sama tidak mengharuskan Presiden yang harus turun tangan.
Oleh karenanya perlu perhatian lebih intensif dari pejabat berkompeten untuk mengurusi manajemen kelistrikan secara nasional, tidak fokus dan intens di Jabodetabek saja sebab kadar kerugian akibat blackout PLN sama rasanya bagi setiap pelanggan baik di daerah maupun Dejabotabek atau pulau Jawa.
Selain perhatian intensif juga memerlukan perhatian konstruktif berupa solusi energi massal bersumber dari energi lain mengahsilkan output raksasa misalnya tenaga angin dan air yang berlimpah ruah tersedia di seluruh daerah negeri kita.
Hal yang tak kalah penting adalah membangun energi listrik bertenanga nuklir. Meski dampaknya berbahaya dan pengurusannya (mungkin) memerlukan izin dengan pihak berkompeten urusan nuklir dunia tapi itu soal tantangan yang tujuannya adalah solusi dari persoalan gangguan listrik bahkan kekurangan listrik saat penduduk negara ini akan semakin berlimpah ruah ketika era populasi "bonus 2030" bakal terjadi.
Perhatian intensif dan konstruktif itu akan lebih solutif daripada membuat Sripeni Inten Cahyani malah redup sinar wajahnya ketika mendapat "gugatan" dari Presiden. Tapi hal itu juga akan dialami oleh "Cahyani-cahyani" lainnya yang akan memimpin PLN di masa akan datang apabila perhatian bersifat konstruktif dan intensif itu dianggap angin lalu oleh sebagian pelaksana kebijakan di PLN.
Salam Kompasiana