Mohon tunggu...
Abanggeutanyo
Abanggeutanyo Mohon Tunggu... Wiraswasta - “Besar, ternyata ada yang lebih besar, sangat besar, terbesar, super besar, mega besar dan maha besar.”

Nama : FM Al-Rasyid ---------------------------------------------------------------- Observe and be Observed

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Mau Ajari Garuda Terbang, Wow "Tunggu" Dulu Kawan

20 Juli 2019   12:16 Diperbarui: 20 Juli 2019   12:29 397
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kolase Pribadi olahan Penulis dari berbagai sumber

 

Mau mengajari bebek berenang atau agar burung bisa terbang? Tampaknya peribahasa itu TIDAK berlaku untuk PT. Garuda Indonesia Persero Tbk (GIAA), salah satu perusahaan milik negara (BUMN) yang didirkan sejak 1 Agustus 1947  dan  mulai berkiprah sejak 26 Januari 1949 sebagai Indonesian Airways.

Dari segi apapun GIAA telah punya segalanya dan terpenuhi semuanya. Dari sisi manajemen, pelatihan, karyawan, kru pesawat, pemeliharaan hingga pimpinan kelas wahid nasional dan peningkatan mutu seluruh dimensi disebut di atas GIAA punya sertifikat dan standard kualifikasi dan klasifikasi bahkan "kaliber" Internasional.

Dengan kondisi seperti itu, mau mengajari Garuda Indonesia? "Wow... tunggu-tunggu dulu kawan," kata pihak manajemen dan sponsor GIAA yang membela Garuda Indonesia. Sedangkan pihak yang mengintip dari luar "melihat" GIAA mirip puluhan sapi perah dalam satu lahan atau kandang yang besar. Diberi makan, dirawat, diperas-peras hingga kering. Jika masih hidup namun tidak ada terlihat seksi dan semangat.

Begitulah dua sisi Garuda Indonesia, padahal pada dimensi lain GIAA bukannya melempem seperti kerupuk kecemplung di dalam air melainkan berusaha tampail, trengginas, gesit, tampil manis, menggoda, seksi dan profesional. Faktanya GIAA banyak memperoleh penghargaan. Segudang prestasi telah diraih Garuda Indonesia antara lain :

  • Maskapai terbaik Indonesia (puluhan kali)
  • Maskapai paling tepat waktu (OTP) se Asia Pasifik 2018, bahkan pada 2019 dinobatkan sebagai maskapai peringkat pertama dunia katagori OTP mencapai 96,3%
  • The World's Best Cabin Crew" pada tahun 2014-2017 
  • Maskapai Bintang Lima/5 Star Airline", "The World's Top 10 Airline -- Airline Rating", dan "The Most Loved Airline" dari lembaga pemeringkat penerbangan independen berbasis di London Skytrax. 
  • Masih seabrek pencapaian lainnya yang tidak dapat disebutkan dalam kurun waktu 10 tahun terakhir seperti kisah penyelamatan penumpang oleh Pilot dan kru pesawat dalam beberapa eksiden pesawat Garuda di berbagai tempat.

Bagi GIAA pencapaian beberapa prestasi bidang penerbangan komersil sangat penting karena pengakuan-pengakuan seperti di atas adalah representasi aktualisasi perusahaan (masakapai) itu sendiri boleh jadi sesuatu yang membanggakan.

Akan tetapi aneka pencapaian yang diperoleh GIAA yang tampak cuma indah memukau dari kejauhan. Jika didekati makin terasa jauh bahkan mungkin makin menjauh dan akhirnya sirna, lenyap begitu saja seperti sebuah fatamorgana.

Begitu juga dengan Garuda Indonesia meski dijejali ratusan penghargaan dari masa ke masa tampaknya cuma menghadirkan kebanggaan bagi perusahaan itu sendiri tetapi tidak kepada masyarakat. Masyarakat konsumen dan pemerhatinya menemukan fatamorgana keindahan, kemewahan, prestasi dan profesioanalitas GIAA.

Meskipun tidak pantas dijadikan ukuran general lalu mengajust Garuda tapi laporan perolehan laba demi laba, efisiensi demi efisiensi, investasi demi investasi yang memukau ternyata hanya mentereng di atas kertas menjadi salah satu faktor ukuran di mata masyarakat.  Faktanya Garuda Indonesia rugi, rugi, merugi, iklim perusahaan tidak kondusif, struktur organisasi yang gendut melebihi gendutnya tabungan salah satu Direktur utamanya menerima suap dari perusahaan manufaktur terkemuka asal Inggris, Rolls Royce dalam pembelian 50 mesin pesawat Airbus SAS pengadaan pesawat sejak 2005 -2014

Laporan rugi laba perusahaan itu sering terdengar tidak transparan. Sebut saja yang terakhir pada Juni 2019 adalah temuan akuntan publik betapa amburadulnya laporan keuangan 2018 GIAA yang telah "kenyang" mencapai ratusan penghargaan dunia tersebut. OJK dan Kemenkeu pun akhirnya menjatuhkan denda kepada seluruh pihak komisaris dan direksi serta staf yang telah membuat dan menandatangani laporan tersebut.

Amburadulnya perusahaan "kelas wahid" ini juga sudah tercium pada 2018 ketika Asosiasi Pilot Garuda (APG) mengancam akan melakukan aksi mogok jika manajemen Garuda tidak melakukan perubahan tentang keselamatan kerja para pilot.

Pada 2018 kondisi postur organisasi yang sangat bergelembung ikut membuat sengkarut Garuda makin karut marut apalagi susunan dewan direksi yang semakin bertambah banyak itu tidak berlatar belakang dunia penerbangan mealainkan dari dunia perbankan menimbulkan demo Asosiasi Pilot Garuda. 

Pada 2017 selama semester 1 saja GIAA mengalami kerugian bersiah sebesar USD 283,8 juta atau setara Rp 3,77 triliun.

Sorotan terhadap GIAA juga telah terjadi lebih lama terutama soal meruginya perusahaan tersebut. Pada 2016 saja GIAA mengalami kerugian sebesar 63,2 juta dolar AS atau setara dengan Rp 824 miliar pada Semester I 2016 atau anjlok 315,7 persen dari periode sama 2015 yang meraup laba bersih sebesar Rp 392,6 miliar. Sementara itu.

Pada 2014 Garuda merugi sebesar 371,9 juta dollar AS atau sekitar Rp 4,87 triliun (kurs Rp 13.100 per dollar AS) selama tahun buku 2014.  Saat itu adalah masa terakhir menjabat Emisyah Satar sebagai Dirut Garuda (dari 2005-2014) baru terungkap, Ternyata selama 9 tahun kepemimpinannya telah meraup pemasukan sebesar 1,2 juta dan $180 ribu atau senilai total Rp20 miliar serta dalam bentuk barang senilai $2 juta yang tersebar di Singapura dan Indonesia .

Sebelum 2014 kasus rugi dan merugi GIAA sangat kerap terjadi dengan berbagai alasan. Contohnya pada zaman orde baru tepatnya pada zaman mantan Presiden Soeharto. Dua hari setelah dilantik sebagai salah satu menteri kabinet pembangunan IV pada 16 Maret 1998, Tanri Abeng kala itu sebagai Menteri Negara Pendayagunaan BUMN diminta oleh Soeharto menyelematkan si burung besi Garuda. 

Abeng saat itu (dalam hati) mengira rencana tersebut adalah sebuah mission impossibel, namun pak Harto mengatakan harus bisa. "Bagaimana caranya agar Garuda Indonesia tetap terbang," kenang Abeng. Jadi terlihat pada masa itu pun Garuda Indonesia mulai sempoyongan.

Kita tidak akan melihat lebih jauh hingga ke masa pembentukan awalnya. Beberapa fakta dan data di atas adalah bukti bahwasanya GIAA adalah sebuah keberhasilan dalam fatamorgana. Sebuah kemewahan dalam bingkai bianglala dan mungkin saja perusahaan bonafide dalam ilusi.

Menutup GIAA  atau mengganti nama bukanlah sebuah solusi yang favorite karena banyak pihak yang bergantung di dalamnya. Efisiensi ekstrim juga bukan solusi efektif karena akan mengorbankan mata anggaran yang tampaknya mubazir tapi sesungguhnya sangat penting seperti mobil angkutan untuk kru pesawat yang akan atau selesai bertugas ternyata sangat penting, mempercepat mobilitas ke tempat tugas dan istirahat.

Efisiensi pada bidang yang tepat sasaran dan perampingan organisasi dan dewan direksi serta transparansi dalam investasi pesawat baru dan perawatan pesawat mungkin ini akan menyelamatkan si burung besi Garuda dari ancaman sakitnya jika tak pantas disebut kepunahannya.

Efisiensi pada program hura-hura seperti program "The vintage flight Experience" sekadar mengenang memori 1970-an dengan mengecat pesawat, seragam pramugari dan menu tempo doeloe cuma inovasi semu sebab hanya digunakan untuk 10 hari saja (periode 7 - 17 Desember 2018 pada jam tertentu ) dengan biaya yang sangat besar.

Efisiensi tentu saja tidak sampai harus menulis daftar menu makanan dalam secarik kertas indah menawan ala pramugari Garuda yang sempat heboh beberapa waktu lalu. Mohon maafkan Pramugari tersebut, bukan lancang dan tidak profesional tapi posisi dan kondisi pada saat itu kita tidak paham, mungkin saja daftar menu telat diantar saat pesawat grounded atau belum selesai di percetakan.

Satu hal lain yang teramat penting dan menjadi muara dari seluruh aliran sungai kerugian dan inefisiensi adalah jauhi GIAA dari pemeras dan pemerasan yang nyata maupun yang tersamar. Konkritnya adalah tidak membuat PT.GIAA menjadi sapi perah dengan alasan dan tujuan apapun.

Apakah yang terakhir ini termasuk mengajari bebek berenang atau burung bisa terbang? Semoga mengetuk pintu hati manajemen PT.GIAA dan Kementerian terkait, tidak melihatnya seperti itu, hehehehehe..

Salam Kompasiana

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun