Pada 2018 kondisi postur organisasi yang sangat bergelembung ikut membuat sengkarut Garuda makin karut marut apalagi susunan dewan direksi yang semakin bertambah banyak itu tidak berlatar belakang dunia penerbangan mealainkan dari dunia perbankan menimbulkan demo Asosiasi Pilot Garuda.
Pada 2017 selama semester 1 saja GIAA mengalami kerugian bersiah sebesar USD 283,8 juta atau setara Rp 3,77 triliun.
Sorotan terhadap GIAA juga telah terjadi lebih lama terutama soal meruginya perusahaan tersebut. Pada 2016 saja GIAA mengalami kerugian sebesar 63,2 juta dolar AS atau setara dengan Rp 824 miliar pada Semester I 2016 atau anjlok 315,7 persen dari periode sama 2015 yang meraup laba bersih sebesar Rp 392,6 miliar. Sementara itu.
Pada 2014 Garuda merugi sebesar 371,9 juta dollar AS atau sekitar Rp 4,87 triliun (kurs Rp 13.100 per dollar AS) selama tahun buku 2014. Saat itu adalah masa terakhir menjabat Emisyah Satar sebagai Dirut Garuda (dari 2005-2014) baru terungkap, Ternyata selama 9 tahun kepemimpinannya telah meraup pemasukan sebesar 1,2 juta dan $180 ribu atau senilai total Rp20 miliar serta dalam bentuk barang senilai $2 juta yang tersebar di Singapura dan Indonesia .
Sebelum 2014 kasus rugi dan merugi GIAA sangat kerap terjadi dengan berbagai alasan. Contohnya pada zaman orde baru tepatnya pada zaman mantan Presiden Soeharto. Dua hari setelah dilantik sebagai salah satu menteri kabinet pembangunan IV pada 16 Maret 1998, Tanri Abeng kala itu sebagai Menteri Negara Pendayagunaan BUMN diminta oleh Soeharto menyelematkan si burung besi Garuda.
Abeng saat itu (dalam hati) mengira rencana tersebut adalah sebuah mission impossibel, namun pak Harto mengatakan harus bisa. "Bagaimana caranya agar Garuda Indonesia tetap terbang," kenang Abeng. Jadi terlihat pada masa itu pun Garuda Indonesia mulai sempoyongan.
Kita tidak akan melihat lebih jauh hingga ke masa pembentukan awalnya. Beberapa fakta dan data di atas adalah bukti bahwasanya GIAA adalah sebuah keberhasilan dalam fatamorgana. Sebuah kemewahan dalam bingkai bianglala dan mungkin saja perusahaan bonafide dalam ilusi.
Menutup GIAA atau mengganti nama bukanlah sebuah solusi yang favorite karena banyak pihak yang bergantung di dalamnya. Efisiensi ekstrim juga bukan solusi efektif karena akan mengorbankan mata anggaran yang tampaknya mubazir tapi sesungguhnya sangat penting seperti mobil angkutan untuk kru pesawat yang akan atau selesai bertugas ternyata sangat penting, mempercepat mobilitas ke tempat tugas dan istirahat.
Efisiensi pada bidang yang tepat sasaran dan perampingan organisasi dan dewan direksi serta transparansi dalam investasi pesawat baru dan perawatan pesawat mungkin ini akan menyelamatkan si burung besi Garuda dari ancaman sakitnya jika tak pantas disebut kepunahannya.
Efisiensi pada program hura-hura seperti program "The vintage flight Experience" sekadar mengenang memori 1970-an dengan mengecat pesawat, seragam pramugari dan menu tempo doeloe cuma inovasi semu sebab hanya digunakan untuk 10 hari saja (periode 7 - 17 Desember 2018 pada jam tertentu ) dengan biaya yang sangat besar.
Efisiensi tentu saja tidak sampai harus menulis daftar menu makanan dalam secarik kertas indah menawan ala pramugari Garuda yang sempat heboh beberapa waktu lalu. Mohon maafkan Pramugari tersebut, bukan lancang dan tidak profesional tapi posisi dan kondisi pada saat itu kita tidak paham, mungkin saja daftar menu telat diantar saat pesawat grounded atau belum selesai di percetakan.