Mohon tunggu...
Abanggeutanyo
Abanggeutanyo Mohon Tunggu... Wiraswasta - “Besar, ternyata ada yang lebih besar, sangat besar, terbesar, super besar, mega besar dan maha besar.”

Nama : FM Al-Rasyid ---------------------------------------------------------------- Observe and be Observed

Selanjutnya

Tutup

Kurma Pilihan

Idul Fitri Ini Tanpa Eko Lagi

23 Mei 2019   17:48 Diperbarui: 23 Mei 2019   18:09 127
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Setiap kali Eko pulang kerja sepasang anaknya (yang sulung Toni dan adiknya Yani) senantiasa menyambut riang gembira. Ada yang pura-pura bantu mengangkat tas kerja ada juga yang "bantu" bukain sepatu dan kaos kaki Eko. Sementara istri (Sari) seorang ibu rumah tangga tulen alias tidak pnnya pekerjaan sampingan apapun selain megurus anak, suami dan rumah tangga senantiasa menyambutnya dengan penuh hangat dengan menyiapkan kopi minuman kesukaan Eko hampir setiap hari.

Demikian perjalanan hidup Eko sejak anaknya 0-2 tahun hingga masing-masing berusia 7 dan 9 tahun kerap menyambutnya dengan aneka tingkah polah, ada yang asal bertanya hingga ada nyanyi-nyanyi menirukan nyanyian di televisi baru ditontonnya.

"Bawa pulang jajan apa yah..." tanya Tony sambil menenteng tas ayahnya

Ohh tidak, hari ini ayah kemalaman gak sempat singgah dimana-mana.." balas Eko berusaha menghibur anaknya

Si bungsu Yani ikut meramaikan membuka tali sepatu dan kaos kaki ayahnya sambil bernyanyi kadang sambil celoteh sambil melapor peristiwanya hari ini.

Begitulah Eko sebagai tulang punggung keluarganya sendiri juga menjadi tulang punggung keluarga besarnya juga mendapatkan rezeki dari gaji bulanan sebagai salah satu manager di perusahaan tekenal untuk kebutuhan keluarganya sendiri dan membantu adik-adiknya di kampung juga beberapa saudara yang membutuhkan bantuan tertentu.

Kehangatan dan keceriaan itu berubah 180 derajat ketika prahara datang menimpa yang menyebabkan Eko harus mengundurkan diri secara hormat dari perusahaannya. Eko yang terkenal dan gigih bekerja sesuai prosedur di perusahaannya dianggap terlalu berbahaya oleh sejumlah besar anak buahnya yang yang telah terbiasa bekerja dalam "zona nyaman" masing-masing. Maklum Eko baru 2 tahun dipindahakan ke kantor barunya di sebuah provinsi.

Tak sampai disitu, akibat fitnah keuangan juga menyerempet ke Eko, sebagian besar Pesangonnya dipotong untuk menutupi kerugian perusahaan akibat terjadinya khaos berlarut selama hampir 5 bulan sebelum Eko memilih pensiun.

Fitnah massal yang diperagakan oleh hampir seluruh anak buahnya menyebabkan Eko menjadi "tersangka" akibatnya terciptanya kondisi tidak kondusif dalam perusahaan. Memilih bertanggung jawab Eko mengajukan resign sekaligus pensiun dari perusahaannya Eko mencoba merakit hidup baru dengan semangat baru. 

Eko berusaha melupakan kekecewaan akibat "dikerjain" oleh bawahannya secara berkomplot sehingga rela melepas kariernya demi kelangsungan hidup dan soliditas perusahaannya meski mengorbankan "dapurnya" sendiri.

Teringat oleh Eko suasana puasa pertama ketika tidak menjadi karyawan lagi meski dalam suasana masih "lelah batin" tapi masih mampu menghidupi keluarganya secara normal hingga masuk Idul Fitri pertama tanpa merasakan hadirnya THR lagi.

Eko berusahan sabar dan tabah menjalani hidup babak baru dalam suasana dan kondisi lain. Seluruh keindahan dan kenikmatan pernah diterimanya tak lebih seperti "mimpi indah" yang harus segera dilupakan. 

Kini bersama istri dan 2 buah hatinya Eko berusaha membangun usaha baru. Menggunakan sisa tabungan dan menjual sepetak tanah miliknya Eko berusaha hidup mandiri. 

Entah nasib apa yang sedang terjadi pada Eko, usaha yang dirintis dan menghabiskan uang hasil tabungan dan menjual tanah ratusan juta itu tidak berjalan sesuai harapan.

Eko dan isterinya berusaha tersenyum meskipun terasa amat getir rasanya.

Kini menjual sebidang tanah lagi sisa terakhir pertahanan ekonominya. untuk berusaha bangkit kembali. Mengajak salah satu teman yang ia kira paling bisa dipercaya saat sama-sama bekerja dahulu. Dari proses negosiasi hingga pembayaran teman Eko menemani.  Ternyata teman yang ia percaya itu kembali menjadi musuh dalam selimut. Diam-diam ia mengatur strategi perampokan uang Eko ketika menerima pembayaran dari pembeli tanah.

Dalam perjalanan menuju ke Bank, Eko dan temannya "dirampok." Mereka dibawa ke sebuah lokasi di luar kota. Di sanalah Eko "dibuang" untuk selamanya oleh perampok yang belakangan dari hasil pengembangan kasus oleh Polisi terkuak misteri komplotan perampokan itu adalah perampokan berencana dan pembunuhan.

Eko telah pergi selama-lamanya, meninggalkan 2 buah hatinya yang kini menginjak usia remaja. Perjalanan hidup mereka masih panjang, butuh biaya perawatan dan pendidikan yang juga masih sangat panjang. Pada siapa mereka mengadukan nasib? 

Rasa-rasanya hidup ini tidak adil dan sangat kejam sekali untuk Sari dan anaknya.

Puasa 2019 ini adalah Idul Fitri pertama Sari dan anaknya (Toni dan Yani) tanpa Eko lagi setelah kepergian pahlawan mereka selama-lamanya hampir 9 bulan yang lalu.

Tony yang biasa mengangkat tas ayahnya hanya bisa terpaku memandang tembok rumahnya ketika teringat pada ayah. Begitu juga dengan Yani biasa membuka tali sepatu dan kaos kaki ayahnya cuma bisa membuka album foto ketia ia, abang dan ibunya sering berpergian kemana-mana bersama-sama. Ia juga teringat saat digendong Ayahnya di jemput pulang sekolah berhujan ria.

Sari betul-betul sadar. Persoalan dan nasib seperti itu bukan saja ia yang merasakan. Banyak lagi "sari -sari" lainnya mengalami nasib naas dan apes mungkin melebihi dialminya dan mereka meskipun menderita secara ekonomi tapi banyak yang mampu bertahan mengurus anak "ditinggal suami" hingga dewasa bahkan hingga punya cucu. 

Meyakini hal itulah membantu Sari mampu tabah dan menanam semangatnya. Di usianya yang telah tidak muda lagi Sari tidak berpikir apapun selain fokus pada meneruskan tanggung jawab pada anak-anaknya saja sebalum ia pun pada suatu saat nanti  bakal menyusul Eko, suaminya.

Sari istri Eko tak menyerah pada nasib. Berbekal sisa terakhir cincin dan gelangnya serta kerabunya dijual untuk modal membuka usaha penjualan kue basah di rumahnya. Berkat bantuan tetangga dan saudara yang membantu keuangan Sari bisa melangkah demi selangkah hingga telah berjalan 9 bulan lamanya. 

Kadang terlintas di benaknya jika Eko masih ada tentu Ekolah yang bertugas menggeser dan mengatur meja dan tenda dagangannya... Kadang tetesan air matanya tak terasa mengalir di pipinya yang sesungguhnya masih cantik itu. 

Sebentar lagi Idul Fitri datang menyapa.. dapatkah anda bayangkan betapa Sari dan anaknya merasa merasa kehilangan kehangatan seperti ketika Eko masih ada.

Pesan moral pada Cerpen Fiktif ini adalah : Mari kita sama-sama berbagi rasa, mungkin ada tetangga atau saudara dan kenalan kita sedang mengalami nasib seperti tokoh sari di atas, mengapa kita tidak mengurangi penderitaannya dengan berbagi sedikit saja. Hal itu akan membantu keteduhan keluarga Sari meskipun tak mampu menghadirkan lagi tulang punggung dan pahlawan mereka : Eko Satrio Piningit.

Salam renungan

Catatan: Mohon maaf jika nama tokoh-tokoh fiktif di atas mirip atau sama dengan nama anda rekan pembaca..

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun