Mohon tunggu...
Abanggeutanyo
Abanggeutanyo Mohon Tunggu... Wiraswasta - “Besar, ternyata ada yang lebih besar, sangat besar, terbesar, super besar, mega besar dan maha besar.”

Nama : FM Al-Rasyid ---------------------------------------------------------------- Observe and be Observed

Selanjutnya

Tutup

Politik

Dahsyatnya Pemilu 2019, Sisakan Partai "Mati" dan "Setengah Mati"

18 April 2019   15:15 Diperbarui: 18 April 2019   16:36 424
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Agaknya pemilu 2019 ini memberi pelajaran penting bagi semua pihak tentang bagaimana mempersiapkan diri (partai) sedemikian rupa sehingga tidak sekadar menjadi penggembira pada Pemilihan Umum (Pemilu) di masa akan datang. Dampak pemilu 2019 yang kini sedang dalam proses perhitungan suara juga memberi tanda-tanda masih ada tanda kehidupan dan kematian pada partai politik tertentu.

Masih berdasarkan hasil Quick Count (QC) sementara tentang pemilihan legislatif (Pileg) secara nasional memperlihatkan bahwa Partai-partai papan atas yang sudah matang (kecuali partai PPP) punya daya tahan dan pengalaman ketimbang partai setengah matang (partai papan tengah) apalagi dibandingkan partai "the new Comer" alias pendatang baru (lahir) di papan bawah.

Pada pemilu kali ini empat partai "baru lahir" langsung mati akibat tak sanggup menghadapi ganas dan buasnya medan politik yang harus dihadapi oleh parpol baru lahir tersebut.

Partai Perindo, anggap saja "curi start" lebih dahulu melalui iklan-iklan terselubung partai Periondo jauh hari sebelum start kampanye resmi dimulai dan hadirnya Hari Tanoesoedibjo, pebisnis sukses pemilik MNC Group tampaknya tidak mampu menghadapi medan rintangan yang teramat berat untuk ukuran partai yang baru lahir ini. Hasil QC saat tulisan ini dibuat posisinya 2,85%, masih jauh untuk tembus ambang batas 4%.

Partai baru lahir lainnya adalah Partai Garuda. Dideklarasikan 16 April 2015 langsung "mati" hampir bersamaan dengan ulang tahunnya ke dua. Partai seumur jagung "reinkarnasi" Partai Kerakyatan Nasional ditopang oleh Harmoko tidak sanggup menggilas medan batu cadas politik di Indonesia era reformasi saat ini. Saat tulisan ini dibuat hasil perolehan suaranya pada 0,53%, benar-benar bagaikan partai pelengkap blantika politik Indonesia saja layaknya. Semoga pada pemilu akan datang tidak lagi menggunakan teknik mengganti nama partai untuk lolos dari ferivikasi KPU dan KemenkumHam. 

Partai Berkarya juga tidak mampu menembus lebatnya hutan belantara politik di tanah air. Meskipun dimotori Hutomo Mandala dan mengejar lapisan (pemilih) masyarakat yang rindu pada kejayaan masa orde baru ternyata partai yang belum berusia 3 tahun itu belum kuat fisiknya menembus belantara politik Indonesia yang terkenal kejam dipenuhi aneka binatang hoaks.

Partai Solidaritas Indonesia atau PSI bertabur politikus bagaikan artis ini terlalu cepat "alergi" menghadapi derasnya guyuran hujan fitnah di belantara politik kita. Fitnah terhadap personal Grace Natalia berupa pencemaran nama baiknya dan fitnah sebagai partai anti syariah dan lain-lain mungkin terlalu amis aromanya bagi partai yang baru berusia 4 tahun di alam belantara politik Indonesia.

Di papan tengah, Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI), sebelumnya bernama Partai Keadilan dan Persatuan (PKP), bersama Partai Bulan Bintang (PBB) nasib keduanya hampir sama, hidup segan mati pun tak mau.  

PKPI yang telah berumur 20 tahun hanya dapat berkiprah di "senayan" pada Pemilu 1999 pernah menghadirkan sejumlah ujung tombaknya di DPR. Setelah itu tak ada satupun kandidatnya bercokol di sana hingga pemilu 2014 bahkan kini berlanjut hingga 2023. PKPI tak berdaya memanjat tebing politik teramat curam untuk posturnya yang terlihat tidak memiliki mental juara.

Hal senada dialami rekan seusianya Partai Bulan Bintang (PBB) juga cuma mampu berkiprah pada pemilu 1999 dengan menghadirkan 13 orang wakil di senayan. Setelah itu sama persis dengan rekan sohibnya PKPI tidak ada lagi siapapun di sana hingga 2014 usai dan kini penderitaannya diperpanjang hingga 2023 tak ada  ujung tombaknya di Senayan. 

Terlihat betapa cueknya partai ini. Idealisme yang kaku pada idiologi partai tidak membuatnya bisa kemana-mana selain hanya menambah deretan musuh-musuh politik baru yang akan mempersulit langkah partai yang pernah dimotori oleh Yusri Ihza Mahendra tersebut. Deretan musuh-musuh politik itulah yang membuat perahu PBB teramat sulit menerjang gelompang politik di tanah air. 

Masih di papan tengah, Partai Hanura hampir berusia 13 tahun (sejak didirikan pada 14 nopember 20016) punya pengalaman timbul tenggelam pada beberapa Pemilu sebelumnya. Pernah tenggelam lalu berjaya kembali pada pemilu 2014 menghadirkan 16 ujung tombak di Senayan. 

Hingga tulisan ini dibuat posisinya baru mencapai 1,34%, jauh sekali dari harapan lolos ke Senayan. Ini artinya JIKA tidak ada perubahan signifikan hasil Pemilu dari sumber manapun maka partai ini akan tenggelam kembali. Tampaknya "pelabuhan" Senayan saat ini terlalu sulit dijangkau kadaer Hanura, entah apa pasal sejak ditinggal Wiranto.  

Di papan atas Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang pernah merajai blantika politik nasional dengan merebut posisi "runer up abadi "selama 20 tahun (Pemilu 1977 hingga 1997) ternyata nasibnya kini tak kalah menyedihkan.

Berdasarkan perhitungan cepat (sampai saat ini 4,65%) partai berlambang ka'bah itu memang telah lolos melewati angka 4% atau melewati syarat Parliamentary Trashold namun ini adalah pencapaian paling buruk dalam sejarah partai tersebut. Partai ini belum mampu melupakan kenangan indahnya pada masa kejayaan Orde Baru.

PPP belum "mati" pada pemilu kali ini, akan tetapi jika tidak segera berbenah, mempererat kesatuan dan persatuan internal serta menyingkirkan bara api yang digelontorkan oleh kader-kadernya sendiri bisa jadi salah satu partai senior ini bakal "mati" pada pemilu akan datang atau berganti dengan nama baru.

Demikian sekilas pelajaran yang dapat dipetik dari dahsyatnya pemilu 2019 terhadap mesin politik dan politkusnya. Ada mesin politik yang harus mati sebelum berkembang ada juga yang dbikin layu (setengah mati) tak jadi berkembang tapi ada juga belum mati-mati entah berkembang sampai kapan. Singkatnya pelajaran itu mengingatkan kita bahwa memerlukan kekuatan lahir batin dan kekuatan mental untuk menjadi mesin politik yang handal.

Jika ada yang menyatakan hal itu pun cukup karena ada hal lain yang lebih utama (misalnya modal atau material) tapi beberapa korban pemilu 2019 disebutkan di atas juga mengingatkan pada kita kekuatan modal pun tidak bisa jadi jaminan.

Salam damai pemilu 2019

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun