Mohon tunggu...
Abanggeutanyo
Abanggeutanyo Mohon Tunggu... Wiraswasta - “Besar, ternyata ada yang lebih besar, sangat besar, terbesar, super besar, mega besar dan maha besar.”

Nama : FM Al-Rasyid ---------------------------------------------------------------- Observe and be Observed

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Kabut dan Asap, Bukan Ritual Tahunan Ribut Lalu Senyap

12 September 2015   03:23 Diperbarui: 12 September 2015   11:24 748
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kabut dan asap akibat pembakaran lahan dan hutan untuk perkebunan khususnya di Sumatera dan Kalimantan bukan sesuatu yang aneh lagi. Rasa-rsanya hampir dua dekade terakhir kita "disuguhi" fenomena kabut dan asap bersumber dari pembakaran lahan dan hutan untuk perkebunan (tanam kembali atau buka lahan baru).

Bagi yang tidak mengalami langsung atau melihat langsung fenomena kabut dan asap akibat pembakaran lahan perkebunan atau hanya mengetahui dari aneka informasi saja mungkin beda kesannya. Tapi, bagi yang merasakan (pernah merasakan) langsung peristiwa tersebut akan sangat mengerti mengapa asap dan kabut akibat pembakaran lahan perkebunan sangat menganggu berbagai aktifitas lainnya seperti lalulintas, kegiatan sosial dan transportasi penerbangan bahkan menganggu kesehatan terkait bagian pernapasan dan lainnya.

Sekitar 2005-2008 penulis pernah tinggal di Provinsi Riau (Pekanbaru) dan sangat sering melaksanakan perjalanan ke berbagai kabupaten di dalamnya sehingga merasakan sendiri dampak fenomena asap dan kabut yang terjadi di Provinsi Riau akibat pembakaran lahan yang sebelumnya pun penulis hanya mengetahui dari aneka informasi media cetak dan televisi.

Begitu juga halnya sekitar 2010-2013 pernah menetap di Kalimantan Barat (Pontianak) dan juga berpergian ke seluruh kabupaten didalamnya, pernah merasakan sendiri dampak fenomena asap dan kabut terjadi di Kalbar yang kini sedang diributkan kembali.

Mengapa ada yang menyebut peritiwa itu seperti ritual, karena persoalan itu terjadi setiap tahun dan setiap tahunnya menimbulkan aneka dampak mirip dampak bencana alam. Dan seperti biasanya, semua ribut dan banyak yang berteriak protes ke sana kemari namun peristiwa yang sama tetap berulang kembali. Celakanya, kini timbul pendapat asap dan kabut akibat hutan atau lahan terbakar seperti saat ini BUKAN merupakan bencana alam. (Sumber :Info Astronomy)

Setiap tahun pemerintah daerah (pemda) telah mengerahkan berbagai kemampuan untuk mengatasinya, mulai dari hal yang terkecil sampai hal terbesar. Entah supaya tidak terkesan menyepelekan persoalan dan jeritan warganya Pemda setempat sesungguhnya hampir kehilangan akal mengatasi persoalan tahunan tersebut.

Langkah antisipatif dan prefentif yang dilakukan pemda tidak efektif karena banyak faktor. Pemda terkesan lemah mengatasi pembakaran lahan antara lain disebabkan karena :

  1. Lemah dalam memonitor sumber titik api
  2. Kelemahan untuk menjangkau lokasi untuk pemadaman.
  3. Keterbatasan peralatan mengatasi pembakaran di tengah hutan yang jauh jangkauan
  4. Kondisi medan yang sulit.
  5. Jumlah tenaga pemadam dari instansi terkait (BNPB, BKSA dan Pemadam milik Pemda) sangat terbatas dan tentu saja anggaran operasional  yang terbatas juga menjadi salah satu penghalang

Penyebab lainnya adalah para pembakar lahan dari perorangan (petani yang punya kebun) sampai terorganisir (perusahaan perkebunan) sulit tertangkap basah saat mulai melaksanakan pembakaran. Barulah setelah terjadi pembakaran dan meluas dengan kepulan asap membumbung tinggi ke angkasa satelit khusus memberi informasi tentang sumber api, namun sekali lagi tidak banyak membantu karena terkendala dengan sejumlah faktor disebutkan di atas.

Beberapa pembakar lahan berhasil ditangkap lalu diinterogasi tanpa kejelasan berikutnya seperti apa. Aksi penangkapan dan interogasi itu mungkin saja diperlihatkan ke publik bahwa sudah ada pihak pelaku pembakaran hutan yang tertangkap kelihatannya sekadar memberi dampak psikologis bagi pembakar lainnya, akan tetapi jarang kita dengarkan tindak lanjutnya seperti apa setelah penangkapan tersebut.

Meski sejauh itu penanganannya apakah hal itu menghentikan dan membuat jera pembakar lahan? Rasa-rasanya tidak, bahkan yang terjadi adalah nyaris semakin tidak perduli dengan sejumlah alasan klasik :

  • Untuk tanam kembali mereka harus membakar sisa sisa pohon dan akar yang ada
  • Untuk membuka kebun baru langkah yang dilakukan setelah merapikan lahan adalah membersihkannya dengan pembakaran sisa-sisa pohon dan ranting yang kering
  • Pohon yang sudah tua dan sudah tidak produktif lagi harus ditebang dan potongannya tidak segera membusuk, biasanya dibakar supaya lahan terlihat bersih kembali.
  • Hasil perkebunan merupakan sumber pemasukan ekonomi bagi warga pemilik kebun dan perusahaan pemilik kebun. Ketergantungan hidup pada sumber kebun mau tak mau petani  dan perusahaan yang memiliki lahan menggantungkan hidup mereka dari berkebun.
  • Pada skala tertentu, ekspor hasil kebun (misalnya CPO dari kebun sawir) memberi rezeki bukan saja pada warga negaranya akan tetapi juga menjadi pemasukan tambahan bagi negara.

Lalu apakah dengan alasan seperti itu lantas bakar membakar lahan atau hutan secara massif dapat diizinkan dan boleh sembarangan? Semua pasti serentak menjawab "Ooooo tidak boleh..." Jadi mengapa peristiwa itu terjadi lagi dan terus menerus terjadi?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun