Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) membolos, tidak menjadi rahasia umum lagi. Aneka berita dan kritikan tajam dari media massa dan warga terhadap anggota dewan yang merupakan representasi wakil rakyat republik Indonesia telah terjadi berulang kali silih berganti.
Entah karena tidak membaca berita atau tidak menghiraukan kritikan tersebut, nyatanya anggota DPR RI yang membolos semakin menjadi-jadi.
Sorotan media dan warga terhadap ratusan anggota DPR tidak hadir pada rapat paripurna pada 27 Januari 2014 terasa hambar. Tidak lama kemudian pada 11 Februari 2014 ratusan anggota dewan terhormat kembali tidak hadir pada rapat tertinggi yang sepatutunya tidak boleh ditinggalkan. Seolah tanpa beban apapun anggota dewan terhormat kembali tak gentar nyalinya menerima aneka kritikan dan sorotan tersebut.
Peristiwa terkini, pada rapat paripurna (25/2/2014) dalam pembahasan RUU tentang Insinyur, kejadiannya lebih parah dan tak terkendali. Anggota DPR yang hadir pada rapat paripurna pembahasan RUU tersebut hanya 190 orang anggota DPR (dari 560 orang) atau hanya 34% peserta yang hadir.
Padahal dalam pengertiannya, Rapat Paripurna adalah rapat anggota yang dipimpin oleh pimpinan DPR dan merupakan forum TERTINGGI dalam melaksanakan TUGAS dan WEWENANG DPR.
Belum lagi jika mengacu pada pendapatan bersih (resmi) setiap anggota DPR pada kelompok C (anggota DPR yang merangkap anggota badan/panitia anggaran) dengan penghasilan bersih Rp.57.684.400 setiap bulannya (termasuk dari aneka tunjangan Rp14.382.495).
Entah karena tidak memahami arti rapat paripurna atau seolah tak butuh lagi menerima penghasilan yang hanya Rp.57 juta setiap bulan saat menjadi anggota dewan, performance anggota DPR RI kita memang semakin nekat dan berani.
Nekat, karena seolah tak perduli lagi menyandang peran sebagai anggota DPR yang merupakan wakil rakyat dengan segenap tanggung jawan di pundaknya termasuk tanggung jawab menghadiri rapat, apalagi sekelas rapat paripurna.
Berani, karena seolah telah tak butuh lagi pengakuan rakyat untuk kembali melanjutkan kiprahnya di kursi dewan rakyat yang telah digeluti hampir lima tahun lamanya. Anggota DPR kini memperlihatkan seperti tak butuh lagi pengakuan sebagai anggota DPR yang mempunyai komitmen tinggi dimata rakyat, meski detik-detik pemilihan caleg justru sudah diambang pintu pentas pesta demokrasi.
Jika nekat dan berani itu dikaitkan dengan ancaman Badan Kehormatan yang akan memecat anggota DPR RI yang membolos, rasa-rasanya tidak berarti apa-apa pada anggota dewan kehormatan kita. Seolah menganggapnya tak lebih seperti kerupuk kecemplung air saja.
Selidik punya selidik, ternyata di dalam Peraturan DPR RI No.1 Tahun 2010 yang terdiri atas 25 Bab dan 313 Pasal itu memuat satu pasal tentang batasan bolos sidang yang diperbolehkan (toleransi) yaitu sebanyak 6x berturut-turut.