Mohon tunggu...
Abanggeutanyo
Abanggeutanyo Mohon Tunggu... Wiraswasta - “Besar, ternyata ada yang lebih besar, sangat besar, terbesar, super besar, mega besar dan maha besar.”

Nama : FM Al-Rasyid ---------------------------------------------------------------- Observe and be Observed

Selanjutnya

Tutup

Politik

Pesan di Balik Bendera dan Simbol Baru Provinsi Aceh

26 Maret 2013   06:08 Diperbarui: 14 November 2019   19:46 2884
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar : sphotos-a.xx.fbcdn.net

Mengacu kepada perjanjian Helsinki, Finlandia pada Senin, 15 Agustus 2005 yang ditandatangani oleh wakil pemerintah Republik Indonesia (Hamid Awaluddin) dan wakil dari Gerakan Aceh Merdeka (Malik Mahmud) dan disaksikan oleh utusan masing-masing ke dua belah pihak dihadapan  Martti Ahtisaari, ketua dewan direktur Crisis Management Initiative, secara resmi Aceh kembali berdamai dengan Republik Indonesia dan mematuhi segala aturan dalam kerangka NKRI.

Perjanjian Helsinki setebal 11 (sebelas) halaman dan memuat 6 (enam) bagian utama itu mengandung semangat perdamaian dan cita-cita yang luhur untuk bersanding kembali dalam damai dan bersaudara dalam bingkai negara kesatuan Republik Indonesia.  (sumber: http://www.acehkita.com).

Bagian pertama perjanjian itu merupakan salah satu bidang terpenting pada perjanjian tersebut. Bagian pertama itu  memuat tentang ketentuan penyelenggaraan pemerintahan Aceh. Disebutkan pada poin 1.1.5 : Aceh memiliki hak untuk menggunakan simbol-simbol wilayah, termasuk bendera, lambang dan himne.

Berkaitan dengan poin 1.1.5 pada bagian  pertama perjanjian tersebut, pemerintah Aceh dan DPRA (parlemen Aceh) telah mengesahkan qanun (semacan lembaran daerah) bernomor 03 tahun 2013 pada 23 Maret 2013 lalu. Meskipun Qanun tentang hal itu masih harus mendapat klarifikasi dari pemerintah RI  akan tetapi sudah dapat dipastikan peraturan daerah ituakan berjalan mulus karena mengacu kepada perjanjian Helsinki.

Maka tak heran, dalam tiga hari terakhir hampir seluruh Aceh merayakan peresmian pemakaian bendera dan simbol Aceh. Iring-iringan kendaraan dan konvoi silih berganti mengepakkan bendera yang pernah digunakan secara resmi oleh Gerakan Aceh Merdeka (GAM).

Penggunaan dan pemakaian simbol dan bendera Aceh itu ada ketentuan dan aturannya, jadi tidak bisa dipergunakan sesukanya. Meskipun agak sulit dilaksanakan ketentuannya memberi batasan ukuran bendera yang harus dipakai di halaman kantor, perumahan, dalam ruangan dan kendaraan dinas pejabat daerah. Selain itu juga menurut UU No.11 tahun 2006 atau UUPA, memberi batasan yang jelas tentang sistem pemerintahan Aceh dan lembaganya sampai pada soal simbol daerah.

Selain itu, penempatan posisi bendera Aceh harus berada sebelah kiri bendera Negara Republik Indonesia dan kedudukannya TIDAK BOLEH lebih tinggi dari bendera kebangsaan Indonesia.

Apakah soal bendera Aceh ini mengandung arti yang beraneka ragam? Tentu saja. Maka tak heran di beberapa wilayah di Aceh sekalipun mahasiswa dari Aceh Tengah menolak pengesahan Qanun tersebut. Mereka beranggapan bahwa bendera itu tidak mewakili aneka suku dan bangsa yang berada di dalam Aceh.

Beberapa kalangan lainnya juga menilai bahwa bendera itu menandakan bahwa Aceh sudah hampir mencapai kedudukan merdeka. Jika mengacu pada isi MoU Helsinki yang memuat sejumlah kesepakatan itu terlihat Aceh hampir sama kedudukannya dengan posisi negara bagian kalau tak dapat disebutkan merdeka.

Wajar-wajar saja tanggapan dan cara melihat beraneka visi oleh beberapa kalangan disebutkan di atas. Padahal soal bendera dan simbol itu apalah bedanya dengan sejumlah bendera Hotel berbintang dan berkelas internasional yang terpasang di hamparan halaman hotel berdampingan dengan bendera Republik Indonesia di mana-mana berkibar dengan indahnya.

Bendera partai politik dan kesebelasan atau tim sepakbola favorite juga ada di mana-mana. Meskipun hanya semacam himbauan beberapa tokoh masyarakat ada yang meminta tidak mesti bendera GAM, seperti tanggapan Jusuf Kalla (JK) beberapa waktu lalu.

Sejumlah pendapat dan pertanyaan itu juga sah-sah saja. Tapi dengarkan apa kata wakil Gubernur Aceh menyikapi tuntutan masyarakat agar segera menggunakan bendera Aceh tersebut. Dengarkan dan simak baik-baik petikannya berikut ini.

"Aceh tetap dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia." kata Mualem (sapaan akrab untuk wagub Aceh) pada harian Serambi Indonesia pada Sabtu (23/3) lalu. Bahkan pada laman berita yahoo ditemukan kalimat petikan Muzakir Manaf, "Rakyat Aceh akan sejahtera dalam NKRI."

Malik Mahmud selaku wali nanggroe Aceh  pernah mempertegas posisi Aceh dalam NKRI seperti dikutip dari salah satu blog di Aceh. "Saya rasa kalau kita dapat menjaga dan memenuhi semua butir-butir yang ada dalam kesepakatan Helsinki itu, tidak ada lagi problem Aceh dengan pemerintah pusat. Aceh tetap akan di dalam NKRI," tutur Malik, Minggu (12/2/2012). Sumber : http://gsfaceh.com

Jadi apa pesan yang kita dapatkan dari penggunaan simbol dan bendera provinsi Aceh secara resmi yang  telah menarik perhatian masyarakat Aceh dan nasional itu? Pesannya adalah :

  1. Dari pernyataan sejumlah pejabat Aceh di atas, Aceh tetap dalam NKRI.
  2. Jangan sampai ada yang memecah belah Aceh dengan alasan dan tujuan apapun. Semua pihak harus menjaga perdamaian dengan saling menghargai penuh persaudaraan di seluruh Aceh.
  3. Pembangunan harus diskala prioritaskan pada daerah-daerah pedalaman dan jauh selama ini. Bukalah lapangan kerja dan tingkatkan perekonomian dan transportasi ke daerah-daerah tersebut.
  4. Beri bantuan pendidikan untuk warga pedalaman dan posisi dalam pemerintahan yang sejajar dan merata.
  5. Terlalu banyak simbol yang penting dan dapat digunakan, tapi hanya ada satu simbol dan lambang saja yang harus dipakai.

Degan demikian, masih adakah  diantara kita mencari celah-celah untuk membalikan fakta setelah berdiksusi dan menemukan solusi yang tertuang  pada perjanjian bersama?

Masih adakah diantara kita berusaha selalu membelok-belokkan arti yang tertera pada sebuah aturan dan ketentuan yang telah memiliki pengertian baku menjadi pengertian menurut seleranya sendiri?

Adakah diatara kita rela disebut sebagai "Manusia yang tidak dapat dipercaya," atau pendusta, bahkan munafik? Ingat  salah satu faktor orang disebut munafik adalah, apabila ia dipercaya maka ia mengingkarinya.

Kalau tidak ada, mari kita jaga bersama-sama  menjaga kerukunan agar Aceh dan seluruh warganya akan terus sejahtera dan hidup dalam damai bersama NKRI. Seperti pernyataan yang disampaikan tanpa tedeng aling-aling oleh pejabat sekelas mantan panglima Gerakan Aceh Merdeka,yang disebutkan di atas.

Terserahlah simbol apapun digunakan asal TIDAK yang memecah persatuan dan kesatuan Aceh dan NKRI. Itulah satu hal saja lagi yang perlu diingat. Setuju???

Salam Kompasiana

abanggeutanyo

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun