Pesawat Malaysia yang pertama sekali mengalami kecelakaan adalah MAS 652. Jenis pesawat Boeing 737 itu jatuh di desa Tanjung Kupang pada 4 Desember 1977 lalu dan sampai kini menyimpan tanda tanya penuh misteri. Penyebab pastinya tidak diketahui secara otentik hingga kini.
Pesawat nahas tersebut -saat itu- lepas landas dari Penang menuju Kuala Lumpur membawa 97 penumpang termasuk Menteri Pertanian Malaysia Datok Ali Haji Ahmad dan Dubes Kuba untuk Jepang, Mario Garcia.
Dugaan yang bermunculan, pesawat tersebut dibajak dan diledakkan di atas desa tanjung Kupang, Johor. Tapi dugaan aksi teroris tersebut tidak dterungkap secara resmi oleh pihak berkompeten Malaysia siapa dan bagaiamana teroris itu melakukan aksinya.
Sama dengan Indonesia yang juga sering mengalami insiden dan kecelakaan pesawat, pesawat komersil MAS berikutnya yang mengalami kecelakaan adalah MH 684 pada 18 Desember 1983 akibat persoalan di landasan pacu yang basah saat mendarat di Subang. Kemudian, MH 2133 mengalami kecelakaan akibat kesalahan pilot di Tawau airport pada 15 September 1995.
Berikutnya MH085 mengalami peristiwa sama di Sepang pada 15 Maret 2000. Tidak termasuk pesawat komersil Malaysia lainnya yang mengalami insiden pada jangka waktu tersebut dalam tulisan ini.
Berikutnya, kita semua dikejutkan oleh berita duka 239 orang tak berdosa berlepasan dari pesawat Boeing 777 MH370 pada 8 Maret 2014. Posisi dan penyebanya juga tidak dapat diungkap hingga kini meski disebut-sebut tenggelam di dalam Samudera Hindia atau Samudera Pasifik.
Duka belum selesai, kembali kita dibuat tersentak seakan tak berdaya melihat nyawa manusia dipermainkan seperti burung sasaran tembak petualang pemburu burung di atas udara Ukraina bagian timur. Pesawat Boeing 777 MH 17 meledak di udara berkeping-keping pada 17 Juli 2014. Kepingan yang jatuh ke bumi meninggalkan satu pesan : Pelaku sabotase tidak beradab dan sangat biadab mementingkan politik mereka tanpa memandang prinsip kemanusiaan.
Kini, peristiwa runtuhnya maskapai milik Malaysia terjadi kembali meski dikelola anak perusahaannya AirAsia Indonesia. Kali ini, korban terbesar adalah warga Indonesia. Satu orang penumpang dari Malaysia, Inggris, Australia. Korsel dan Singapore. (Mempelajari situs airasia.com corporate-profile Malaysia dan airasia.com/id/id/about-us/corporate-profile Indonesia menguasai 51% saham Air Asia. Selain itu memiliki kesamaan dalam visi dan misi serta konsep strategi LCC, Pusdiklat dan Maintenance mengacu pada SOP perusahaan induknya Air Asia di Malaysia).
Di dunia maya, banyak orang menyamakan peristiwa misterius hilang tanpa bekas MH370 dengan Air Asia 8501. Kelihatannya persamaan yang disebut-sebut itu seperti membuat perangkap saling curiga antara Indonesia dan Malaysia menjadi lebih sengit dan sepertinya "mereka" menanti saat yang tidak baik tersebut.
Akan tetapi pada tulisan ini tidak berpikir demikian. Tulisan ini mengajak kita berpikir mendalam, mengapa pesawat komersial Malaysia menjadi korban insiden kecelakaan pesawat sampai 3 kali berturut-turut dalam setahun termasuk maskapai milik perusahaan yang berinduk di Malaysia ini, adalah sesuatu yang sangat mencurigakan dan memerlukan terobosan luar biasa untuk mengungkapnya.
Maskapai penerbangan komersial yang mengalami insiden atau kecelakaan dalam setahun sampai tiga kali atau lebih bukanlah penerbangan milik Malaysia saja. Catatan tertinggi tentang insiden tersebut dialami maskapai United Airlines, milik United Continental Holdings, Inc yang bermarkas di Chicago, AS. Perusahaan penerbangan mereka, United Airlines mengalami kecelakaan sampai 3 kali pada 4 April 1955; 6 Okotber 1955 dan 1 Nopember 1955.
Meski sama-sama mengalami insiden yang tidak diharapkan akan tetapi penanganan masalah dan investigasi atas peristiwa tesebut jauh berbeda dengan yang dilakukan oleh penyidik AS. Misalnya pada kasus 4 April 1955, Douglas DC 6, penyebab salah satunya adalah kesalahan pada baut pengencang baling baling ke empat yang terkunci terlalu kencang sehingga memperlambat putaran propeler.
Demikian juga insiden pada 6 Oktober 1955, Doglas DC4 menabrak puncak Gunung Medicine Bow akibat pilot yang tidak jelas melihat ketinggian gunung yang tertutup awan. Hal ini terjadi karena alat navigasi saat itu belumlah sebaik saat ini.
Peristiwa maskapai yang sama berikutnya terjadi pada 1 Nopember 1955 . Sebuah United Airlines 629, jenis DC 6B mendapat teror bom waktu yang dilakukan oleh John Gilbert Graham yang memasukkan bom waktu dalam tas ibunya sendiri (Daisie Eldora) demi memperoleh hak asuransi. Pesawat meledak di atas Colorado bersama 39 penumpang dan 5 crew.
Potensi kecelakaan pada pesawat dapat saja terjadi pada maskapai negara manapun dan produk industri apapun. Sehebat apapun teknologi dan sistem manajemennya potensi tersebut menghantui semua, mulai dari penumpang, pilot, perusahaan maskapai, pabrik pesawat hingga negara pemilik pesawat tersebut.
Indonesia misalnya pernah mengalami peristiwa hampir sama dengan dengan MH370 dan QZ8501. Indonesia pernah mengalami peristiwa jatuhnya pesawat Adam Air 574 di perairan dekat Majene, Sulawesi Selatan pada 1 Janari 2007.
Mungkin PERBEDAAN UTAMA adalah lokasi jatuhnya di laut sehingga terlalu sulit mengungkap peristiwa yang dialami MH370 dan QZ8501 dibanding peristiwa kesalahan teknis saat landing maupun takeof atau masih terbang di atas daratan (bukan lautan).
Hasil investiagasi yang dikupas pada Kotak Hitam Adam 574 dari kedalam laut dua ribuan meter, mengungkap masalah kesalahan sistem navigasi. Meski baru 3 tahun kemudian terungkap, kita mendapat informasi penting skrip komunikasi pilot dengan menara pengawas dan sesama pilot/co pilot yang pada akhirnya menyebabkan pesawat menukik tajam ke arah laut. Badan pesawat tak sanggup lagi menahan gravitasi bumi membuatnya tercebur ke laut dalam kecepatan 0,92 mach.
Demikian rekan pembaca budiman, kita berharap beberapa peristiwa dengan model yang hampir serupa MENJADI alat investigasi untuk mengungkap secara obyektif peristiwa tersebut.
Selain itu kita juga berharap pesawat naas milik Malaysia dan Indoneisa tersebut dapat segera ditemukan.
Jangan disimpan-simpan kasus dan hasil investigasinya karena akan dimanfaatkan oleh petualang yang menginginkan tejadinya saling curiga dan berlanjut menjadi saling bermusuhan antara satu pabrik dengan pabrik lainnya atau satu maskapai dengan maskapai lainnya atau bahkan satu negara dengan negara lainnya.
Lebih dari itu adalah, keselamatan dan kenyamanan transportasi udara mesti diutamakan. Jangan ketika sudah terjadi peristiwa menyedihkan seperti ini barulah ramai-ramai menyebut kesalahan pada pilot, hal teknis atau statemen normatif yang tidak memberi dampak positif (koreksi) apa-apa yang hanya semakin menurunkan kualitas keselamatan penerbangan itu sendiri. Apalagi cuma menyerahkan penumpang pada agen dan cuma membahas tiket dan airport tax kemana dan siapa yang mengutip, sementara penumpang dianggap hanya orang-orang yang menumpang.
Salam Kompasiana
abanggeutanyo
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H