Meski sama-sama mengalami insiden yang tidak diharapkan akan tetapi penanganan masalah dan investigasi atas peristiwa tesebut jauh berbeda dengan yang dilakukan oleh penyidik AS. Misalnya pada kasus 4 April 1955, Douglas DC 6, penyebab salah satunya adalah kesalahan pada baut pengencang baling baling ke empat yang terkunci terlalu kencang sehingga memperlambat putaran propeler.
Demikian juga insiden pada 6 Oktober 1955, Doglas DC4 menabrak puncak Gunung Medicine Bow akibat pilot yang tidak jelas melihat ketinggian gunung yang tertutup awan. Hal ini terjadi karena alat navigasi saat itu belumlah sebaik saat ini.
Peristiwa maskapai yang sama berikutnya terjadi pada 1 Nopember 1955 . Sebuah United Airlines 629, jenis DC 6B mendapat teror bom waktu yang dilakukan oleh John Gilbert Graham yang memasukkan bom waktu dalam tas ibunya sendiri (Daisie Eldora) demi memperoleh hak asuransi. Pesawat meledak di atas Colorado bersama 39 penumpang dan 5 crew.
Potensi kecelakaan pada pesawat dapat saja terjadi pada maskapai negara manapun dan produk industri apapun. Sehebat apapun teknologi dan sistem manajemennya potensi tersebut menghantui semua, mulai dari penumpang, pilot, perusahaan maskapai, pabrik pesawat hingga negara pemilik pesawat tersebut.
Indonesia misalnya pernah mengalami peristiwa hampir sama dengan dengan MH370 dan QZ8501. Indonesia pernah mengalami peristiwa jatuhnya pesawat Adam Air 574 di perairan dekat Majene, Sulawesi Selatan pada 1 Janari 2007.
Mungkin PERBEDAAN UTAMA adalah lokasi jatuhnya di laut sehingga terlalu sulit mengungkap peristiwa yang dialami MH370 dan QZ8501 dibanding peristiwa kesalahan teknis saat landing maupun takeof atau masih terbang di atas daratan (bukan lautan).
Hasil investiagasi yang dikupas pada Kotak Hitam Adam 574 dari kedalam laut dua ribuan meter, mengungkap masalah kesalahan sistem navigasi. Meski baru 3 tahun kemudian terungkap, kita mendapat informasi penting skrip komunikasi pilot dengan menara pengawas dan sesama pilot/co pilot yang pada akhirnya menyebabkan pesawat menukik tajam ke arah laut. Badan pesawat tak sanggup lagi menahan gravitasi bumi membuatnya tercebur ke laut dalam kecepatan 0,92 mach.
Demikian rekan pembaca budiman, kita berharap beberapa peristiwa dengan model yang hampir serupa MENJADI alat investigasi untuk mengungkap secara obyektif peristiwa tersebut.
Selain itu kita juga berharap pesawat naas milik Malaysia dan Indoneisa tersebut dapat segera ditemukan.
Jangan disimpan-simpan kasus dan hasil investigasinya karena akan dimanfaatkan oleh petualang yang menginginkan tejadinya saling curiga dan berlanjut menjadi saling bermusuhan antara satu pabrik dengan pabrik lainnya atau satu maskapai dengan maskapai lainnya atau bahkan satu negara dengan negara lainnya.
Lebih dari itu adalah, keselamatan dan kenyamanan transportasi udara mesti diutamakan. Jangan ketika sudah terjadi peristiwa menyedihkan seperti ini barulah ramai-ramai menyebut kesalahan pada pilot, hal teknis atau statemen normatif yang tidak memberi dampak positif (koreksi) apa-apa yang hanya semakin menurunkan kualitas keselamatan penerbangan itu sendiri. Apalagi cuma menyerahkan penumpang pada agen dan cuma membahas tiket dan airport tax kemana dan siapa yang mengutip, sementara penumpang dianggap hanya orang-orang yang menumpang.